1. Mahasiswa adalah kelas menengah tercerahkan, antara rakyat kebanyakan dan negara, hasil seleksi dari suatu komunitas masyarakat urban. Konstituen, budaya, dan struktur yang berkembang di dalamnya punya konotasi ilmiah-rasional dan intelektualisme, sehingga ditempeli banyak emblem kesucian moralitas, kecendekiaan dan heroisme.
2. Potensi revolusionernya, mungkin karena masa pubertas mereka yang "gue
banget!", bisa menggoyahkan tatanan sosial-budaya bangsa. Lepas dari jelas
tidaknya pandangan-dunia mereka, semua perilaku mereka menjadi elitis dan ya itu
tadi, "ilmiah". Sebagai misal, ketika masih pelajar, tawuran mereka
adalah bagian dari ikatan group, dialamiahkan dalam istilah nakalnya anak muda.
Sasarannya sesama pelajar. Setelah mahasiswa, sasaran beralih ke polisi dan disebut
sebagai wujud radikalisme. Keren abis dah. Kalo pelajar dapat nilai jeblok, disebut
bodoh. Bila mahasiswa dapat nilai D itu karena aktivitas. Jadi, kadang agak bias
antara demonstrasi sebagai sikap peduli rakyat, karena bisa juga disebut emoh
kuliah.
3. Apakah pada praktiknya nilai-nilai idealisme terintegrasi dalam tubuh
aktivis mahasiswa atau tidak, perlu kita kritisi. Artinya banyak faktor yang membuat
mahasiswa seperti itu. Sistem percepatan kuliah produk propaganda rektorat agar
kampusnya bisa dicap sebagai lembaga disiplin. Lembaga disiplin tubuh bonafid
yang bisa meluluskan mahasiswa dalam kurun waktu 3 tahunan plus embel-embel cum
laude. Ditambah fenomena elit penguasa untuk menumpulkan kritisisme dengan harga
masuk kuliah yang nyusahin ortu, plus tradisi keluarga yang stres kenapa anak
mereka gak lulus-lulus/belum punya calon mantu, dan gurita kapitalisme global
yang lebih menyukai tipe mahasiswa taat dan profesional-siap menjadi boneka pabrik,
yang kudu link and match dengan dunia hasil rekayasa korporasi trans-internasional
dan negara. Lihat tubuh bongsor mahasiswa. Badan mereka membesar dan dewasa, jauh banget dibanding mahasiswa era baheula, tapi itu akibat suntikan hormon dan ekstraksi
multivitamin ditambah makanan suplemen dan KFC. Tidak alamiah. Mereka juga besar
dalam aksi jalanan, sebagai tanda "peduli" pada nasib bangsa dengan
menjual air mineral gelasan, atau nongkrongin prempatan bawa bendera dan kardus
indomie yang ada tulisannya "Kencleng Sumpah Pemuda." Semua itu adalah
aktualisasi hasil lobi antar-senior almamater dan organisasinya. Jalanan rame,
tapi penuh retorika kosong, emosi labil, miskin ide orisinil. Suka ngomong revolusi
dan pakai bros Che Guevara di mal-mal dan kafe, tanpa ngerti paham betul apa itu
"revolusi." Gimana nyusunnya, gimana mimpinnya, pokoknya funky, asal
beda dengan sikon sosial-politik sekarang, itulah revolusi. Absurd banget.
4. Maka tidak salah bila rakyat tidak ngerti omongan mereka. Sebab mereka bukan lagi berasal dari rakyat, melainkan jongos elit. Kalaulah mereka sempat menjadi aksesoris sebuah perubahan sosial, tiada satu pun dari mereka yang mengemuka sebagai ideolog. Mereka bisa gaul dan tidur bareng dengan penduduk (baik "tidur" beneran atau
kiasan") dalam KKN atau protes Saluran Listrik Tegangan Tinggi (SUTET). Sayangnya
seperti Santa Claus, perilaku ekstra eksibisionis ini tidak menyentuh hati dan
paradigma rakyat, melainkan sekadar mengubah dan menambah bentuk material, yang
tadinya memakai sungai sebagai MCK, sekarang punya kakus, atau mengecat Masjid,
membuat nama jalan, pokokknya sama deh sama karya manunggal ABRI alias AMD, ABRI
masuk Desa. Memang tidak salah, sebagaimana juga Santa Claus, tidak salah membagi-bagi
hadiah ke anak-anak.
5. Tapi lain soal ketika mendudukkan mahasiswa sebagai penyambung
lidah rakyat dan kaum tertindas. Mahasiswa yang jauh dari massa rakyat ini jauh
dari hati, semangat, bahasa dan penderitaan bangsa. Kita bisa kalkulasi seberapa
banyak mereka fasih bicara soal tetek bengek kenegaraan ketimbang problem riil
rakyat. Mengapa? Karena bicara kebijakan pemerintah adalah bicara kursi yang mempengaruhi periuk nasi elit. Kemampuan berbicara tentang struktur yang tidak ditopang dengan praksis (abstraksi ideologi yang bersentuhan langsung dengan perubahan sosial)
hanya memproduksi aktivis salon, manekin solek dan penumpulan rasa.
6. Kalaulah muncul kesadaran tentang penderitaan rakyat, itu sifatnya temporer. Sama
seperti masturbasi, kenikmatan sesaat hasil manipulasi kesadaran. Kenapa? Sebab
tidak mungkin membela rakyat sambil asik makan Indomie, sedangkan sebagian besar
rakyat menggantungkan hidup pada sawah-padi-beras? Padahal makan nasi jauh lebih
bergizi dan sehat ketimbang makan sebungkus indomie. Harganya juga lebih murah
kok.Maka tiba masanya bagi kita untuk mendekonstruksi paradigma dan sikap kosong
seperti ini. Kesalahan terbesar mahasiswa adalah malas: mengasah pemikiran, berdialektika dengan membaca dan diskusi, dan menyusun jaringan aktivitas. Ilmu tidak boleh dipahami sebagai wacana an sich, yang penting bisa lulus UAS, tapi dikritisi dalam
praktis sosialnya.Umumnya mereka ga sulit mau sadar berpikir sistem. Berpikir sistem itu adalah bagaimana menyusun program dan strategi ke depan. Wajar setiap LDK, LDKM Ospek, atau pembinaan di BEM-BEM dan KM-KM kampus cuma perulangan. Tidak ada curriculum yang jelas buat pengkaderan di Kampus. Beres jadi eksekutif, balik lagi kuliah.
Padahal yang namanya BEM itu kerjanya luar biasa besar. Kalau kita mimpin BEM
lalu bayaran kuliah terus naik, mahasiswa anggota ga dapat bea-siswa, atau pemilihan
rektor masih sistem pengangkatan, mending BEM bubar saja. Jangan pernah berpikir
mengatasi sistem negara yang bobrok kalau untuk masalah di kampus saja kita takut
mengkritik Rektor. Mahasiswa harus mempunyai kesadaran untuk membawa rakyat pada nilai-nilai transenden yang lebih luhur, lebih dari sekadar perubahan struktural dan material. Tapi sebelum sampai ke sana, mereka harus sabar membina diri menguatkan konsep berpikir-berdialektika-beraksi diri mereka sendiri. Jangan berkoar-kora soal negara dan dunia apabila kita tidak mau sedikit mengeluarkan keringat untuk mengasah logika dan memperkaya pisau analisa dengan banyak membaca buku. Apabila seseorang menetapkan bagi dirinya sendiri untuk mengadakan reformasi masyarakat dan mempengaruhi suatu perubahan sosial dalam masyarakat, maka ia harus berbeda dengan rakyat biasa. Ia tidak boleh memiliki kelemahan-kelemahan rakyat biasa. Kata sebuah hadis (buat yang Islam ) dikatakan:
"Orang yang hendak menjadi pengurus rakyat, haruslah pertama-tama mendidik
dirinya setelah itu mendidik rakyat. Seorang guru atau pelatih diri sendiri, lebih
mulia dari seorang guru dan seorang pengurus bagi orang lain". Revolusi bukan
jamuan makan malam, atau diskusi-diskusi sambil pesen capucinno, plus kretek,
sembari mengulang-ulang puisi-puisi Rendra. Puisi ga pernah bikin revolusi nak.9.
Selain itu mereka juga perlu mendekatkan diri dengan realitas masyarakat sebagai
asal dan tujuan mereka menimba ilmu. Jujur saja, jika pendidikan kita disubsidi
oleh rakyat. Yang tidak lain dan tidak bukan, adalah orang tua kita sendiri. Dari
menyadari hal ini mereka baru bisa menjadi titik api, yang berfungsi sebagai sumber
kehidupan yang membakar, mencerahkan dan menggerakkan rakyat.
Dengan pengetahuan kritisnya mereka seperti cahaya, terang dengan sendiri dan
menerangi segala sesuatu [massa] di luar dirinya. Seperti dikutip dalam Kitab
Vedanta " Orang besar itu seperti lelaki yang mengusung pelita dalam kegelapan.
Orang yang tidak memilikinya tidak punya pilihan lain kecuali mendekat dan mengikutinya
tanpa pamrih". Tinggal sekarang kita bicara hitung-hitungan waktu, mengutip
ucapan Mao "Revolusi adalah momentum yang disusun dari seribu tahun pasukan
yang dipergunakan pada sebuah pagi." Untuk menyusunnya kita perlu perubahan paradigma dan curiculum pengkaderan mahasiswa di internal maupun organisasi ekstra kampus yang memandai. Dimulai dengan membangun kesadaran berpikir dan menambah ilmu dengan banyak membaca, menyusun kebiasaan berargumentasi yang benar dengan belajar logika, dan ketrampilan praktis lapangan untuk bisa diterapkan dimasyarakat atau masa depan mahasiswa sendiri kelak.
7. Terakhir ada baiknya kita memindai ucapan Hatta, Bapak Pergerakan Kemerdekaan
kita ketika mengkritik Revolusi Terpimpin-nya Soekarno, "Revolusi menggugurkan
semua karat-karat, dan melonggarkan perbautan dari sistem. Setelah itu ia harus
disusun kembali dengan segera!!." Untuk itu revolusi butuh pandangan yang
luas, dan wawasan yang padu. Revolusi bukan romantisme berleha-leha, revolusi
adalah kerja.
11 Desember, 2009
Paradigma Gerakan Mahasiswa Syarat Revolusi Massa
Posted by Ardie182 at 2:49 AM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar