Tanpa diduga sebelumnya, upaya pemerintah menyelamatkan Bank Century dari kehancuran akibat perampokan sistematis yang dilakukan pemiliknya berkembang cepat dan langsung masuk ke pusat medan politik nan panas.
Sejatinya, pengucuran dana (yang menurut Menkeu Sri Mulyani sebatas menaikkan CAR atau rasio kecukupan modal) sebesar Rp. 6,7 triliun hanya akan berbuntut pada pengusutan hukum di BPK, KPK atau kepolisian jika terindikasi ada oknum yang merekayasa pengucuran dana segar tersebut.
Artinya, dengan asumsi ada orang-orang di pemerintahan dan di manajemen Bank Century yang menikmati keuntungan secara haram dari pengucuran dana, maka kasus ini, seperti biasa, akan kembali menambah daftar panjang koruptor dan penjahat berkerah putih Indonesia.
Tapi ternyata yang merebak belakangan adalah konflik horizontal antara Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menkeu Sri Mulyani dan Mantan Gubernur BI Boediono yang terpilih sebagai Wakil Presiden RI periode 2009-2014.
Jusuf Kalla yang merasa dirinya hendak dibenamkan dalam kasus ini langsung bereaksi. Dia segera mengoreksi tanggal audiensi antara dirinya dengan Sri Mulyani dan Boediono.
Sebelumnya Sri Mulyani mengaku melaporkan kasus Bank Century ke Wapres Jusuf Kalla tanggal 22 November atau sehari sebelum LPS mengeluarkan dana pertama sebesar RP. 2,7 triliun lebih. Tapi menurut JK, Menkeu baru menghadap kepadanya (berhubung Presiden SBY masih berada di AS) tanggal 25 November 2009.
“Jadi, seolah-olah saya tahu pengucuran dana itu. Padahal, saya tidak tahu sama sekali,” papar Wapres dalam sebuah jumpa pers yang dilengkapi dengan kronologi lengkap kasus Bank Century (KOMPAS, 1/9).
Selain itu, JK juga memaparkan bahwa Boediono tidak berani melaporkan pendiri Bank Century Robert Tantular yang jelas-jelas menipu banknya sendiri senilai Rp. 1,4 triliun ke pihak kepolisian.
Karena Bank Indonesia tidak berani berbuat apa-apa dengan alasan tidak ada landasan hukum, akhirnya Jusuf Kalla berinisiatif menginstruksikan kapolri menangkap Robert Tantular.
Langkah JK ini bisa ditanggapi dengan pikiran positif dan negatif.
Bagi yang berpikiran positif, apa yang dilakukan oleh JK adalah langkah yang tepat dalam rangka mendudukkan setiap perkara pada porsi yang sebenar-benarnya. Termasuk soal aspek kriminal dan langkah pemerintah yang dinilai tidak tegas dalam menangani kejahatan berkerah putih yang selalu berulang dari zaman Edi Tansil hingga era Robert Tanular dengan nilai kerugian yang fantastik hingga triliunan rupiah.
Tapi langkah JK ini juga bisa dianggap sebagai upaya penggembosan terhadap pemerintah terpilih. JK dinilai sedang berusaha mencitrakan sosok seorang Boediono sebagai pemimpin yang tidak tegas.
Bila ini berkembang terus tanpa kendali politis dari partai penguasa dan pemenang pemilu, tidak mustahil citra pemerintahan SBY-Boediono langsung merosot bahkan sebelum mereka berdua dilantik Oktober nanti.
Tapi apapun penilaian orang terhadap pernyataan-pernyata an keras JK seputar kasus Bank Century, saya sepakat 1000% dengan ucapkan JK berikut :
“Pendapat saya sejak awal solusi terhadap bank-bank bermasalah tidak dengan bail out karena sesuai pengalaman tahun 1998 sehingga merugikan negara sampai Rp 600 triliun dalam bentuk bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Hingga kini bahkan sampai 20 tahun mendatang rakyat harus membayar dengan bunga dan pokok sebesar Rp 60 triliun melalui APBN. Padahal, seharusnya kasus itu menjadi tanggung jawab pengawas bank yang ketat dari Bank Indonesia,” ujarnya.
Pertanyaannya, akankah Robert Tanular menjadi penjahat terakhir yang berhasil menggerus uang negara dan masyarakat triliunan rupiah lewat jalur perbankan ?.
Atau besok kita kembali membaca kasus perampokan serupa ?.
Artikel ini dapat dibaca di :
Bank Century, Kartu Sakti Gembosi SBY-Boediono ?
http://iskandarjet. kompasiana. com/2009/ 09/01/bank- century-kartu- sakti-gembosi- sby-boediono/
***
Berkali-kali Menkeu Nyonya Sri Mulyani menyatakan bahwa alasan menyelamatkan Bank Century karena bank ini ‘berpotensi sistemik’ dalam merusak sistem perbankan nasional. Karena ada ‘resiko sistemik’ maka Negara –dalam hal ini LPS– bertanggung jawab untuk menyuntikkan dana 6,7 triliun rupiah ke bank tersebut.
Sebuah argumen yang masih layak diperdebatkan, apakah sistemik yang dimaksud ?. Benarkah hipotesis bahwa kalau Bank Century tidak diselamatkan –alias langsung ditutup saja– akan ada potensi kerusakan sistemik ?.
Ataukah itu hanya imajinasi paranoid dari para bankir sayap kanan –ideologi yang sama yang meruntuhkan perbankan pada 1998 dan Amerika pada dekade ini ?.
Menkeu juga berkali-kali menyatakan bahwa kebijakan itu sah. Bahwa kebijakan ini telah melalui prosedur formal yang benar, sesuatu yang kemudian terbantahkan sebagian oleh kenyataan bahwa Perpu JPS telah ditolak DPR; dan bukti bahwa keputusan itu tanpa ijin/persetujuan lebih dahulu dari pemegang mandat politik, yaitu Tuan Presiden / Wapres.
Khusus Tuan Presiden, sampai hari ini tidak ada konfirmasi apakah SBY menyetujui hal ini pada pertemuan tanggal 13 November 2008.
Beberapa pengamat –diantaranya Tuan Antonius Tony Prasetyantono, Chief Economist BNI dan dosen FE-UGM– menyatakan bahwa tidak ada potensi kerugian dalam kasus ini.
Seperti juga Kepala LPS, Tuan Firdaus Djaelani, mereka menyatakan bahwa kerugian negara dalam kasus Bank Century adalah hipotetis karena bisa dijual dengan harga lebih mahal daripada dana suntikannya, sebuah mitos yang sejak BLBI pertama tidak pernah terbukti. Mungkin Tuan dan Nyonya sekalian masih ingat, recovery rate eks BPPN hanyalah sebesar 28%.
Saya kira kita perlu mengujinya satu per satu beberapa argumen yang ditawarkan pada publik belakangan ini.
Pertama, sistemik. Sampai hari ini BI dan Menkeu sebagai KKSK tidak pernah menjelaskan dengan gamblang apa itu resiko sistemik dan bagaimana itu bisa terjadi.
Yang parah bahwa penjelasan sistemik itu barangkali tidak sampai di telinga Tuan Presiden dan Tuan Wapres sampai konfirmasi terakhir tanggal 25 November 2008 saat Nyonya Sri Mulyani melapor pada Tuan Wapres, 2 hari setelah pengucuran pertama sebesar 2,7 triliun pada tanggal 23 Nov.
Sistemik telah berubah menjadi loncatan logika yang ngawur. Sebuah problem di sebuah bank kecil yang diawali oleh kesalahan kriminal para bankirnya dipetakan sebagai punya potensi pengaruh pada keseluruhan sistem perbankan nasional.
Imajinasi yang dibangun bahwa bila dibiarkan atau ditutup maka hal ini akan menciptakan rush pada perbankan nasional perlu diuji : apakah benar ?.
Adakah penjelasan teknis mengenai hal ini ?. Ataukah jangan-jangan ada deposan besar tertentu yang perlu dilindungi atau ditalangi oleh LPS ?.
Bagaimana saling terkait dengan bank atau institusi lain sehingga berpotensi sistemik ?.
Berbagai gosip di dunia bawah tanah perbankan menduga bahwa ada deposan besar yang tersangkut uangnya dan harus ditalangi; mengganggu dan menuntut penjelasan apa yang dimaksud sistemik tersebut.
Yang menyakitkan adanya pikiran bahwa karena kesalahan kriminal di sebuah bank –ingat kasus Bank Century diawali oleh tindak penerbitan reksadana bodong dan eksposure kredit yang nakal– dapat ‘dibantu negara’ ketika ia bersifat sistemik. Apa ini ?.
Seperti berpesan : jadilah penjahat yang punya pengaruh sistemik, pastilah dibantu negara.
Para pengamat dan juga Nyonya Menkeu selalu bilang bahwa uang talangan bukanlah uang negara. Apa benar ?.
Setoran awal LPS senilai 4 T merupakan uang negara. Premi dari peserta penjaminan LPS pada akhirnya sebenarnya adalah uang rakyat.
Ketika premi dihabiskan –atau menjadi mahal karena resiko sistemik yang diciptakan para bankir nakal– maka bebannya ditaruh pada pundak para deposan dan kreditur.
SBI 6,5% tapi KPR 15%, selisih yang besar karena ada resiko pada sistem, harus ditanggung dengan membebankan premi pada ‘biaya’. Dan jatuhlah pada tanggungan Anda, Tuan dan Nyonya para nasabah bank kita tercinta.
Kedua, soal sah. Menkeu selalu berlindung pada argumen bahwa kebijakan ini diambil secara sah.
Nyonya Menkeu lupa bahwa dalam azas kebijakan publik, sah saja tidak pernah cukup. Ada azas lain yang lebih penting, yaitu adil.
Semua kebijakan Pak Harto juga sah; bahkan praktis semua kasus korupsi modern juga sah karena secara administratif telah memenuhi syarat formal.
Korupsi modern diatur dalam ruang aturan legal yang ketat, melalui proses tender, ditetapkan melalui aturan formal dan sah. Memang sah tapi kok tidak adil ya ?. Kesalahan kriminal segelintir orang kok ditanggung oleh kita bersama ?.
Ketiga, potensi kerugian. Beberapa pengamat –seperti Tuan Toni– bilang bahwa tidak ada kerugian negara dalam kasus Bank Century. Apakah benar ?.
Bahkan bila Tuan Toni memperhitungkan PV (present value) dari suntikan dana ini pada 3 tahun mendatang; apakah tidak ada potensi kerugian ?.
Benarkah kita bisa menjamin bahwa pada 3 tahun mendatang nilai penjualan Bank Century lebih besar dari 6,7 triliun ?.
Siapakah yang mau membeli dengan nilai lebih dari 6,7 triliun ketika aset dan resiko manajemennya jauh lebih rendah dari angka itu ?.
Apalagi mengingat pengalaman 1998 ketika recovery rate aset eks bank hanyalah 28% ?.
Yang lebih tidak masuk akal adalah wacana yang dilontarkan pengamat –misalnya Tuan Toni– ini dinyatakan sebelum audit (BPK) dilakukan.
Tidak ada laporan faktual yang kredibel yang menjelaskan posisi aset sebenarnya Bank Century, berapa kewajibannya, berapa Dana Pihak Ketiganya serta berapa aset bersih wajarnya ?.
Baiklah barangkali Tuan-tuan di DPR yang membongkar kasus ini punya pretensi dengan bayangan kerugian besar tapi menyatakan bahwa Century tidak berpotensi kerugian merupakan imajinasi sesat.
Keempat, yang paling mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa beberapa pihak yang terlibat merupakan jantung dari kabinet SBY, sekarang dan kabinet mendatang.
BI bersalah karena gagal melakukan pengawasan yang baik; pimpinannya waktu itu adalah Tuan Boediono yang sekarang jadi Wapres terpilih.
Tuan Boediono bahkan ditunjuk Jenderal SBY untuk memimpin penyusunan program kerja 100 harinya. Pihak lain yang terlibat adalah Nyonya Sri Mulyani, Menkeu sekarang dan dipastikan salah satu jantung mesin ekonomi SBY di kabinet mendatang.
Luar biasa. Dengan orang-orang yang sama, cara berpikir yang sama serta cara mengelola kebijakan publik yang sama; menurut saya mengkhawatirkan untuk membayangkan bagaimana mesin kabinet SBY mengolah kebijakan publik di masa depan.
Dengan kasus yang identik di masa depan ataukah kasus lain, sulit mengharapkan adanya keluaran kebijakan berbeda pada periode mendatang.
Orang yang sama, cara berpikir yang sama dan cara mengelola kebijakan publik yang sama merupakan resiko yang melekat pada kabinet SBY mendatang.
Dan kasus Bank Century membuat gamblang bagaimana resiko sistemik yang melekat pada kabinet mendatang.
Resiko sistemik, resiko yang melekat pada sistem kerja sebuah organisasi.
Cilaka dua belas, Tuan dan Nyonya.
Artikel ini dapat dibaca di :
Bank Century: Risiko Sistemik Kabinet SBY
http://public. kompasiana. com/2009/ 09/01/bank- century-resiko- sistemik- kabinet-sby/
***
Saat menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, Boediono dinilai tidak berani melaporkan pemilik Bank Century, Robert Tantular, kepada polisi untuk segera ditangkap.
Karena ketidakberanian Boediono yang kini menjadi wakil presiden terpilih mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono, dirinya lantas mengambil inisiatif menginstruksikan langsung kepada Kapolri untuk menangkap Robert sebelum yang bersangkutan melarikan diri. “Saya minta kepada Kapolri untuk segera bertindak. Hari itu juga, dalam waktu tiga jam, Robert Tantular akhirnya ditahan polisi. Kasus Bank Century adalah kasus kriminal,” ujar JK (kompas online).
Membaca kutipan kompas online, kembali JK memunculkan klaim keberanian dan kecepatan bertindak untuk menanggulangi masalah bank century.
Berita menjadi istimewa ketika khas karakter JK muncul, yaitu tanpa tedeng aling-aling menyebutkan gubernur BI, yang saat itu dijabat boediono, tidak berani mengungkap dan melaporkan kasus ini pada polisi.
Akhirnya inisiatif yang juga khas JK dalam pemerintahan SBY JK menjadi solusi penangkapan.
Kebisaan bicara tanpa sensor dan selalu mengambil inisiatif justeru dianggap sebagai wapres yang kurang sopan dan dianggap selalu mencari muka. Kedua hal ini kurang disenangi penguasa, terlihat dari ungkapan ungkapan ketika kampanye.
Mungkin kita akan kehilangan inisiatif-inisiatif seperti ini, terlebih ada perpindahan kantor wapres ke istana.
Akan menjadikan kekuatan yang solid satu pintu, dalam kacamata politik mungkin itu baik agar kebijakan negara menjadi konvergen dalam mensukseskan program besarnya. Tetapi jika berjalannya program menjadi lambat dan kurang berani arah konvergen ini justeru merugikan rakyat karena telat merespon dan bertindak akan selalu terjadi.
2010 adalah tahun tantangan tersendiri untuk Indonesia memasuki AFTA, AFTA dibentuk pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN FreeTrade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN. Indonesia membutuhkan ekstra keberanian dan kesiapan yang matang termasuk memberantas korupsi sebagai terroris pengacau stabilitas bangsa ini. Juga sikap negara-negera yang merendahkan bangsa ini butuh pengikapan yang berani dan cepat secepat penanganan Manohara.
Mungkinkan budiono akan mengikuti langkah JK yang cukup berani dan banyak berinisiatif dalam menangani berbagai permasalahan ?. Atau memang tidak disiapkan untuk itu ?.
Artikel ini dapat dibaca di :
JK Belum Tamat
http://public. kompasiana. com/2009/ 09/01/jk- belum-tamat/
***
Menurut sumber LPS menyatakan bahwa semua besaran dana yang disuntikkan ke Bank Century hingga Juli 2009 sebesar Rp 6,76 triliun, adalah berdasar penilaian BI. Padahal, dana suntikan yang diketahui DPR hanya Rp 1,3 triliun, apalagi ternyata dana yang disuntikkan dinilai terlalu besar dengan aset yang dimiliki Bank Century. Aset yang dimiliki Bank Century hanya mencapai Rp 2 triliun.
Dana talangan tersebut didasari kekhawatiran akan dampak lanjutan atas kegagalan Bank Century. Alasan ini juga dikemukakan oleh Sri Mulyani yang bertindak sebagai Ketua Komite Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK).
Suntikan modal sebesar Rp 6,76 triliun dinilai LPS sudah final. Ke depan, kemungkinan besar tidak ada lagi penambahan modal dari LPS untuk Bank Century.
Berdasarkan Undang-Undang LPS, LPS diharuskan menjual semua saham bank yang diselamatkan paling lama tiga tahun dan dapat diperpanjang dua kali masing-masing satu tahun sehingga keseluruhan menjadi lima tahun. Nilai recovery atau pengembalian dari Bank Century kepada LPS sangat mungkin mencapai Rp. 6,76 triliun, bahkan bisa lebih dari itu.
Hal itu karena sebagian besar modal yang telah disuntikkan bukanlah uang yang hilang begitu saja, melainkan masih dalam bentuk aset berupa cadangan atau aktiva produktif yang telah dihapus buku, yang di kemudian hari bisa dijual.
Saat ini, menurut Firdaus, LPS memiliki cadangan senilai Rp 2,2 triliun dalam bentuk Surat Utang Negara dan Sertifikat Bank Indonesia, yang sangat likuid. Selain itu, LPS juga memiliki sejumlah aktiva produktif yang telah dihapus dari neraca, tetapi memiliki nilai recovery. Aset-aset tersebut berupa surat-surat berharga yang telah jatuh tempo, tetapi belum bisa dicairkan dan aset-aset jaminan dari kredit yang macet.
Belum bisa diketahui berapa besar nilai recovery yang bisa diupayakan dari aset-aset kotor tersebut.
Pertanyaan besarnya ?, kalau saja LPS sudah memprediksikan akan kembali menjual asset Bank Century 3 – 5 tahun ke depan dengan nilai minimal 6,7 trilliun, berdasarkan pengalaman BLBI yang malah sudah ditangani lembaga BPPN alilh-alih semua aset itu bisa dijual malah mengalami penurunan nilai likuiditas.
Siapa yang akan menjamin sejumlah aktiva produktif yang telah dihapus dari neraca dapat memiliki nilai recovery lima tahun kemudian ?. karena wilayah ini tidak lagi dijangkau pengawasan publik.
Aset-aset tersebut berupa surat-surat berharga yang telah jatuh tempo, tetapi belum bisa dicairkan karena aset-aset jaminan dari kredit yang macet, nah…, siapa yang berani menjamin aset-aset kotor ini bisa bernilai recovery juga selama lima tahun ke depan ?. bagaimana cara menyelematkan dana kredit macet ini yang disinyalir hanya kredit fiktif ?.
Alasan penyuntikan dana LPS adalah untuk menghindari kolapsnya beberapa bank terkait menjadi perlu dipertanyakan karena kisruh bank century ini hanya menguntungkan nasabah korporasi di Bank Century yang mencapai 60 persen dari total dana pihak ketiga.
Untuk melindungi segelintir kelompok ini negara atau rakyat harus kembali dirugikan trilliunan rupiah.
Menurut Sri Mulyani Menteri Keuangan plus PLT Menko Perekonomian bersama Boediono yang kala itu menjabat Gubernur BI, demikian pula pendapat pejabat sementara Gubernur BI Darmin Nasution bahwa scenario ini sah sesuai prosedur dan landasan hukum dan perundang-undangan.
Inilah kelemahan hukum positif yang dibuat yang tidak mengacu pada visi pembangunan ekonomi yang lebih mandiri dan berkelanjutan, artinya mengapa perundangan itu perlu dipake kalau dikemudian hari malah merugikan negara dan rakyat sendiri.
Seperti itulah yang terjadi pada kasus BLBI dengan kucuran dana 600 trilliun pada tahun 1998 yang sampai saat ini tidak jelas juntrungannya.
Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Firdaus Djaelani mengatakan, pihaknya terus menyelidiki aset pemilik lama PT Bank Century Tbk, yang dinyatakan sebagai bank gagal tahun lalu. Kabar terbaru, diduga aset pemilik lama PT Bank Century Tbk tersimpan di Hongkong dalam jumlah besar. “Nilainya, mencapai 1 juta dollar AS,” ujar Firdaus kepada para wartawan dalam jumpa pers, Minggu (30/8) di Jakarta.
Direktur Pengawasan Bank Indonesia Heru Kristyana seusai jumpa pers di kantor BI, Jakarta, Senin (31/8) menjelaskan, hitungan suntikan dana yang diperlukan Century terus membengkak karena dari waktu ke waktu bank sentral menemukan beragam catatan fiktif dalam pembukuan. Di samping itu, sebelum diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), manajemen Bank Century yang lama kurang transparan dalam membeberkan pembukuan. “Sebelumnya kami tidak tahu karena dulu masih ditutupi pegawainya. Setelah manajemen diganti, barulah mereka jauh lebih transparan,” ungkap Heru.
Salah satunya ialah transfer dana sebesar 18 juta dollar AS yang dilakukan Dewi Tantular tanpa seizin pemiliknya, dan Letter of Credit (L/C) fiktif senilai lebih besar dari 100 juta dollar AS. “Ada juga kredit fiktif yang kami temukan,” ujarnya.
Direktur Pengawasan BI Budi Armanto menyebutkan, faktor lain yang membuat suntikan dana talangan melonjak ialah konservatisme penghitungan. Beragam surat berharga milik Bank Century, terutama yang tidak mendapat peringkat lembaga pemeringkat, meski dijamin dengan uang tunai, dinyatakan sebagai kredit macet. “Berarti pencadangan yang disediakan Bank Century bertambah, dan modalnya tergerus,” cetusnya.
Begitu modal tergerus, rasio kecukupan modal Bank Century otomatis berkurang. Akhirnya, bertambahlah dana talangan yang diperlukan untuk mencapai batas minimal 8 persen yang disyaratkan bank sentral.
Artinya dana Bank Century selama ini telah dilarikan keluar negeri oleh para pemiliknya bersama korporasinya di mana salah satu korporasinya dimiliki grup perusahaan PT. Sampeorna. Ibaratnya LPS muncul sebagai pahlawan kesiangan belaka.
Tentu kasus pelarian dana ini akan menguntungkan para pejabat tinggi terkait yang sebelumnya sudah mendapat fulus dan komisi dalam proses penyuntikan dana.
Sekali lagi demikian inilah yang terjadi persis sama dengan kasus BLBI.
Anggota Komisi XI DPR Drajat H Wibowo menilai wajar atas timbulnya kontroversi dan saling lepas tanggung jawab terkait proses penyelematan bank Century. Menurutnya, setiap proses penyelamatan bank pasti menimbulkan kontroversi. “Ini klasik, semua pihak jadi saling lempar” ujarnya ketika dikonfirmasi mengenai pernyataan LPS bahwa besar dana yang disuntikkan ke Century berdasar persetujuan BI, Jakarta, Senin (31/8).
Dia menjelaskan sebenarnya BI hanya melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penilaian atas kondisi likuiditas bank Century. Berdasarkan hasil pemeriksaan inilah, BI menilai Bank Century sebagai Bank gagal dan merekomendasikan untuk diselamatkan.
Namun, semua keputusan untuk penyelamatan Bank Century dan penyerahan ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), merupakan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan Keputusan Komite Koordinasi (KK) tanggal 21 November 2008. “BI melakukannya berdasar posisi CAR Century saat itu. Tapi bolongnya yang tahu Century dan LPS. Setelah diserahkan ke LPS, dia kan yang tahu bolongnya,” ujarnya.
Dengan demikian patut diduga telah terjadi konspirasi di antara petinggi LPS, BI dan para korporasi Bank Century ?. dan sepertinya otoritas KSSK hanya merestui saja, mungkinkah ada uda udang dibalik batu ?.
Berbicara saat memberikan keterangan pers di kantornya, di kawasan Kebon Sirih, Jakarta, Senin (31/8), Wapres menegaskan, masalah yang lahir di tubuh Bank Century bukan karena krisis, melainkan akibat perampokan yang dilakukan oleh pemiliknya sendiri. Dalam kondisi semacam ini yang diperlukan adalah tindakan dari Bank Indonesia. Namun, kenyataannya tidak. “Pendapat saya sejak awal solusi terhadap bank-bank bermasalah tidak dengan bail out karena sesuai pengalaman tahun 1998 sehingga merugikan negara sampai Rp 600 triliun dalam bentuk bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Hingga kini bahkan sampai 20 tahun mendatang rakyat harus membayar dengan bunga dan pokok sebesar Rp 60 triliun melalui APBN. Padahal, seharusnya kasus itu menjadi tanggung jawab pengawas bank yang ketat dari Bank Indonesia,” ujarnya.
Oleh sebab itu, kata Wapres, kasus Bank Century adalah kriminal. “Karena pemilik bank merampok banknya sendiri dan dananya dilarikan ke luar negeri. Padahal, obligasi yang diterbitkannya juga bodong atau tidak ada nilai. Seharusnya ini diawasi dengan baik dan benar oleh BI,” tegasnya lagi.
Statement Wapres Pak Kalla ini juga patut menjadi perhatian, sebagai orang yang lama berkecimpung malang melintang di dunia bisnis sebelum jadi wapres tentu banyak tau di rimba moneter Indonesia. Pernyataan ini tentu karena sikap kenegarawanan yang dimilikinya, karena sejak Pilpres usai beliau kontestan yang sudah mengucapkan selamat atas kemenangan SBY, tentu ini bukan manuver untuk memojokkan SBY.
“Menanggapi laporan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia mengenai kasus Bank Century, yang saya nilai sebagai perampokan, saya sempat meminta kepada Boediono selaku Gubernur Bank Indonesia saat itu untuk segera melapor ke polisi guna menangkap Robert Tantular dan direksi yang bertanggung jawab dan menyita aset. Ternyata Bank Indonesia tidak berani. Alasannya, tidak ada dasar hukum,” ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada wartawan di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Senin (31/8). Kalla menggelar jumpa pers khusus menanggapi kasus Bank Century.
Karena ketidakberanian Boediono, lanjut Kalla, dirinya lantas mengambil inisiatif menginstruksikan langsung kepada Kapolri untuk menangkap Robert sebelum yang bersangkutan melarikan diri. “Saya minta kepada Kapolri untuk segera bertindak. Hari itu juga, dalam waktu tiga jam, Robert Tantular akhirnya ditahan polisi. Kasus Bank Century adalah kasus kriminal,” ujarnya.
Pandangan SBY soal Raibnya Dana BLBI Rp 600 Triliun
KORUPSI BLBI. Melihat cara pandang SBY seperti ini, maka mustahil dana BLBI yang jumlahnya mencapai Rp. 600 triliun bisa kembali.
Jika untuk seorang Presiden SBY yang terpilih dua kali saja menganggap kasus BLBI terjadi karena kondisi buruk yang ada, sehingga tidak ada langkah strategis scenario penyelematan dana tersebut, lalu bagaimana Bank Century sendiri dapat diselamatkan ?.
Akhirnya kembali lagi kita harus gigit jari, dana 6,7 trilliun akan raib entah ke mana, assetnya mungkin hanya akan menjadi ibarat sejenis besi tua butut belaka selama 5 tahun ke depan.
Kemudian tahun 2013-2014 semua kembali akan terlupakan, suksesi kepemimpinan nasional jadi perbincangan, korporasi eks bank century kembali jadi donasi seperti kala ini.
Artinya kita memang manusia penuh pelupa, lalu hati kecil kita hanya mampu berucap getir, “selamat tinggal bank century ! dan para korporasinya tertawa puas di luar negeri menikmatinya ?”.
Wallahualam.
Artikel ini dapat dibaca di :
Bank Century, Kasus BLBI Terulang Kembali Negara dan Rakyat Akan Dirugikan 6,7 Trilliun ?
http://public. kompasiana. com/2009/ 09/01/bank- century-kasus- blbi-terulang- kembali-negara- dan-rakyat- akan-dirugikan- 67-trilliun/
***
Saat ini salah satu berita yang menarik perhatian saya adalah tentang empat kali suntikan dana dari LPS ke Bank Century. Siapakah yang dirugikan ?. Negara ?. Bank Anggota LPS ?. atau Nasabah ?.
Menurut Pradjoto, seperti yang dikutip Kompas pada artikelnya bertajuk “Pengamat : Penyelamatan Century, Tidak Ada Kerugian” senin 31 Agustus 2009, kekayaan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) per 31 Juli 2009 mencapai Rp. 18 triliun. Dari jumlah itu, Rp. 14 triliun berasal dari premi bank peserta penjaminan dan hasil investasi. Jadi menurut Prajoto, tidak ada kerugian negara mengingat dana LPS tidak ada hubungannya dengan APBN.
Jika kita melihat dari sudut pandang tersebut, memang tidak ada kerugian negara.
Namun, jika kita fahami bahwa penyumbang terbesar kekayaan LPS itu berasal dari premi bank peserta penjaminan maka ujung-ujungnya adalah berasal dari dana masyarakat yang disimpan pada bank-bank tersebut. Keputusan untuk mengalokasikan dana yang sangat besar tersebut harus dipertanggungjawabk an oleh LPS kepada bank-bank anggota dan bank anggota harus mempertanggungjawab kan kepada nasabahnya.
Adakah mekanismenya ?. Seberapa efektif kah ?. Lalu, siapakah yang memperhatikan dan membela kepentingan para nasabah bank-bank anggota LPS tersebut ?.
Jika LPS dikemudian hari tidak bisa mendapatkan kembali jumlah uang yang disuntikkan ke Century secara utuh alias merugi, kira-kira apa pertanggungjawaban dari LPS terhadap Bank-Bank yang menjadi anggotanya ? . Bisakah orang-orang yang bertanggungjawab di LPS, diberhentikan atau dituntut ke pengadilan ?. 4 tahapan penyuntikan dana mengindikasikan apa ?.
Dalam artikel kompas sebelumnya bertajuk “Karena Century, Negara Bisa Jeblok Rp 5 Triliun” tanggal 28 Agustus 2009, dinyatakan bahwa ada empat kali suntikan dana dari LPS ke Bank Century, yakni :
* Pertama pada 23 November 2008 senilai Rp 2,776 triliun (modal yang digunakan untuk mengembalikan rasio kecukupan modal/CAR Bank Century dari negatif 3,53 persen menjadi 8 persen).
* Kedua, pada 5 Desember 2008 senilai Rp 2,201 triliun.
* Ketiga, pada 3 Februari 2009 sebesar Rp 1,155 triliun untuk menutup kekurangan CAR berdasarkan hasil perhitungan BI.
* Keempat, pada 21 Juli 2009 senilai Rp 630 miliar.
Bertahapnya suntikan dana bisa disebabkan berbagai kemungkinan, yaitu :
* Pertama, LPS tidak bisa sekaligus menyuntik dana.
* Kedua, tidak adanya hitung-hitungan yang pasti pada saat penetapan keputusuan penyelamatan Bank Century
* Ketiga, salah hitung-hitungan untuk menetapkan berapa dana yang sebenarnya harus disuntikkan.
* Keempat, LPS dicurigai meloloskan kucuran dana 18 juta dollar AS dari Bank Century kepada pihak tertentu, yang memiliki hubungan utang piutang dengan pemegang saham lama, tetapi masih dalam proses pengadilan.
Mari kita diskusikan kemungkinan yang kedua. Disinilah perlunya audit oleh BPK untuk memastikan proses pengambilan keputusan pengucuran dana tersebut.
Dan BPK sebaiknya melihat apakah dalam pengambilan keputusan tersebut sudah dilakukan identifikasi berbagai alternatif pilihan pengambilan keputusan ?.
Apakah sudah secara sistematis melaksanakan analisa cost, benefit dan risiko yang terintegrasi ?.
Apakah ada data-data nyata untuk digunakan dalam membandingkan semua alternatif pilihan ?.
Jika proses pengambilan keputusannya tidak bermutu, sebaiknya orang-orang yang bertanggungjawab mengundurkan diri saja atau diberhentikan. Proses pengambilan keputusan yang tidak mencukupi menggambarkan orang-orang yang terkait tidak perform alias tidak profesional, minimal dalam pengambilan keputusan yang bermutu.
Sekarang kita diskusikan kemungkinan yang ketiga. Secara teknis, salah melakukan perhitungan bisa dikarenakan penggunaan data dan asumsi yang tidak akurat serta penggunaan pendekatan kalkulasi yang tidak tepat.
Hal seperti itu, seharusnya mudah untuk diidentifikasi oleh BPK.
Jika terbukti terjadi salah perhitungan, itu artinya posisi awal hasil pembandingan cost, benefit dan risiko sudah tidak tepat. Artinya, jika memang dana yang perlu disuntikkan itu HARUS sebesar Rp. 6,77 triliun tersebut, mungkin keputusan yang paling tepat adalah Bank Century tersebut ditutup saja. Ini juga bisa dianalisa oleh BPK.
Kesalahan melakukan perhitungan yang menyebabkan kesalahan pengambilan keputusan adalah tindakan tidak perform dari orang-orang yang terkait, alias tidak profesional.
Jika kemungkinan kedua ini yang terjadi, maka diharapkan agar orang-orang yang bertanggungjawab tersebut mengundurkan diri saja atau diberhentikan.
Sekarang kita diskusikan kemungkinan keempat. BPK harus membuktikan adanya indikasi tersebut. Jika ada, maka KPK dapat melaksanakan penyidikan lebih dalam.
Karena, meloloskan kucuran dana 18 juta dollar AS dari Bank Century kepada pihak tertentu dapat dikategorisasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Berpotensi sistemik kah ?.
Berpotensi sistemik adalah isu utama yang menjadi alasan mengapa Bank Century harus diselamatkan.
Saya tidak akan mendiskusikannya dari sudut aturan tetapi lebih melihat pada substansi pengertian potensi sistemik tersebut.
Darmin Nasution mengatakan, Bank Century diselamatkan karena jika dibiarkan mati, dikhawatirkan menyebabkan 23 bank lainnya juga bermasalah akibat di-rush nasabahnya.
Ke-23 bank tersebut merupakan bank-bank yang selevel dan memiliki hubungan bisnis dengan Bank Century. Di tengah krisis keuangan, kebangkrutan sebuah bank bisa merembet cepat ke bank lain yang selevel.
Dengan menggunakan analisa hubungan sebab – akibat, maka alasan sistemik memang masuk akal jika dijadikan sebagai dasar penyelamatan Bank Century.
Pertanyaannya adalah seberapa sistemik kah ?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan data yang akurat dan model perhitungan yang tepat. Kita berharap para auditor BPK dapat menganalisis seberapa akurat data dan model perhitungan yang digunakan.
Faktor potensi sistemik tersebut termasuk dalam komponen risiko ketika kita melakukan analisa cost, benefit, dan risiko dari semua alternatif pilihan pengambilan keputusan yang ada.
Tentu saja kita berharap bahwa BPK juga melaksanakan analisis yang menyeluruh mengenai kecukupan alternatif pilihan pengambilan keputusan yang relevan serta kecukupan analisis cost, benefit dan risiko tersebut.
Pengukuran Potensi Sistemik.
Pradjoto mengatakan bahwa yang menjadi masalah sebetulnya adalah mengapa Bank Century bisa dikatakan sistemik. Hanya saja, lanjut Pradjoto, hal itu sulit diukur karena tidak mungkin menggunakan parameter yang berlaku saat ini untuk menjangkau masa lampau.
”Jika terjadi keadaan bank seperti yang dahulu dialami Century pada saat ini, kemungkinan besar bank bersangkutan akan ditutup. Artinya, persoalan sistemik yang dialami Century sangat dipengaruhi krisis ekonomi global saat itu,” katanya.
Terus terang pernyataan tersebut membingungkan bagi saya. Mengapa kita harus mengukur potensi sitemik dengan parameter yang berlaku saat ini ?. Justru yang paling tepat adalah menggunakan parameter saat lalu.
Ketidaktepatan pengambilan keputusan penyelamatan tidak hanya tergantung pada ‘potensi sistemik’ tetapi juga pada aspek kecukupan dan kelengkapan pertimbangan lainnya seperti aspek cost, benefit dan risiko juga tergantung pada sudah diidentifikasinya semua alternatif pilihan penggambilan keputusan.
Tidak tercapainya tujuan pengambilan keputusan pada saat ini bisa juga dianalisis dari kecukupan hal-hal tersebut.
Penyuntikan dana tersebut dapat menimbulkan kerugian atau tidak ?.
Tentu saja LPS berpotensi mengalami kerugian. Tepatnya ketika LPS tidak bisa mendapatkan kembali uang yang sebesar Rp. 6,77 triliun yang sudah dikucurkan.
Kapankah itu ?. Penyelamatan Bank Century berpotensi merugikan negara, dalam hal ini Lembaga Penjamin Simpanan, pada tahun 2011 saat LPS harus melepas kepemilikannya atau harus mendivestasi saham Century paling lambat tiga tahun sejak pengambilalihan pada 21 November 2008, yaitu paling lambat November 2011.
“Dengan ekuitas yang sekarang mencapai Rp 500 miliar, saat dijual tiga tahun lagi diperkirakan hanya menjadi Rp 1,5 triliun-Rp 2 triliun,” ujar anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Dradjad H Wibowo, di Jakarta, Kamis (27/8), dalam rapat kerja dengan Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati dan Pejabat Sementara Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution.
Kita tunggu saja apakah nanti LPS benar-benar akan merugi atau tidak.
Tetapi kabar yang menyedihkan adalah pernyataan Kepala Eksekutif LPS, Firdaus Djaelani dalam konferensi persnya di Kantornya, Gedung BRI, Jakarta, Minggu (30/08/2009) seperti yang diberitakan di Detik.com pada artikel bertajuk “LPS Siap Jual Rugi Bank Century”
Setelah lima tahun kedepan, jika memang belum laku, kita bisa menjual Century dibawah dana yang LPS kucurkan sebesar Rp 6,77 triliun, demikian perkataan Firdaus Djaelani, karena memang diperkenankan oleh Undang-Undang.
Selanjutnya Firdaus menambahkan bahwa “Sesuai dengan Undang-undang LPS, lembaga penjaminan ini akan menjual paling lama 3 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 1 tahun (5 tahun). Maka kita akan menjual (divestasi) seluruh saham Bank Century dengan harga maksimal sebesar Rp 6,77 triliun”.
Jika mengacu pada pernyataan-pernyata an tersebut diatas, maka timbul beberapa pertanyaan kita terhadap LPS. Apakah LPS benar-benar boleh merugi ?.
Adakah kriteria yang harus dipenuhi sehingga LPS boleh merugi ?.
Adakah batas kerugian yang boleh ditanggung ?.
Adakah mekanisme pembuktian untuk menghitung jumlah kerugian tersebut ?.
Bagaimanakah pertanggungjawaban kerugian LPS kepada Bank-Bank anggota ?.
Pembolehan dan kemudahan LPS dalam melakukan penyuntikan dana namun merugi bisa menjadi peluang bagi orang-orang serakah dan loba untuk mendapatkan uang dalam jumlah yang luar biasa banyak. Jika terjadi, hal itu sangat menghina kecerdasan pemimpin dan rakyat negeri ini.
Adakah hubungan LPS dengan Pemerintah dan Negara ?.
Saya terusik ketika menyadari bahwa tidak ada dana APBN yang digunakan dalam penyuntikan dana ke Bank Century, namun ternyata terdapat potensi penggunaan dana masyarakat melalui bank dan LPS yang tidak dapat dipertanggungjawabk an serta potensi upaya untuk mendapatkan keuntungan dari dana Bank (baca: masyarakat) yang ada di LPS.
Dari perspektif pemerintahan, sudah jelas tidak ada hubungan penggunaan dana LPS dengan pemerintah. Namun, upaya penyelamatan bank adalah usaha bersama-sama yang dilakukan oleh Pemerintah, BI dan LPS.
Jadi kita harus melihat tugas LPS dari perspektif negara bukan pemerintah.
Itulah yang harus disadari oleh Pemerintah, BI dan LPS. Artinya masyarakat luas adalah owner yang sesungguhnya dari permasalahan penyelamatan Bank oleh Pemerintah dan BI dengan menggunakan dana LPS.
Semoga, BPK dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga kita semua dapat mengetahui bahwa tindakan penyelamatan bank century tersebut adalah memang tindakan yang benar-benar patut.
Jika memang harus masuk ke tingkatan penyidikan, maka kita berharap agar KPK dapat meningkatkan ke penuntutan, tentunya dengan bukti-bukti yang valid.
Artikel ini dapat dibaca di :
Apakah Benar Bank Century Merupakan Bank Gagal yang Berpotensi Sistemik ?.
http://public. kompasiana. com/2009/ 08/31/apakah- benar-bank- century-merupaka n-bank-gagal- yang-berpotensi- sistemik/
***
Uang sebesar Rp. 5.000.000.000. 000 (5 Trilyun Rupiah) itu buat saya suatu jumlah uang yang sangat banyak. Jika dibagikan kepada seluruh rakyat Indonesia, 250 juta orang, maka masing-masing orang akan menerima sebesar Rp. 20.000 per orangnya.
Uang sebanyak Rp. 5 Trilyun itulah, konon katanya, potensi kerugian yang akan diderita oleh negara ini akibat dari bailout Bank Century. Hitungan ini, konon katanya, didapatkan dari jumlah dana bailout sebesar Rp. 6,7 Trilyun dikurangi dengan nilai jual Bank Century jika nantinya dijual, saat kondisinya sudah sehat kembali dan nilai sahamnya membaik kembali.
“Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) harus mendivestasi saham Century paling lambat tiga tahun sejak pengambilalihan pada 21 November 2008, yaitu paling lambat November 2011. Artinya, dengan ekuitas yang sekarang mencapai Rp. 500 miliar, saat dijual tiga tahun lagi diperkirakan hanya menjadi Rp. 1,5 triliun-Rp. 2 triliun”, ujar anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Dradjad H Wibowo.
Dradjad juga mempertanyakan adanya pembengkakan angka penyelamatan (bailout) Bank Century. Menurutnya, ada ketidakjelasan mengenai pencairan deposito nasabah-nasabah tertentu, serta adanya indikasi perlakuan khusus terhadap nasabah tertentu, sementara nasabah Century yang lainnya harus berdemo dan tetap diabaikan.
07 Desember, 2009
Analisa Kasus Bank Century
Posted by Ardie182 at 10:30 PM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar