Sesungguhnya padanan istilah yang kita pinjam dari bahasa Arab (bahasa Al-Quran), amar ma’ruf dan nahi munkar terdapat pada istilah (dalam bahasa Inggris) “fight for” dan “fight against”, yaitu perjuangan proaktif dan perjuangan reaktif. Kedua-duanya itu sangat penting dan mempunyai fungsi sendiri-sendiri, namun dapat ditentukan mana tekanan utama dan mana pula tekanan kedua dalam konteks ruang dan waktu.
Setelah 48 tahun menghadirkan dirinya di atas pentas kehidupan umat, bangsa, dan negara, HMI banyak menghadapi tantangan. Bukan saja karena ia harus menunjukkan kemampuan untuk meningkatkan perannya, tetapi juga karena justru untuk meningkatkan peran itu HMI harus mampu memberi responsi pada tantangan zaman yang berbeda dari yang pernah ada. Berkenaan dengan ini, saya sering mengemukakan bahwa tantangan sekarang tidak lagi lebih banyak bersifat “fight against” atau “berjuang melawan” seperti dahulu sekitar awal kelahiran Orde Baru ketika negara terancam oleh berkembangnya ideologi anti-Pancasila dan anti-agama; tanta¬ngan sekarang lebih banyak menuntut kemampuan untuk “fight for” atau “berjuang untuk”, yakni sikap-sikap proaktif (positif), bukan reaktif (negatif). Agaknya hanya jika HMI mampu melancarkan sikap-sikap proaktif-positif itu maka “raison etre”-nya akan tetap bertahan dan kukuh. Ini bukanlah Darwinisme, tetapi jelas dalam hubungan sosial yang sistemik dan sibernatik. Kemampuan beradaptasi adalah pra¬syarat untuk “survive”—tidak dalam artian oportunistik seperti dikonotasikan dalam kata-kata “adaptasi” dan “survival” dalam dunia perpolitikan—tetapi dalam artian kemampuan untuk terus berkiprah, berpartisipasi, dan memberi kontribusi pada kemajuan masyarakat dan bangsa secara positif.
Jika secara analitis kita lakukan identifikasi tema perjuangan “fight against” di satu pihak dan “fight for” di lain pihak, tidak berarti bahwa salah satu dari keduanya itu, misalnya “fight against” tidaklah penting. Identifikasi itu hanyalah untuk memberi tekanan yang lebih besar pada salah satu dari keduanya, sesuai dengan tantangan zaman. Sementara itu kedua-duanya—mungkin dengan kadar tekanan yang berbeda—dapat berjalan bersama dan seiring. Tetapi, jelas ada saat-saat ketika salah satu dari keduanya itu lebih penting dan urgen dari¬pada lainnya. Misalnya, di sekitar tahun 60-an, mungkin juga awal 70-an, tekanan perjuangan HMI adalah lebih banyak pada “fight against”. Yaitu perjuangan melawan kaum pendukung ideologi yang anti-agama dan anti-Pancasila, khususnya PKI. Pada waktu itu para aktifis HMI—dengan bim¬bingan para seniornya yang sangat berpengalaman dan bijak seperti Achmad Tirtosudiro dan A. Dahlan Ranuwihardjo—telah dapat mencapai kecanggihan yang tinggi dalam melaksanakan perjuangannya melawan musuh-musuh negara. Dan kecanggihan itu, dalam bentuk pola perjuangan yang rasional, metodologis, dan sistematis, telah menghasilkan efektifitas yang tinggi. Karena itu, siapapun mengetahui dan mengakui bahwa peranan HMI dalam fase-fase itu sangat menentukan.
Namun, pada waktu yang sama HMI juga melakukan perjuangan dengan tema “fight for” yang proaktif dan positif. Misalnya, kita tidak saja sekedar “melawan” konsep PKI dan para pendukungnya bahwa Pancasila hanyalah alat pemersatu; HMI serentak dengan itu mendukung konsep bahwa Pancasila adalah jiwa bangsa yang berasal dari titik temu berbagai golongan di tanah air. Sebagai alat pemersatu, seperti dikatakan kaum komunis (yang pada dasarnya menolak Pancasila), maka rumusan Pancasila yang lima itu hanya mempunyai nilai instrumental, dalam pengertian bahwa jika persatuan yang menjadi tujuannya telah terwujud, maka Pancasila itu dapat dibuang. Sebaliknya, pandangan bahwa Pancasila adalah jiwa dan pandangan hidup bangsa, melahirkan wawasan bahwa Pancasila mempunyai nilai intrinsik, tidak sekedar instrumental. Sebagai yang bernilai intrinsik, masing-masing silanya adalah tujuan dalam dirinya sendiri. Karena itu, semuanya harus dielaborasi dengan jelas, kemudian dijalankan dalam masyarakat secara konsisten dan konsekuen. HMI mendukung wawasan ini, dan dukungan itu merupakan pola dari perjuangannya yang bersifat “fight against”. Walaupun begitu, kenyataannya adalah bahwa saat-saat yang lebih urgen dan merupakan urutan prioritas utama perjuangannya adalah melawan PKI dan pendukungnya yang muncul dalam Gestapu-PKI.
Pada saat sekarang ini, jelas sekali bahwa skala prioritas perjuangan telah berubah. Dalam zaman pembangunan ini, yang lebih banyak dituntut adalah kemampuan untuk berpartisipasi secara proaktif dan positif. Jadi tekanan lebih diberikan pada segi “fight for”. Oleh karena itu, yang lebih dipentingkan bukanlah sekedar semangat berapi-api dan berkobar saja, melainkan kemampuan teknis yang tinggi, yang “highly qualified”. Kemampuan ini lebih banyak mengarah pada kecakapan “problem solving” daripada “solidarity making”. Kemampuan teknis yang tinggi ini memerlukan wawasan keilmuan yang mendalam, disertai keterlibatan yang tulus dalam masalah-masalah kemasyarakatan. Tekanan kiprah pada kemampuan “problem solving” itu—yang dihadapkan pada “solidarity making”—dalam bahasa retorika populer kira-kira dapat disebut sebagai “Hattaisme” dalam penghadapannya kepada “Soekarnoisme”. Diakui bahwa penyebutan ini mengandung simplikasi, namun kiranya masih dapat dibenarkan karena memang ciri kepemimpinan Bung Hatta adalah “problem solving”, sedangkan ciri kepemimpinan Bung Karno adalah “solidarity making”. Jadi, saat ini kita lebih banyak memerlukan Hatta-Hatta, dan sedikit saja memerlukan Soekarno-Soekarno, meskipun sejumlah Soekarno tetap berguna.
Dalam nada yang simpatik pada HMI sekarang ini sering disinyalir sebagai “mundur”, “tidak bergairah”, “melempem”, dan lain-lain (yang sebagian, dilihat dari gejala lahiriahnya, memang benar). Perjuangan dengan tekanan pada “problem solving” sebagai wujud dari “fight for” yang proaktif memang lebih sulit, lebih “dingin”, lebih bersifat “kerja tekun” daripada “kerja berkobar”. Karena itu, last but not least, “kerja tekun” sebagai pola perjuangan itu juga bisa menjadi kurang menarik bagi orang banyak (yakni, orang umum yang dalam bahasa Arab disebut `awâm di Indonesiakan menjadi “awam”). Tentunya jika ini dibandingkan dengan “solidarity making” dan “fight against” yang lebih mudah dituangkan dalam retorika-retorika panas, negatifistik, populer, dan “menggairahkan” orang banyak.
Kesan HMI sebagai “melempem” sebagian adalah karena bagi himpunan ini tidak lagi mungkin bersandar pada model eksistensi dengan pola perjuangan berkobar lewat pidato-pidato panas dan retorika bombastis. Model ini meskipun barangkali menarik untuk orang awam tetapi perannya dalam mencari pemecahan masalah masyarakat, umat, bangsa, dan negara sangat kecil. “Perjuangan melawan” menurut tabiatnya sendiri akan selalu bersifat jangka pendek, sedangkan “perjuangan membangun” akan bersifat jangka panjang dan mengikuti garis kontinuum yang tidak boleh terputus-putus, dengan grafik yang harus selalu menanjak (artinya, selalu berproses menuju pada keadaan yang lebih baik). Konsistensi yang diperlukan untuk menjaga garis kontinuum itu tidak lain adalah fungsi dari iman dan ilmu: komitmen pribadi yang sedalam-dalamnya pada nilai etis dan moral, dan pengetahuan yang tepat tentang lingkungan sehingga dapat bertindak proporsional dan efektif.
11 Desember, 2009
“Fight For” dan “Fight Against”
Posted by Ardie182 at 2:23 AM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar