23 Desember, 2009

Kajian Logika Material

PENGANTAR KAJIAN LOGIKA MATERIAL

A. Pengertian Logika Material atau Induktif


Logika material sering disebut epistemologi, yaitu suatu cabang filsafat yang memandang isi atau materi pengetahuan dan bagaimana isi atau materi pengetahuan tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Jadi, secara umum logika material mempelajari tentang: (a) sumber dan asal usul pengetahuan; (b) alat-alat pengetahuan; (c) proses terjadinya pengetahuan; (d) kemungkinan-kemungkinan dan batas-batas (relativitas) pengetahuan; (e) kebenaran dan kesalahan; (f) makna kriteria; dan (g) teori dan metode ilmu pengetahuan (Salam, B., 1996; Surajiyo, dkk., 2006; Hadi, S., 2008). Pembahasan secara khusus tentang hakikat epistemologi ilmu akan diuraikan pada bab berikutnya.

Berbeda dengan logika formal (seperti yang telah di bahas pada bab sebelumnya), yaitu logika formal hanya mengkaji tentang bentuk ilmu (form-nya). Bentuk (form) atau logika formal itu adalah mengkaji antara lain tentang (a) definisi atau pengertian atau konsep; (b) makna keputusan; (c) beragam proposisi; (d) penyimpulan (inference); dan (e) silogisme (Bakry, N., 1995). Sedangkan dalam logika material mengkaji tentang: (a) sumber pengetahuan; (b) alat dan proses terjadinya pengetahuan; (c) kebenaran dan kesalahan; (d) kriterium; (e) kritika; (f) batas-batas pengetahuan; (g) metode dalam memperoleh ilmu pengetahuan; dan (h) teori-teori pengetahuan (Maram. R.R., 2007)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa logika material adalah ‘ilmu yang mempelajari proses aktifitas pikir yang memungkinkan lahirnya pengetahuan yang benar, dan metode-metode yang dapat membantu untuk memperoleh pengetahuan baru tersebut’. Atau ‘ilmu yang mempelajari tentang sumber-sumber dan asalnya pengetahuan, alat-alat pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan, kemungkinan-kemungkinan dan batas-batas pengetahuan, kebenaran dan kekeliruan, metode ilmu pengetahaun’ (Sudiarja, dkk., 2006).Menurut para ahli, terdapat beragam logika, yaitu: (a) logika sebagai ajaran berpikir atau logika teknik berpikir lurus dan benar; (b) logika sebagai ajaran pernyataan yang tertib dan jelas; (c) logika sebagai ajaran ilmu pengetahuan; (d) logika sebagai teknik atau metode penemuan ilmu pengetahuan; (e) logika sebagai teori-teori ilmu pengetahuan; dan (f) logika sebagai metafisika akal manusia (Oesman, 1978; Beerling, dkk., 2003). Logika sebagai ajaran berpikir atau logika teknik berpikir tertib, lurus, jelas dan benar sering disebut sebagai logika formal atau logika deduktif, sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Sedangkan logika ajaran ilmu pengetahuan, logika teknik dan metode memperoleh ilmu pengetahuan dan logika teori ilmu pengetahuan adalah sering disebut sebagai logika material atau logika induktif. Jadi, logika material atau logika induktif sering disebut atau disamakan dengan ‘metode-metode ilmu pengetahuan’.

Berdasarkan uraian singkat tentang pengertian logika material tersebut, dapat diperoleh pemahaman bahwa mempelajari logika material sangat berguna dalam menemukan ilmu pengetahuan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Diantara kegunaan atau fungsi mempelajari logika material antara lain:

1. Dapat mengetahui atau memahami bagaimana prosedur dan teknik atau metode penemuan ilmu pengetahuan secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

2. Dapat mengetahui atau memahami bagaimana hubungan antara filsafat-teori-pendekatan-metode dalam proses penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

3. Dapat menjadi evaluasi dan penyempurna dari proses kerja logika formal (deduktif) dalam mengungkapkan hakikat kebenaran terhadap fenomena kehidupan; dan

4. Dapat mengetahui atau memahami hakikat ilmu pengetahuan ditinjau dari tiga landasan kefilsafatan, yaitu: (a) landasan ontologi; (b) landasan epistemologi; dan (c) landasan aksiologi (Copi, I.M. 1978; Oesman, A., 1978; Salam, B. 1997). Secara khusus hakikat ontologi ilmu, hakikat epistemologi ilmu, dan hakikat aksiologi ilmu akan dijelaskan pada bab ke lima dalam kajian buku ini.

B. Asal Usul Ilmu Pengetahuan

Menurut Aristoteles, pada diri manusia ada potensi untuk ‘ingin mengetahui’ sesuatu. Dan dari potensi untuk ‘ingin mengetahui’ tentang segala sesuatu dalam hidup inilah lahir (asal usul) suatu pengetahuan. Jadi, pengetahuan itu diperoleh (muncul) melalui media pikir manusia atau akal pikiran manusia yang jernih tentang sesuatu hal (fenomena hidup) (Isma’il F.F. dan Mutawalli A.H. 1978). Akal pikiran manusia dalam mencermati beragam fenomena hidup terus berkembang. Jadi, sifat dasar ilmu pengetahuan adalah ‘rasional’ dan ‘akumulatif’. Dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki, manusia selalu ingin mencari kebenaran, kebahagiaan, selalu ingin melakukan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan dan dengan ilmu pengetahuan manusia merasa tidak puas terhadap karya budaya yang telah dimiliki, selalu ingin melakukan inovasi atau pembaharuan kehidupan (Sztompka, P., 1993). Keberadaan manusia dalam hidupnya sangat ditentukan oleh kualitas penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemudian upaya-upayanya untuk selalu berubah, ‘hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan esok harus lebih baik dari hari ini’.

Memang salah satu predikat penting yang melekat pada diri manusia adalah ‘manusia sebagai mahluk berpikir’ (homo thinking). Sebagai mahluk berpikir maka dalam hati dan pikiran manusia selalu ada keinginan untuk mengetahui sesuatu. Apabila ingin mengetahui tentang sesuatu tersebut dikumpulkan dan diolah secara teratur atau secara sistematis, kemudian diikuti dengan kesadaran dan perencanaan yang baik tentang keinginan untuk mengetahui sesuatu tersebut, maka apa yang semula hanya berupa bayangan dalam pikiran kemudian berubah menjadi pernyataan yang tertulis secara sistematis, kondisi mental dan sikap seperti itu disebut ‘refleksi’, dan salah satu ciri ilmu pengetahuan adalah bersifat reflektif (Semiawan, C., dkk.,2005). Sebagai makhluk berpikir (homo thinking).manusia terus menghasilkan dan mengembangkan pengetahuan baru melalui penelitian ilmiah. Jadi, asal usul pengetahuan adalah dari: (a) potensi diri manusia sebagai makhluk berpikir; (b) potensi berpikir tersebut terus dibangun, diolah, dikembangkan secara sistematik, logik dan objektif; dan (c) adanya dorongan internal pada diri setiap manusia untuk selalu tidak puas terhadap karya yang ada (setiap hasil research satu menuntut adanya research berikutnya), dan berjiwa inovator (ingin membaharui segala aspek kehidupannya).

Menurut Suriasumantri, J.S., (1996), bahwa dilihat dari hakikat usaha mencari kebenaran, sebenarnya sumber pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (1) pengetahuan yang didapat atau bersumber dari hasil usaha aktif manusia, baik melalui penalaran ilmiah atau melalui proses scientific research (penelitian ilmiah) maupun melalui perasaan intuisi; dan (2) pengetahuan yang didapat atau bersumber bukan dari usaha manusia (prosedur ilmiah), yaitu dari wahyu Tuhan melalui para Malaikat dan para Nabi atau Rasul. Hakikat penalaran ilmiah adalah merupakan gabungan dari penalaran deduktif (formal) dan penalaran induktif (material). Penalaran deduktif berorientasi pada pandangan positivisme atau rasionalisme, sedangkan penalaran induktif berorientasi pada pandangan konstruktivisme atau empirisme (Kattsoff, L.O., 1996). Penalaran deduktif adalah berpijak dari teori atau dalil ke contoh-contoh, atau dari prinsip umum ke khusus, sedangkan penalaran induktif adalah berpijak dari contoh-contoh ke teori atau dalil, atau dari khusus ke umum.

Menurut para ahli ada beberapa cara yang dapat ditempuh manusia dalam memperoleh sumber pengetahuan, yaitu: (1) cara tradisi (tenacity), yaitu gigih dalam memegang sesuatu yang dianggap benar oleh tradisi atau yang telah diwariskan oleh leluhur bahwa sesuatu itu benar; (2) cara otoritas atau kewenangan, artinya seseorang bisa memperoleh pengetahuan baru dengan bertanya kepada individu-individu yang memiliki otoritas atau kekuasaan di masyarakat, misalnya, tokoh agama, ilmuwan, tokoh budaya, guru, dosen, dan sebagainya; (3) cara pengalaman sehari-hari, baik secara individu atau kelompok. Cara seperti ini biasanya tanpa bimbingan, oleh karena itu cara seperti ini sering disebut trial and error (coba dan salah dan mencoba lagi); (4) cara logika deduktif dan induktif. Logika deduktif merupakan pola berpikir untuk mencari ilmu dari prinsip, teori ke contoh atau dari dalil ke contoh. Sedangkan logika induktif adalah pola berpikir untuk mencari ilmu dari contoh ke dalil atau dari fakta-fakta khusus ke prinsip umum; dan (5) cara atau metode ilmu pengetahuan atau dikenal dengan metode ilmiah atau melalui proses penelitian ilmiah. (Kerlinger, 2002; Sukardi, 2004). Diantara kelima cara dalam memperoleh ilmu pengetahuan tersebut di atas, cara keempat (logika deduktif-induktif) dan kelima (metode ilmiah) dianggap sebagai sumber atau cara memperoleh ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

C. Makna Batasan Benar dan Batasan Salah

Batasan tentang ‘sesuatu benar’ dan ‘sesuatu salah’ sejatinya dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu: (a) ‘benar’ atau ‘salah atau sesat’ menurut sudut pandang dasar-dasar logika (kebenaran logis); dan (b) ‘benar’ atau ‘salah atau sesat’ menurut sudut pandang teori-teori kebenaran dalam fllsafat ilmu (kebenaran dalam perspektif filsafat akan dibahas pada bab V).

1. Batasan ‘benar’ atau ‘salah atau sesat’ menurut logika

Kebenaran logis, adalah suatu kebenaran yang menunjukkan kesesuaian dari akal atau budi dengan barang-barang, artinya sesuai dengan kebenaran ontologis dari barang-barang itu. Atau dengan kata lain cocoknya pengertian dengan barang-barang yang dimengerti, artinya apabila penilaian kita sesuai dengan keadaan yang nyata ada (Mundiri, 1994; Hadi, S. 2008). Jadi, menurut logika sesuatu itu ‘benar’ jika sesuatu yang dikatakan itu sesuai dengan akal pikiran sehat dan betul-betul nyata adanya (data empirik) dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga sebaliknya sesuatu itu ‘salah’, jika sesuatu itu tidak sahih atau tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan logika dan tidak nyata ada dalam kehidupan sehari-hari. Dalam studi logika sesuatu yang ‘salah’ bisa dikatakan sebagai ‘sesat pikir’ atau sesat. Sesat pikir (fallacy), adalah ‘kekeliruan penalaran yang disebabkan oleh pengambilan kesimpulan yang tidak sahih dengan melanggar ketentuan-ketentuan berpikir logis, objektif dan rasional’ (Hutabarat, A.B., 1967).

Menurut Papar J.H. (1996), bahwa pada umumnya ‘sesat pikir’ dapat dibagi ke dalam tiga jenis, antara lain:

1. Sesat pikir karena bahasa. Sesat pikir karena bahasa bisa disebabkan karena: (1) menggunakan term ekuivokal, yaitu term yang memiliki makna ganda, misalnya kata ‘jarak’ bisa bermakna ‘ukuran jauh dekat’, bisa juga bermakna nama sebuah ‘pohon atau tanaman’ yang buah bijinya bisa dipakai bahan minyak; (2) menggunakan term metaforis, yaitu kata yang digunakan bukan dalam arti yang sebenarnya, misalnya ‘guru pahlawan tanpa jasa’; (3) menggunakan aksen yang membedakan arti suatu kata, artinya penggunaan kata yang sama tetapi aksennya (penekanan dalam ucapan) dirubah, misalnya kata ‘apel’, bisa bermakna ‘buah apel’ bisa juga bermakna ‘apel upacara’; (4) menggunakan konstruksi kalimat bermakna ganda (amphiboly), hal ini terjadi apabila suatu kalimat disusun itu bisa menghasilkan penafsiran ganda, misalnya, ‘direktur perusahan ‘X’ korupsi, demikian juga bawahannya’ (kata ‘bawahannya’ bisa tidak jelas, karena bawahannya jamak).
2. Sesat pikir formal. Sesat pikir formal terjadi karena melanggar kaidah-kaidah penalaran (berlogika) secara sahih. Ada empat jenis sesat pikir formal, antara lain: (1) sesat pikir empat term (fallacy of four terms), yaitu apabila suatu bentuk silogisme itu terdapat empat term, padahal semestinya silogisme itu terdiri dari tiga term; (2) sesat pikir proses tidak sah (fallacy of illicit prosess), yaitu sesat pikir yang terjadi karena term premis tidak berdistribusi tetapi term koalisi berdistribusi. Hal ini bertentangan ketentuan keempat mengenai term-term silogisme; (3) sesat pikir term tengah tak berdistribusi (fallacy of undistributed middle), yaitu sesat pikir terjadi karena term tengah tidak berdistribusi, padahal untuk memperoleh kongklusi yang benar term tengah sekurang-kurangnya satu kali berdistribusi; dan (4) sesat pikir dua premis negatif (fallacy of two negative premises), artinya sesat pikir yang terjadi karena menarik dari dua kesimpulan negatif, padahal dari dua premis negatif itu tidak dapat ditarik.
3. Sesat pikir material. Sesat pikir material adalah sesat pikir yang terjadi bukan karena bahasa penalarannya yang salah, melainkan isi (materi) penalarannya yang salah. Ada tujuh macam sesat pikir material, antara lain: (1) argumen terhadap orangnya, artinya sesat pikir karena argumentasi yang diberikan tidak fokus ke persoalan yang dibahas, melainkan fokus atau menyerang pada pribadi orang menjadi lawan bicara; (2) argumentasi untuk mempermalukan, artinya sesat pikir karena argumentasi yang diberikan tidak fokus ke persoalan yang dibahas, melainkan ditujukan untuk mempermalukan orang yang menjadi lawan bicara; (3) argumentasi berdasarkan kewibaaan, artinya argumentasi tentang sesuatu yang disampaikan orang lain dikaitkan dengan status orang yang bicara, misalnya ‘ide itu bagus karena disampaikan oleh seorang pemimpn terkenal dan kharismatik’; (4) argumentasi ancaman, artinya argumentasi ancaman untuk mendesak orang lain menerima pandangan tertentu, bila tidak menerima akan membahayakan dirinya; (5) argumentasi belas kasihan, artinya argumentasi itu untuk membangkitkan rasa belas kasihan pada lawan bicara untuk tujuan tertentu; (6) argumnetasi demi rakyat, artinya argumentasi yang bertujuan untuk menghasut rakyat, atau berlindung di balik kepentingan rakyat, padahal sejatinya untuk ambisi pribadi; (7) argumentasi ketidaktahuan, artinya argumentasi yang mengatakan ‘bahwa sesuatu itu tidak pernah ada karena saya atau kita tidak mengetahuinya’.

2. Dapatkah hasil pemikiran manusia mencapai kebenaran?

Uraian di atas telah menjelaskan tentang asal usul ilmu pengetahuan atau sumber pengetahuan dan makna kebenaran atau kesalahan dalam pandangan logika, sedangkan makna kebenaran (sesuatu dikatakan benar) dalam pandangan filsafat ilmu akan dijelaskan pada bab berikutnya. Dari uraian di atas tersebut muncul pertanyaan klasik, yaitu, ‘melalui proses kerja pemikiran, bisakah manusia mencapai hakikat kebenaran dalam hidup ini?. Berikut ini beberapa konsep penting yang dapat dijadikan sebagai alternatif pemikiran dalam mencermati atau menjawab tentang pertanyaan tersebut, antara lain:

Pertama, aliran Agnotisisme, yaitu aliran yang memandang bahwa manusia dengan segala kemampuan nalar atau kemampuan cipta (kualitas intelektual), rasa dan karsanya (kualitas emosional atau rasa-karsa) tidak mungkin dapat mencapai kebenaran absolut atau meraih hakikat kebenaran. Ada beberapa alasan pemikiran kelompok atau aliran agnotisisme antara lain:

1. Manusia dicipta dalam desain atau rancangan penuh keterbatasan diri (keterbatasan usia, keterbatasan daya ingat, keterbatasan jangkaun penglihatan, keterbatasan fisik, jiwa atau pikiran, pengalaman, pengetahuan tentang fenomena, dan sebagainya). Hakikat makna dibalik keterbataan diri itu adalah ‘ketidakmampuan diri’, dalam mengakses segala fenomena kehidupan yang sangat kompleks atau ketidakmampuan manusia dalam memahami segala sesuatu dalam hidup ini secara integral.
2. Kebenaran absolut atau hakikat kebenaran hanya dimiliki atau melekat pada Tuhan, karena dia adalah ‘Maha Benar’. Dia (Tuhan) Sang Pencipta manusia dan segala apa yang ada di jagat raya ini. Jadi, apa yang dipikirkan, diperbincangkan, dikaji, diteliti, dan dilakukan manusia sepanjang hidupnya, semuanya ada pada kekuasan Tuhan (directionary of God), atau karunia Tuhan. Sumber kebajikan, sumber kebenaran ada pada Tuhan melalui prinsip-prinsip ajaran agama. Oleh karena itu ketika manusia ingin memperoleh jalan pikiran yang benar dan langkah tindakan yang benar, dia harus memahami dan mengikuti rambu-rambu ajaran agama secara integral.
3. Dalam perspektif ajaran agama-agama samawi (agama langit atau agama yang mempunyai kitab suci dari Tuhan melalui para Malaikat dan Nabi atau Rasul), ada hal-hal dalam kehidupan manusia di alam ini yang harus dikaji, dikembangkan secara maksimal dengan menggunakan instrumen logika dan sciences, yang meletakkan prinsip-prinsip logika rasional, empirik, ilmiah dan objektif, tetapi ada hal-hal lain yang tidak bisa dikaji dengan instrumen sciences secara rasional dan empirik, misalnya: roh manusia, inti jiwa manusia, hidup sesudah mati dan sejenisnya.

Kedua, aliran Notisisme, yaitu aliran yang memandang bahwa manusia dengan segala kemampuan menalar atau kemampuan cipta (kualitas intelektual), rasa dan karsanya (kualitas emosional atau rasa-karsa) dapat mencapai kebenaran. Sedangkan beberapa alasan pemikiran kelompok atau aliran notisisme antara lain:

1. Meskipun manusia memiliki keterbatasan kemampuan berpikir, keterbatasan perasaan atau keterbatasan dalam banyak hal, namun manusia dengan segala kemampuan untuk merancang dengan baik, kemampuan untuk menyimpan dan mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu, serta kemampuan untuk memprediksi fenomena yang akan terjadi berdasarkan data-data research ilmiah, manusia dapat mencapai kebenaran sampai taraf 99 %. Aliran Notisisme mengakui bahwa kebenaran hasil olah cipta, rasa dan karsa manusia memang tidak bisa mencapai 100 %, tetapi dengan kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai manusia atau kecanggihan metode research, akurasi kebenaran bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
2. Aliran Notisisme mengakui kebenaran manusia yang diperoleh melalui penelitian ilmiah (scientific research) mengandung dua sisi, yatu: (1) dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, sejauh proses analisis datanya dilakukan secara benar dan sahih (valid) atau sesuai dengan prosedur penelitian ilmiah; dan (2) nilai kebenarannya berlaku sepanjang belum ada hasil penelitian berikutnya yang merevisi atau menyempurnakan hasil penelitian terdahulu. Jadi, sifat kebenarannya adalah bersifat ‘akumulatif’ dan ‘relatif’. Meskipun kebenaran yang diraih manusia itu bersifat akumulatif dan relatif, bukan berarti dapat dikatakan bahwa manusia tidak bisa mencapai kebenaran. Jadi, kebenaran tetap bisa diraih manusia dalam hidup sepanjang belum ada penelitian atau penemuan baru yang merevisinya.
3. Menurut aliran Notisisme, bahwa dalam memahami, memaknai dan memilih dua fenomena hidup, tidak mungkin ada dua fenomena (gejala) yang berada dalam posisi yang ‘sama-sama benar persis’ atau ‘sama-sama salah persis’, pasti ada salah satu dari dua fenomena tersebut mempunyai kadar tingkat kebenaran atau tingkat kesalahan yang berbeda, artinya ada yang ‘paling benar diantara yang benar’, atau ada yang ‘paling salah diantara yang salah’ (Idrus, M., 2007).

Ketiga, paham integratif, yaitu pandangan yang menilai bahwa pada hakikatnya manusia mempunyai dua unsur pemikiran dan tindakan, yaitu unsur rasional dan irasional. Aspek rasional mempunyai wilayah untuk memahami hal-hal tertentu yang berkaitan dengan fenomena kehidupan alam dan kehidupan sosial sehari-hari (realitas empirik), sedangkan unsur irasional mempunyai wilayah untuk memahami, meyakini sesuatu dibalik realitas alami dan realitas sosial dalam kehidupan sehari-hari adalah terdapat kebenaran absolut (kebenaran Tuhan). Tubuh manusia memang satu, tetapi pada diri manusia ada dua aspek yaitu material (raga) dan imaterial (jiwa), demikian juga dalam kehidupan dunia ini mengandung unsur makro dan mikro. Realitas tersebut membuktikan bahwa dalam memandang hakikat kebenaran seyogyanya manusia berusaha untuk menyatukan antara kebenaran filsafat dan ilmu (berifat relatif) dan kebenaran spiritual atau agama (bersifat absolut). Jadi, dalam memahami hakikat kebenaran dalam hidup ini harus mengintegrasikan kebenaran menurut paham agnotisisme dan notisisme.

Keempat, menurut para ahli, ada dua cara manusia dalam mencari kebenaran, yaitu: (1) cara atau pendekatan unscientific research (tidak menggunakan pendekatan penelitian ilmiah), pada umumnya cara atau metode ini meliputi tiga hal, yaitu: (a) secara kebetulan (pengalaman yang tidak disengaja); (b) secara trial and error (coba dan coba terus tanpa kepastian untuk mengubah suatu kondisi atau masalah); dan (c) melalui otoritas atau kewibawaan tokoh; dan (2) cara atau pendekatan scientific research (penelitian ilmiah), pada umumnya cara atau metode ini meliputi dua hal yaitu: (a) menggunakan cara berpikir kritis, rasional dan logis. Cara berpikir kritis, rasional dan logis, umunya meliputi dua hal yaitu: cara berpikir analitis (disebut juga pola berpikir secara deduktif atau logika formal); dan cara berpikir sintesis (disebut juga pola berpikir secara induktif atau logika material); dan (b) menggunakan cara penelitian ilmiah (lihat uraian pada bab berikutnya tentang tahap-tahap penelitian ilmiah) (Soekadijo, R.G. 1983; Giddens, A. 1995; Brannen, J. 2003).

D Makna Kriterium

Menurut Hadi, S. (2008), kriterium adalah ‘tanda yang dapat membedakan antara barang satu dengan barang yang lain’, atau ‘tanda yang dapat membedakan ketentuan yang sejati dari kepalsuan’. Dalam proses-proses sosial manusia harus mampu membedakan antara satu barang dengan barang yang lain, karena dengan mampu membedakan antar sesuatu manusia akan bisa mengklasifikasi sesuatu itu benar atau salah, sesuatu itu semestinya atau tidak semestinya, sesuatu itu asli atau palsu dan sejenisnya.

Demikian juga dalam persoalan studi ilmu pengetahuan, setiap individu yang tertarik dalam kajian-kajian science, harus bisa membedakan antara pengetahuan ilmiah dan pengetahuan tidak ilmiah, antara pengetahuan yang benar dan yang tidak benar, antara data yang valid (sahih) dan data yang tidak vaid (palsu) dan sejenisnya. Perlu dipahami bahwa setiap disiplin ilmu pengetahuan mempunyai karakteristik atau ciri khusus dalam memaknai kriterium (tanda) suatu fenomena kehidupan. Misalnya, kritrium dalam studi antropologi budaya tentu akan berbeda dengan kriterium dalam studi matematika; kriterium dalam studi psikhologi tentu tidak sama dengan kriterium dalam studi biologi; kriterium dalam studi penulisan sejarah (historiografi) tentu berbeda dengan kriterium dalam studi ilmu kimia; kriterium dalam studi politik akan berbeda dengan kriterium dalam studi kedokteran, dan sebagainya.

E. Makna Metode

1. Makna Metode


Metode bagaikan logika. Metode merupakan fundamen atau dasar penalaran manusia. Akan tetapi metode atau logika saja belum cukup bagi manusia dalam mengembangkan ilmu, dibutuhkan sarana lainnya, misalnya: bahasa, matematika, statistik. Sebagaimana yang telah disinggung dalam pembahasan terdahulu, bahwa dalam studi filsafat dijumpai beragam metode filsafat. Setiap generasi filosof bercita-cita untuk merumuskan sebuah metode yang ideal, namun sampai detik ini belum dijumpai suatu bentuk metode yang paling ideal dalam studi filsafat. Suatu metode dikatakan ideal apabila memenuhi beberapa syarat, antara lain: (a) mempunyai struktur yang fleksibel dan memungkinkan untuk pengembangan lebih lanjut; (b) sesuai dengan realitas empirik dan tidak bertentangan dengan sesuatu yang bersifat abstrak (teoritik); (c) bersifat objektif namun juga mengandung aspek subjektif; dan (d) bisa diterapkan secara universal (Poedjawiyatna, 1994; Sumaryono, 1999).

Berdasarkan beragam pengertian tentang metode, berikut penulis dapat mengemukakan pengertian metode secara sederhana, bahwa metode adalah ‘cara kerja atau jalan yang harus dilakukan seseorang, melalui langkah-langkah tertentu untuk mencapai suatu tujuan’. Dengan demikian setiap upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai suatu tujuan tertentu, melalui tahap-tahap tertentu seharusnya menggunakan suatu metode tertentu. Setiap ‘metode’ selalu memuat seperangkat aturan atau tatacara atau prinsip-prinsip atau tahap-tahap yang harus dilalui oleh seseorang dalam kegiatan tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Berikut ini beberapa konsep penting yang dapat dipahami tentang metode, antara lain:

Pertama, dalam kegiatan penelitian ilmiah. Dalam proses penelitian ilmiah seorang peneliti wajib menetapkan atau merumuskan metode penelitian. Metode tersebut harus dipatuhi dengan baik. Rumusan metode penelitian tersebut dijabarkan secara rinci dalam proposal penelitian. Letak rumusan metode penelitian dalam laporan penelitian adalah ada pada bagian ketiga atau bab III (Metode Penelitian). Bagian yang harus ada dalam rumusan metode penelitian minimal memuat tentang: (a) pendekatan atau strategi penelitian; (b) situs atau lokasi penelitian; (c) populasi dan sampel penelitian atau instrumen penelitian; (d) penjabaran variabel penelitian; (e) metode pengumpulan data; (e) analisis data penelitian; dan (f) validitas dan reliabilitas data atau keabsahan data (Sukardi. 2004).

Kedua, dalam kaitannya dengan studi logika material (induktif), metode merupakan cara kerja menurut prinsip-prinsip atau aturan-aturan yang berdasarkan objeknya untuk mencapai kebenaran ilmiah. Jadi, cara (metode) mencari kebenaran terhadap suatu objek, harus melalui prosedur atau aturan-aturan yang berlaku dalam kajian ilmiah, manusia tidak bisa bertindak semena-mena dalam menentukan kebenaran tanpa memperhatikan prinsip-prinsip ilmiah (The Liang Gie, dkk. 1979).

1. Metode Ilmu Pengetahuan

Menurut Soedomo Hadi (2007), ada beragam metode dalam kaitannya dengan kajian untuk meraih kebenaran, yaitu: Pertama, metode induksi dan deduksi. Metode induksi adalah suatu cara dalam melakukan kajian untuk meraih kebenaran dari tahap memperhatikan fakta-fakta (bersifat khusus), contoh-contoh menuju kesimpulan-kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan metode deduksi adalah cara dalam melakukan kajian untuk meraih kebenaran yang dimulai dari mengemukakan aksioma atau dalil (bersifat umum) kemudian mengurai sampai ke hal-hal yang bersifat khusus) atau contoh.

Kedua, metode otoritas dan science. Metode otoritas (kepercayaan) adalah cara (metode) dalam memperoleh kebenaran tentang sesuatu dengan meyakini apa yang telah disampaikan, diucapkan oleh seseorang yang dianggap ahli (expert atau specialist) di bidangnya. Sedangkan metode science (ilmu pengetahuan) dalam memperoleh kebenaran tentang sesuatu berdasarkan pembuktian secara ilmiah atau melalui proses penelitian ilmiah.

Ketiga, metode empiris dan rasional. Metode empiris (pengalaman nyata) adalah cara (metode) dalam memperoleh kebenaran tentang sesuatu melalui proses penyelidikan terhadap beberapa kejadian alam (pengalaman pasti yang bersifat gelaja alam). Metode ini umumnya dilakukan dalam studi ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences). Sedangkan metode rasional adalah berpangkal pada faktum-faktum dan berjalan dengan logika deduktif (formal) dan induktif (material) menurut kaidah-kaidah logis-rasional.

Keempat, metode konstruksi dan sistematisasi. Metode konstruksi dan sistematisasi adalah suatu usaha untuk memudahkan penyusunan sesuatu menjadi sistem-sistem dan teori-teori.

Berkaitan dengan proses mencari kebenaran ilmu pengetahuan (science), maka berikut ini ada beberapa konsep penting yang perlu dipahami tentang objektivitas science (ilmu pengetahuan) antar lain: (1) kode etik pengetahuan ilmiah, baik dalam studi ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences) maupun ilmu-ilmu pengetahuan sosial (social sciences) adalah mencari kebenaran seobjektif mungkin (Myrdal, 1982); dan (2) ciri atau sifat dari kebenaran objektif adalah: (a) most carefully verified (yang paling dapat dibuktikan kebenarannya); (b) disinterestedness (tidak memihak) dan unbiased by personal feeling (bebas dari prasangka dan kecenderungan berat sebelah pribadi); dan (c) value free (bebas nilai).

Khusus berkaitan dengan prinsip value free dalam proses penelitian ilmiah, menurut para ahli nampaknya sulit diberlakukan dalam studi ilmu-ilmu pengetahuan sosial (social sciences), hal ini disebabkan: (a) sulit sekali seorang peneliti terbebas dari pandangan-pandangan para ilmuwan sebelumnya, terutama teori-teori dari para ilmuwan yang dijadikan sebagai orientasi research-nya; (b) dalam memilih masalah penelitian, merumuskan desain penelitan, menyusun asumsi penelitian, memilih metode penelitian dan analisis data, semuanya tidak bisa lepas sama sekali dari unsur motivasi dan minat pribadi peneliti (sumbektiv); dan (c) seorang peneliti ilmu sosial tidak bisa lepas sama sekali dengan kondisi pola budaya, sosial dan lingkungan serta politik masyarakat yang dinilai, dan setiap peneliti cenderung akan sedikit banyak melibatkan subjektivitas dirinya dalam proses penggalian data di lapangan sekaligus proses analisisnya. Oleh karena itu setiap peneliti sosial harus secara jujur menjelaskan dalam proses penelitiannya tentang: (a) orientasi filosofis dan teoritik apa yang dipakai sebagai landasan penelitiannya, disertai dengan argumentasi secara logis; dan (b) pendekatan, metode dan strategi analisis apa yang dipakai, disertai dengan argumentasi yang logis (Myrdal, 1982).

F. Kesimpulan

Beberapa uraian singkat tersebut di atas, tentang logika material (induktif) penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut: Pertama, bahwa logika material sering disebut epistemologi, yaitu suatu cabang filsafat yang memandang isi atau materi pengetahuan dan bagaimana isi atau materi pengetahuan tersebut diperoleh dan bisa dipertanggungjawabkan. Jadi, secara umum logika material mempelajari tentang: (a) sumber dan asal usul pengetahuan; (b) alat-alat pengetahuan; (c) proses terjadinya pengetahuan; (d) kemungkinan-kemungkinan dan batas-batas (relativitas) pengetahuan; (e) kebenaran dan kesalahan; (f) makna kriteria; dan (g) teori dan metode mencari ilmu pengetahuan.

Kedua, manfaat mempelajari logika material antara lain: (a) dapat mengetahui atau memahami bagaimana prosedur dan teknik atau metode penemuan ilmu pengetahuan secara benar; (b) dapat mengetahui atau memahami bagaimana hubungan antara filsafat-teori-pendekatan-metode dalam proses penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan; dan (c) dapat menjadi evaluasi dan penyempurna dari proses kerja logika formal (deduktif) dalam mengungkapkan hakikat kebenaran terhadap fenomena kehidupan. Jadi, logika deduktif dan logika induktif mempunyai hubungan yang sangat erat dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan.

Ketiga, ada beberapa cara yang dapat ditempuh manusia dalam memperoleh sumber pengetahuan, yaitu: cara tradisi (tenacity); cara otoritas atau kewenangan, cara pengalaman sehari-hari, baik secara individu atau kelompok; cara logika deduktif dan induktif; dan cara cara atau metode ilmu pengetahuan atau dikenal dengan metode ilmiah atau melalui proses penelitian ilmiah.

Keempat, batasan tentang ‘sesuatu benar’ dan ‘sesuatu salah’ sejatinya dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu: (a) ‘benar’ atau ‘salah atau sesat’ menurut sudut pandang dasar-dasar logika (kebenaran logis); dan (b) ‘benar’ atau ‘salah atau sesat’ menurut sudut pandang teori-teori kebenaran dalam fllsafat ilmu.

Kelima, makna kriterium adalah ‘tanda yang dapat membedakan antara barang satu dengan barang yang lain’, atau ‘tanda yang dapat membedakan ketentuan yang sejati dari kepalsuan’. Perlu dipahami bahwa setiap disiplin ilmu pengetahuan mempunyai karakteristik atau ciri khusus dalam memaknai kriterium (tanda) suatu fenomena kehidupan.

Keenam, makna metode adalah cara kerja atau jalan yang harus dilakukan seseorang, melalui langkah-langkah tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Dengan demikian setiap upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai suatu tujuan tertentu, melalui tahap-tahap tertentu seharusnya menggunakan suatu metode tertentu. Setiap ‘metode’ selalu memuat seperangkat aturan atau tata cara atau prinsip-prinsip atau tahap-tahap yang harus dilalui oleh seseorang dalam kegiatan tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

G. Daftar Pustaka

Bakri, N., 1995. Logika Praktis. Dasar Filsafat dan Sarana Ilmu. Liberty. Yogyakarta.

Beerling. 1966. Filsafat Dewasa ini. Penterjemah Hasan Amin. PT. Balai Pustaka. Djakarta.

Beerling, dkk., 2003. Inleiding tot de Weteinschapsleer. Penerjemah, Soemargono. Pengantar Filsafat Ilmu. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta.

Brannen, J. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif (Aktualisasi Metodologi ke Arah Ragam Varian Kontemporer), PT. Raja Grafindo Persada. Yogyakarta

Copi, I.M. 1978. Introduction to Logic. Th ed. Macmillan. New York.

Giddens, A. 1995. The Constitution of Society: The Outline of the Theory of Structuration, Adi Loka (penerjemah). Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial .2003. Pedati. Pasuruan.

Hadi, A. S. 2008. Logika Filsafat Berpikir. LPP dan UPT. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Hutabarat, A.B., 1967. Logika. Penerbit. Erlangga. Jakarta.

Idrus, M., 2007. Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial (Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif). UII Press. Yogyakarta.

Isma’il F.F. dan Mutawalli A.H. 1978. Mahadi al Falsafah wa al-Akhlaq. Diterjemahkan Faqihudin. Cepat Menguasai Ilmu Filsafat. 2005. IRCiSod. Yogyakarta.

Kattsoff, L.O., 1996. Elements of Philosophy. Soemargono, Penerjemah. Pengantar Filsafat. Tiara Wacana Yogyakarta.

Kerlinger, F.N. 1980. Foundation of Behavioral Research, (third edition) Simatupang LR (penerjemah), Asas-asas Penelitian Behavioral. 2002. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Maram. R.R., 2007. Pengantar Logika. PT. Grasindo. Jakarta.

Mundiri. 1994. Logika. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Myrdal, G. 1982. Objektivitas Penelitian Sosial. LP3ES. Jakarta.

Oesman, A., 1978. Ilmu Logika. PT. Bina Ilmu. Surabaya.

Poedjawijatna. 1994. Logika (Filsafat Berpikir). Penerbit. Rineka Cipta. Jakarta.

Poespoprodjo, W., 1985. Logika Sientifika, Pengantar Dialektika dan Ilmu. Penerbit CV. Remadja Karya. Bandung.

Rapar, H.J. 1996. Pengantar Logika. Asas-asas Penalaran Sistematis. Kanisius. Yogyakarta.

Salam, B., 1997. Logika Material. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Rineka Cipta. Jakarta.

Semiawan, Conny, dkk.,2005. Panorama Filsafat Ilmu Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman. Mizam Publika. Jakarta Selatan.

Soekadijo, R.G. 1983. Logika dasar. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.

Sudiarja, dkk. 2006. Karya Lengkap Driyarkara. Esai-Esai Filsafat Pemikir Yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. PT. Gramedia. Jakarta

Sumarna, C., 2006. Filsafat Ilmu, Dari Hakikat menuju Nilai. Pustaka Bani Quraisy. Bandung.

Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Kanisius. Yogyakarta.

Surajiyo, dkk. 2006. Dasar-Dasar Logika. Bumi Aksara. Jakarta

Suriasumantri J. 1996. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Sztompka, P. 1993. The Sociology of Social Change, Alimandan (penerjemah). Sosiologi Perubahan Sosial. 2004. Prenada Media. Jakarta.

The Liang Gie, dkk. 1979. Pengantar Logika Modern. Karya Kencana. Yogyakarta.

0 comments:

 

blogger templates | Make Money Online