23 Desember, 2009

Kajian Logika Formal

PENGANTAR KAJIAN LOGIKA FORMAL

A. Pengertian Logika Formal

Ditinjau dari segi asal kata, maka kata ‘logika’ adalah dari kata ‘logos’ yang berarti ‘pengertian atau pemikiran atau ilmu’. Sedangkan ditinjau dari makna esensialnya, maka logika adalah ‘cabang dari filsafat ilmu pengetahuan dan logika juga merupakan bagian yang sangat mendasar dalam kerangka berpikir filsafat’. Berdasarkan pengertian tersebut maka logika merupakan bagian yang sangat penting atau mendasar dalam studi filsafat ilmu pengetahuan (Oesman, A. 1978; Copi, I.M. 1978).

Dalam studi filsafat ilmu pengetahuan (filsafat ilmu), ada dua macam logika, yaitu: (1) Logika formal atau logika minor, atau logika deduktif (dalam kajian buku ini ketiga istilah tersebut akan dipakai berulang-ulang); dan (2) Logika material, atau logika induktif; atau logika mayor (dalam kajian buku ini ketiga istilah tersebut akan dipakai berulang-ulang).

Dalam banyak literatur filsafat ilmu pengetahuan, ‘logika formal’ sering hanya disebut ‘logika’. Jadi, ketika pembaca hanya menemukan istilah ‘logika’ dalam beberapa literatur filsafat ilmu pengetahuan, maka hal itu yang dimaksud adalah ‘logika deduktif’ atau ‘logika formal’. Berdasarkan banyak definisi yang dikemukakan para ahli, dapat disimpulkan bahwa pengertian logika formal atau logika deduktif adalah ‘sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah berdasarkan bentuknya (form) serta kesimpulan yang dihasilkan sebagai kemestian yang diturunkan dari pangkal pikiran yang jernih atau sehat’. Atau logika formal adalah ‘suatu ilmu yang mempelajari asas-asas atau hukum-hukum dalam berpikir, hukum-hukum tersebut harus ditaati supaya pola berpikirnya benar dan mencapai kebenaran’ (Sudiarja, dkk., 2006; Copi, I.M. 1978).Berdasarkan pengertian singkat tentang logika deduktif atau logika formal tersebut dapat diambil beberapa konsep penting dari pengertian logika formal atau logika deduktif, antara lain:

1. Logika formal mengkaji atau mempersoalkan tentang forma (bentuk jalan pikiran yang benar); hukum-hukum, kaidah-kaidah, prinsip-prinsip atau patokan yang dijadikan pedoman individu dalam berpikir secara lurus dan tepat, sehingga mencapai kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

2. Logika formal mengkaji tentang makna definisi (pengertian), makna keputusan, makna proposisi, makna kebenaran, penyimpulan dan silogisme (Soekadijo, R.G. 1983; Mundiri, 1994)

Pada bab ini secara khusus akan menjelaskan tentang lingkup kajian logika formal atau logika deduktif, sedangkan lingkup kajian logika material (logika induktif) secara lebih khusus akan diuraikan pada bab berikutnya. Sekedar untuk memberikan pemahaman awal, berikut ini disampaikan tentang pengertian logika material atau logika induktif adalah ‘sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi’.

Berdasarkan pengertian singkat tersebut, maka logika material atau logika induktif adalah mempelajari tentang: (a) sumber-sumber dan asal usul ilmu pengetahuan; (b) alat-alat pengetahuan; (c) proses-proses terjadinya pengetahuan; (d) kemungkinan-kemungkinan dan batas-batas (relativitas) pengetahuan; (e) prinsip-prinsip penalaran; (f) kebenaran dan kesalahan; dan (g) metode ilmu pengetahuan (Oesman, A., 1978; Salam, B. 1997). Jadi, logika material atau logika induktif merupakan pokok bahasan metodologi ilmiah, atau metodologi ilmiah merupakan perluasan dari logika induktif, sehingga logika induktif atau logika material juga sering disebut ‘metode-metode Ilmiah’ (Copi, I.M. 1978; Bakry, N. 1995).

Logika dapat dianggap sebagai suatu ‘ilmu pengetahuan’, karena logika telah memiliki syarat-syarat sebagai ilmu pengetahuan, antara lain: (1) objek logika, yaitu objek material (pikiran manusia) dan objek formal (berpikir dengan lurus dan benar sesuai dengan kaidah); (2) metode logika, yaitu metode analitis dan metode sintesis; dan (3) struktur organis logika, yaitu kedudukan logika adalah bagian dari filsafat ilmu pengetahuan (logika formal dan logika material).

Uraian tersebut di atas mempertegas bahwa logika mempunyai kedudukan yang sangat sentral dalam studi filsafat ilmu pengetahuan, oleh karena itu ada beberapa manfaat mempelajari logika, baik logika formal maupun logika material antara lain:

1. Logika akan memberikan pertolongan pada individu dalam pengembangan pola berpikir secara lurus dan benar atau sah (sahih) sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir logis.

2. Logika membantu pikiran manusia untuk menyelaraskan dan mempergunakan prinsip-prinsip abstrak yang ada atau yang diterapkan pada semua disiplin ilmu pengetahuan, untuk menyusun kesimpulan tentang suatu fenomena.

3. Logika merupakan kunci atau penjembatan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan, oleh karena itu logika merupakan kunci dari penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan, atau logika dianggap sebagai pengantar yang baik bagi pemikiran filsafat ilmu pengetahuan

4. Logika akan menambah daya kekuatan atau kemampuan individu dalam berpikir abstrak dan kemampuan berpikir yang sesuai dengan tertib disiplin keilmuan tertentu, secara logis, objektif dan sistematis.

5. Logika dapat mengembangkan kemampuan imajinatif, kemampuan berpikir kreatif, inovatif dan prediktif dalam mengkaji beragam fenomena kehidupan di masyarakat.

6. Logika dapat membangun sikap mental individu cakap, tepat, kritis dan objektif, tidak ikut-ikutan oleh opini lain yang tidak jelas atau tidak landasan teoritik yang benar.

7. Logika dapat mengembangkan daya intuisi individu dengan pengembangan nalar yang runtut, rasional dan logis sesuai dengan disiplin keilmuan yang dimiliki seseorang.

8. Logika dapat meningkatkan daya atau kemampuan inkuiri, atau daya problem solving individu dalam mengkaji beragam fenomena kehidupan di masyarakat (The Liang Gie, dkk. 1979; Poespoprodjo, W. 1985; Maram.R.R., 2007).

Selain pembagian logika kedalam dua bentuk di atas (logika formal dan logika material), ada juga pembagian logika dilihat dari beberapa aspek kehidupan, antara lain:

1. Ditinjau dari aspek ‘kurun waktu’ nya, maka logika dibedakan menjadi dua, yaitu logika tradisional dan logika modern. Logika tradisional adalah kerangka berpikir yang didasarkan kepada tradisi atau kebiasaan-kebiasaan tradisional yang telah terwariskan oleh nenek moyangnya dari generasi ke generasi. Biasanya logika tradisional ini lebih banyak diwarnai oleh sesuatu yang bersifat mistik, generasi berikutnya tidak boleh mempertanyakan keabsahannya, setiap individu patuh menerima dan melaksanakannya. Sedangkan logika modern adalah logika rasional atau logika deduktif dan logika induktif, semua fenomena kehidupan selalu dikritisi, dipertanyakan keabsahannya, dan diteliti berulang-ulang.

2. Ditinjau dari aspek ‘orangnya atau tokoh atau filosof’, maka logika dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu logika Plato, logika Aristoteles, logika Descartes, logika Isac Newton, logika Strauss, logika Karl Marx dan sebagainya.

3. Ditinjau dari segi ‘alirannya’ dibedakan menjadi logika eleatik, logika intuisionistik, logika quantum mekanik dan sebagainya. Sekali lagi perlu dipahami bahwa jenis logika yang dijelaskan pada buku ini adalah logika formal (deduktif) dan logika material (induktif), karena logika formal dan logika material berhubungan langsung dengan filsafat ilmu pengetahuan, sedangkan aliran logika yang lain tidak dibicarakan.

B. Makna Pengertian dan Definisi

1. Makna Pengertian

Dalam studi tentang logika deduktif, kata ‘pengertian’ sering disamakan dengan ‘kata-kata budian’. Dari pendapat para ahli tentang apa pengertian itu, penulis dapat menyimpulkan tentang apakah yang dimaksud dengan ‘pengertian’, yaitu: ‘pengertian’ menurut logika formal adalah ‘suatu gambaran tentang ‘sesuatu’ hal, yang diproduk oleh pikiran dan jiwa melalui kemampuan indra seseorang’. Jadi, ‘pengertian’ pada hakikatnya suatu gambaran objek yang diolah oleh pikiran dan jiwa atau tanda tentang hakikat ‘sesuatu’ atau objek dalam jiwa seseorang.

Sejatinya seseorang tidak akan sanggup berbicara tentang ‘sesuatu’ sebelum mempunyai ‘pengertian’ atau ‘kata-kata budian’ tentang ‘sesuatu’. Agar seseorang mendapatkan ‘pengertian’ tentang ‘sesuatu’, maka seseorang itu harus menangkap ‘sesuatu’ melalui kemampuan indranya, kemudian dilakukan proses penyerapan, proses seleksi, pengolahan dan pemaknaan, pemahaman sampai penanaman konsep kedalam jiwa atau pikirannya. Contoh:

1. Individu bernama ‘X’, panca indranya menangkap ‘sesuatu’ berbentuk barang, kemudian tangkapan panca indra tentang ‘sesuatu barang’ tersebut diserap, diolah, diabstraksikan (digambarkan), diseleksi oleh akal pikirannya, kemudian ditanamkan dalam pikiran dan jiwanya bahwa ‘sesuatu barang’ yang ditangkap tersebut adalah ‘kursi tempat duduk’.
2. Kemampuan panca indra individu ‘X’ menangkap ‘sesuatu kata’, misalnya ‘prestasi’, kemudian tangkapan indra tersebut diterima oleh fantasi kemudian diserap, diolah dan diseleksi oleh alam pikiran dan terakhir ditanamkan dalam jiwa atau pikirannya, kemudian diperoleh pengertian tentang ‘makna prestasi’ yaitu ‘suatu karya unggul tentang sesuatu’. Jadi, pengertian ‘kursi tempat duduk’ adalah telah melalui proses penangkapan indra, kemudian diolah dalam pikiran dan dimunculkan pengertian tentang ‘kursi tempat duduk’, demikian juga pengertian tentang ‘prestasi’ dan sebagainya.

Dalam filsafat logika formal, terbentuknya ‘pengertian’ sangat dipengaruhi oleh adanya ‘tanda’ dan ‘kata’. Tanda adalah sesuatu yang menunjukkan sesuatu yang lain, contoh:

a) ‘tanda buatan manusia’ adalah suara petasan (mercon), bel masuk sekolah atau bunyi klakson mobil, bunyi terompet, suara seruling bambu. Suara atau bunyi tertentu tersebut muncul melalui alat yang dibuat oleh manusia.

b) ‘tanda bukan buatan manusia’ adalah suara petir (halilintar), suara gunung meletus, panasnya api, gemuruhnya ombak di tepi pantai, dan sebagainya. Suara atau bunyi tertentu tersebut muncul tidak melalui alat yang dibuat oleh manusia.

Sedangkan ‘Kata’ adalah tanda lahir, baik berupa ucapan (suara mulut) manusia atau tanda tulisan untuk menyatakan pengertian tentang sesuatu, misalnya kata: ‘belajar’, ‘demokrasi’, ‘prestasi’, ‘pendidikan’ dan sebagainya. Jadi, ‘pengertian’ dalam proses kehidupan adalah sangat penting, oleh karena itu perlu dipahami bahwa unsur pertama dan utama dalam berpikir adalah ‘pengertian’ tentang sesuatu hal.

Menurut filosof Aristoteles dalam Sunoto (1982), ada beberapa macam ‘pengertian’, antara lain:

1. Menurut kuantitasnya, yaitu ada: (1) pengertian singular (individual, misalnya, Ali, Ahmad, Budi, dan seterusnya); pengertian partikuler (misalnya: beberapa manusia, beberapa binatang, beberapa benda purbakala, kelompok buku referen, dan sejenisnya); (2) pengertian kolektif, misalnya: para pendengar semua, para hadirin, para pemirsa, sekawanan binatang, dan sejenisnya; dan (3) pengertian umum, misalnya: manusia (bisa semua manusia di dunia yang beragam ras dan etnik); tumbuh-tumbuhan (bisa semua jenis tumbuh-tumbuhan di alam ini); binatang (bisa semua jenis binatang yang ada di dunia ini), dan sebagainya.
2. Menurut keadaannya, yaitu ada: (1) pengertian abstrak, yaitu suatu pengertian yang sulit dilihat bentuk nyatanya, misalnya: pengertian kebahagiaan, pengertian keindahan, pengertian kedamaian, pengertian kesenangan, pengertian cinta-kasih dan sejenisnya; dan (2) pengertian kongkrit yaitu suatu pengertian tentang sesuatu yang bisa diraba dan dialami langsung atau dirasakan langsung, misalnya: pengertian kursi tempat duduk, pengertian manusia gagah dan kekar; pengertian buku tulis, pengertian gedung kuliah, pengertian sepeda motor Honda dan sejenisnya.
3. Menurut sifatnya, yaitu ada: (1) pengertian positif, yaitu pengertian yang menyatakan kualitas tehadap suatu objek, misalnya: bagus, baik, bermutu, gembira, adil, bijaksana dan sejenisnya; dan (2) pengertian negatif, yaitu pengertian yang menyatakan tidak ada kualitas pada suatu objek tertentu, misalnya: tidak cantik atau tidak tampan, gagal studi, tidak baik, tidak adil, dan sejenisnya.
4. Menurut tujuannya, yaitu ada: (1) pengertian ekstensi, yaitu pengertian yang menamakan atau mengidentifikasi suatu benda tertentu, misalnya: nama manusia Ali, Ahmad, Bambang; nama ras misalnya: ras Negroid, ras Kaukasoid, ras Mongoloid; nama binatang, misalnya: kambing, kerbau dan sejenisnya; dan (2) pengertian intensi, yaitu pengertian yang menyatakan kualitas dari ciri sesuatu, misalnya: manusia adalah mahkluk berpikir, manusia makhluk berbudaya, manusia makhluk beragama dan sejenisnya.
5. Menurut hubungannya, yaitu ada: (1) pengertian hubungan simetrik, misalnya: A = B, dan B = A; (2) pengertian hubungan asimetrik, misalnya, A lebih besar dari B dan B lebih kecil dari A; dan (3) pengertian transitif, misalnya A di muka B, B di muka C, A di muka C.

2. Isi dan luas pengertian

Pertama, Isi pengertian adalah ‘unsur-unsur yang terkandung di dalam suatu pengertian’ atau ‘jumlah semua unsur yang termuat dalam pengertian itu’. Jadi, isi pengertian adalah jumlah semua unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian itu. Sedangkan unsur-unsur dalam pengertian itu adalah: (1) unsur pokok (essensial); (2) unsur bukan pokok, yang masih bisa dijabarkan ke unsur lebih kecil; dan (3) unsur bukan pokok, yang tidak bisa dibagi atau dijabarkan lebih kecil lagi.

Contoh: (1) Pengertian manusia, maka:

1. Unsur pokok atau essensial-nya adalah jasad; ruh; hidup; rasional; sensitif; religious (jasad, ruh, rasional tersebut adalah essensial atau fundamen atau mendasar dalam memahami manusia).
2. Unsur kedua (bukan pokok tetapi bisa dibagi), yaitu: ‘manusia makhluk sosial’; ‘manusia makhluk yang bisa mendidik dan dididik’; ‘manusia makhluk berinteraksi’; ‘manusia makhluk berkarya’ (makhluk berbudaya), dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial, dan sebagainya tersebut masih bisa dibagi lagi kedalam bagian yang lebih kecil, misalnya: sebagai anggota keluarga, anggota kelompok olah raga, anggota organisasi sosial tertentu, dan sebagainya.
3. Unsur ketiga (bukan pokok tetapi tidak bisa dibagi), yaitu manusia yang berkulit kuning; berambut lurus; berhidung, dan sebagainya (rambut lurus, kulit kuning tersebut tidak bisa dibagi lagi ke unsur lebih kecil).

Contoh: (2) Pengertian binatang, maka:

1. Unsur pokok atau essensial-nya adalah naluri atau insting. Aspek naluri tersebut adalah essensial (mendasar) dalam memahami binatang.
2. Unsur kedua (bukan pokok tetapi bisa dibagi) adalah binatang karnifora, binatang herbifora (binatang herbifora tersebut masih bisa dibagi lagi kedalam bagian yang lebih kecil).
3. Unsur ketiga (bukan pokok tetapi tidak bisa dibagi) adalah kuku harimau; kulit buaya; mata elang, dan sebagainya (kuku harimau, mata elang dan sebagainya tersebut tidak bisa dibagi lagi ke unsur lebih kecil).

Kedua, luas pengertian adalah ‘jumlah barang-barang atau lingkungan realitas yang sama dan menunjukkan suatu pengertian’. ‘Luas pengertian’ dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (a) luas mutlak, yaitu luas pengertian itu sendiri, lepas dari fungsinya di dalam kalimat; (b) luas fungsional, yaitu luas pengertian (kata) yang menjadi term dalam suatu kalimat tertentu (Surajiyo, dkk., 2006; Hadi, S. 2008). Setiap pengertian disamping mengandung ‘isi pengertian’ juga mempunyai ‘luas pengertian’ atau ‘lingkungan’ atau ‘kelompok atau group’ yang mempunyai ciri-ciri barang atau tanda-tanda yang sama. Contoh luas pengertian adalah:

a) lingkungan ‘manusia Indonesia’, mengandung pengertian semua penduduk Indonesia dari Sabang sampai Meraoke, sedangkan orang Malaysia, orang Philipina, orang Jepang tidak termasuk didalamnya.

b) lingkungan ‘binatang buas’, yang masuk dalam pengertian ini adalah semua jenis binatang buas, misalnya: Harimau; Kucing; Serigala; Buaya; Kuda Nil, dan sebagainya, sedangkan kambing, ayam tidak termasuk di dalamnya. Jadi, kedua contoh tentang ‘luas pengertian’ tersebut menunjukkan bahwa lingkup pengertiannya sangat luas atau bersifat umum.

3. Klasifikasi pengertian dan pengertian umum


Ada beberapa pengelompokan atau klasifikasi pengertian, yaitu:

1. Ditinjau dari aspek ‘sempurnanya’, dibedakan menjadi: (a) pengertian lengkap (adequat), yaitu apabila isi pengertian itu dinyatakan kepada akal, contoh pengertian ‘manusia’. Substansi, hidup, rasional, yaitu manusia adalah ‘makhluk ciptaan Tuhan yang mempunyai kemampuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan atau berbudaya dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya’; (b) pengertian tidak lengkap (in adequat), yaitu tidak semua isi pengertian dinyatakan kepada akal, contoh pengertian ‘manusia’. Substansi, hidup, ini benar, tetapi tidak lengkap; (c) pengertian terang (clear), yaitu pengertian yang dengan jelas dan tajam dapat dibedakan dengan pengertian lain; (d) pengertian gelap (obscure), yaitu pengertian yang tidak dapat dengan jelas dan tajam dibedakan dengan pengertian yang lain; (e) pengertian pilah-pilah (distinct), yaitu pengertian itu isinya kelihatan oleh akal dengan pilah-pilah, misalnya, pengertian manusia: substansi-corporalois-vegetatif –sensitif-rasional; (f) pengertian kabur (confuse), yaitu apabila isinya tidak terlihat pilah-pilah, misalnya: pengertian ‘manusia’, barang hidup, barang.
2. Ditinjau dari aspek ‘isinya’, dibedakan menjadi: (a) pengertian simplex (tunggal), yaitu pengertian yang hanya punya arti satu, misalnya: dia, saya; (b) pengertian complex (jamak), yaitu pengertian yang isinya lebih dari satu, misalnya: ras (bisa ras Negroid, Kaokasoid, Mongoloid); binatang (bisa kambing, anjing, kuda).
3. Ditinjau dari aspek ‘luasnya’ maka dibedakan menjadi: (a) pengertian singular, yaitu pengertian yang hanya mempunyai daya tunjuk satu orang atau satu barang, misalnya: buku itu, burung itu, orang itu; (b) pengertian partikular, yaitu pengertian yang hanya menunjuk sebagian dari sejumlah barang yang sama, misalnya: kelompok buku kamus, sekawanan kuda; etnik Batak; (c) pengertian umum (universal), yaitu pengertian yang menyangkut semua bagian yang terkandung dalam pengertian itu, misalnya pengertian ‘manusia’ akan mengandung arti semua ras dan bangsa serta suku bangsa di dunia.

Menurut filosof Aristoteles dalam Hadi, S. (2008), ‘pengertian umum’ itu dapat digolongkan menjadi sepuluh kategori pengertian umum, yaitu:

1. Substansi, pengertian tentang ‘ada’ yang berdiri sendiri, dan ‘ada’-nya tidak tergantung pada yang lain, misalnya: pengertian manusia, pengertian binatang. Pengertian manusia dan pengertian binatang tersebut tidak bisa dicampur atau disatukan dalam satu konsep.
2. Kuantitas, adalah accidens yang menyebabkan sesuatu substansi bisa dibagi terus menerus. Accidens yaitu ‘ada’, yang adanya itu memerlukan ‘ada’ yang lain. Kuantitas ini dibedakan menjadi dua, yaitu: continum (berhubungan dengan masalah pengukuran, misalnya panjang benda bisa 1 meter atau 2 meter dan seterusnya) dan diskrit (berhubungan dengan penjumlahan, misalnya jumlah penduduk desa 5000 (lima ribu) orang, jumlah mahasiswa program studi filsafat 500 (lima ratus) orang, dan seterusnya).
3. Kualitas, yaitu accidens yang memberikan ketentuan lebih lanjut tentang ‘kebagaimanaan’ sesuatu substansi, misalnya tentang: ‘keadaan’, yaitu sehat, sakit, lemah, kuat; ‘sifat fisik’, yaitu halus, kasar, cantik, bersih; dan ‘bentuk atau rupa’, yaitu gemuk, lurus, langsing, tinggi.
4. Relasi, adalah suatu accidens yang menyatakan suatu hubungan dan juga perbandingan antara substansi yang satu dengan yang lain, contoh: Ali adalah teman dekat Amir; Maya lebih gemuk daripada Ava.
5. Aksi, adalah accidens yang menyatakan apa yang dilaksanakan oleh substansi itu, contoh: bekerja, meneliti, membaca.
6. Pasi adalah accidens yang menyatakan apa yang dialami oleh sesuatu substansi, karena adanya aksi dari substansi yang lain, misalnya kijang dikejar harimau, perampok dikejar massa.
7. Waktu adalah accidens yang memberikan jawaban kapan si substansi itu, contoh: kemarin, sekarang, akan datang, minggu, bulan depan, tahun depan, dan sejenisnya.
8. Tempat adalah accidens yang menyatakan tempat substansi, contoh: di rumah, di kampus, di mobil, di pasar, di stasiun, dan sejenisnya.
9. Habitus atau pakaian adalah accidens yang menyatakan apa yang dipakai oleh substansi, contoh: Fulan memakai jaket; Ani mengendarai sepeda Honda.
10. Situs atau letak adalah accidens yang menyatakan sikap substansi, contoh: membungkuk, berbaring, meniarap, berdiri, duduk, dan sejenisnya.

Di atas telah diuraikan tentang ‘pengertian’, ada baiknya berikut ini dikemukakan teori pengertian menurut filosof terkenal Aristoteles. Menurut Aristoteles ada beberapa prinsip dalam membentuk ‘kalimat budian atau pengertian’. Prinsip-prinsip tersebut kemudian sering disebut sebagai ‘teori pengertian’. Menurut Aristoteles prinsip terbentuknya pengertian adalah:

1. indra manusia menangkap ‘sesuatu’ yang akan dimengerti (kemampuan dalam menangkap sesuatu itu tergantung kualitas kemampuan indra yang dimiliki setiap individu).
2. ketika indra menangkap ‘sesuatu’, maka akan terjadi proses ‘pengumpulan kesan-kesan’ oleh indra. Tahap kedua ini disebut ‘indra umum’ atau ‘keinderaan dalam’ (innersense).
3. berikutnya kesan-kesan umum hasil dari innersense diterimakan kepada fantasi.
4. tahap berikutnya fantasi mengolah dan membuat gambaran (abstraksi) fantasi dari objek yang ditangkap oleh indra.
5. selanjutnya gambaran fantasi tentang objek tersebut diteruskan kepada akal yang melakukan seleksi atau penyaringan tentang hakikat objek yang ditangkap, dan
6. terakhir, adalah hakikat objek tersebut ditanamkan pada jiwa atau pikiran, sehingga manusia memperoleh pengertian tentang sesuatu (Poedjowijatno, 1994).

4. Term

Term adalah kata-kata atau rangkaian kata-kata (pernyataan pengertian) yang berfungsi sebagai subjek (S) atau predikat (P) dalam suatu kalimat (Hutabarat, 1967; Sunoto, 1982; Mundiri, 1994). Atau Term merupakan kata atau kata-kata yang mempunyai fungsi untuk mewakili ide dalam mengatakan sesuatu hal (Budiman.A., 2003). Ada dua macam term, yaitu term tunggal, yaitu hanya terdiri dari satu kata, misalnya: kuda, manusia, juara, belajar dan sebagainya; dan term susun (kompleks), yaitu terdiri dari dua kata atau lebih yang mengandung pengertian tentang sesuatu objek, misalnya: Universitas Brawijaya Malang; Lembaga Pemberantas Korupsi; Papan Tulis; Organisasi Penyandang Dana Anak Terlantar; Para Pedagang Kaki Lima, dan sebagainya. Jadi, term merupakan simbol kongkrit dari sebuah ide seseorang yang bersifat abstrak.

Ide, term dan kata mempunyai hubungan yang sangat erat. Antara ide, term dan kata mempunyai perbedaan. Ide merupakan gagasan pikir tentang sesuatu hal yang sifatnya abstrak, letaknya ada dalam pikiran seseorang, sedangkan term dan kata merupakan simbol yang lebih kongkit dari suatu ide. Seseorang akan mengetahui atau memahami ide orang lain ketika ide itu telah dinyatakan dalam kata dan term. Perbedaan kata dengan term adalah, kalau term bisa terdiri dari satu kata atau lebih dar satu kata (term susun atau kompleks). Jadi term lebih luas dari pada kata. Contoh: (a) term tunggal, yaitu ‘manusia’ melambangkan ide atau gagasan tentang manusia adalah: makhluk berbudaya; makhluk berpikir; makhluk yang mampu berbahasa secara kompleks; makhluk beragama, dan sebagainya; (b) term kompleks (lebih dari satu kata), yaitu ‘Organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa’ melambangkan ide atau gagasan tentang organisasi dunia yang menangani beberapa hal antara lain: beragam kepentingan perdamaian dunia; beragam kesejahteraan dunia; beragam stabilitas keamanan dunia; beragam pendidikan dan layanan sosial dunia, dan sebagainya.

5. Definisi


Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ‘pengertian’ tentang sesuatu adalah hal yang penting bagi seseorang dalam ‘mendefinisikan’ sesuatu hal. Definisi adalah ‘penjelasan apa yang dimaksudkan dengan sesuatu istilah’ atau ‘sebuah pernyataan yang memuat penjelasan tentang arti suatu istilah’ (Tim Dosen Filsafat, 2002).

Suatu definisi dikatakan baik apabila definisi tersebut mengandung dua unsur, yaitu: (1) ‘istilah yang akan dijelaskan’ (definiendum); dan (2) ‘uraian kalimat yang menjelaskan arti dari istilah tersebut’ (definiens). Contoh:

a) definisi tentang ‘belajar’, istilah atau kata ‘belajar’ adalah definiendum, sedangkan uraian tentang pengertian belajar yaitu ‘proses perubahan tingkah laku seseorang dari tidak tahu atau tidak bisa menjadi tahu atau menjadi bisa’ adalah definiens.

b) definisi tentang ‘manusia’, yaitu ‘manusia adalah makhluk berpikir dan berbudaya’. Kata manusia adalah definiendum sedangkan makhluk berpikir dan berbudaya adalah definiens.

Dalam kajian logika formal (deduktif), secara umum macam-macam definisi dibedakan menjadi tiga, yaitu:

1. Definisi nominalis, yaitu ‘definisi yang menjelaskan sebuah istilah’. Definisi nominalis dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) definisi sinonim, yaitu penjelasan dengan memberi arti persamaan dari istilah yang didefinisikan. Contoh: Valid adalah ‘sahih’; Sawah-ladang adalah ‘lahan pertanian terbuka’, Universitas adalah lembaga pendidikan tinggi tempat mendidik mahasiswa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan sebagainya; (2) definisi simbolik, yaitu penjelasan dengan memberikan persamaan dari istilah berbentuk simbol-simbol. Contoh, ( p => q ) = df – ( p Λ – q ), di baca, Jika p maka q, didefinisikan non (p dan non q); dan (3) definisi etimologis, yaitu penjelasan istilah dengan memberikan uraian asal usul istilah atau kata tersebut. Contoh. pengertian kata ‘filsafat’ berasal dari bahwa Yunani terdiri dari kata ‘philein’ yang berarti cinta dan ‘sophia’ yang berarti kebijaksanaan, dan sebagainya.

Uraian tersebut menunjukkan bahwa membuat definisi nominalis bisa dilakukan dengan cara: (1) memberi sinonim atau makna kata yang sepadan; (2) membuat pembedaan beberapa arti dari suatu term, atau suatu term diberi arti tidak hanya satu aspek pengertian tetapi beberapa aspek pengertian, misalnya term ‘keluarga sejahtera’, bisa didefinisikan sejahtera dari beberapa aspek; (3) memberi asal usul kata (etimologi); (4) menunjuk pada sejumlah nama atau benda yang serumpun, misalnya kata ‘tanaman’ mengandung arti tanaman mangga, padi, jagung, kedelai dan sebagainya; (5) menguraikan atau menarasikan dengan ciri-cirinya, misalnya kata ‘bitang harimau’ adalah binatang yang karnifora; raja hutan; daya jelajah tinggi; giginya yang kuat dan sebagainya.

1. Definisi realis, yaitu ‘penjelasan tentang sesuatu atau hal yang ditandai oleh suatu istilah’. Definisi realis dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) definisi essensial, yaitu penjelasan dengan cara menguraikan bagian penting atau mendasar tentang sesuatu hal yang didefinisikan. Contoh, definisi ‘manusia’, adalah makhluk yang mempunyai unsur jasad, jiwa dan ruh; Definisi ‘nilai’, adalah sesuatu yang diagungkan atau dijadikan pedoman hidup; (2) definisi deskriptif, yaitu penjelasan dengan cara menunjukkan sifat-sifat atau ciri-ciri yang dimiliki oleh sesuatu yang didefinisikan. Contoh, Bangsa Indonesia adalah ‘bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan’, dan sebagainya.

Definisi deskriptif dibedakan menjadi empat macam, yaitu: (1) definisi asli, yang menerangkan sesuatu yang didefinisikan dengan menggunakan salah satu atau beberapa ciri dari yang didefinisikan, misalnya ‘harimau’ adalah binatang karnifora yang mempunyai daya cengkraman kuku yang sangat kuat; (2) definisi kausal, yang menjelaskan sesuatu melalui sebab ekstrinsiknya yang asli yang menunjukkan fungsi atau tujuannya, misalnya ‘bahasa’ adalah alat atau media komunikasi manusia; (3) definisi genetik, yang menjelaskan bagaimana sesuatu itu muncul, misalnya rumus-rumus kimia; dan (4) definisi aksidental, yang menjelaskan sesuatu dengan menunjuk dan menjumlah aksidental (Budiman.A., 2003).

1. Definisi praktis, yaitu ‘penjelasan tentang sesuatu istilah atau kata dari segi manfaat dan tujuan yang hendak dicapai’. Contoh: (1) ‘filsafat’ adalah ‘pemikiran secara kritis, sistematis, rasional, logis, mendalam dan menyeluruh untuk mencari hakikat kebenaran’; (2) ‘Universitas atau Institut’ adalah lembaga pendidikan tinggi untuk mendidik dan mencetak sarjana yang berkualitas yang berguna bagi masyarakat’ (Mundiri, 1994; Maram.R.R. 2007).

Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam membuat definisi nominalis (hukum definisi nominalis), yaitu: (1) suatu istilah jika hanya mempunyai arti tertentu, haruslah digunakan sesuai arti tersebut; (2) suatu istilah atau kata yang sangat biasa hendaklah dipakai juga menurut arti yang biasa; (3) jangan menggunakan kata yang tidak dapat memberi arti yang tepat dan jelas; dan (4) jika arti sesuatu istilah menjadi objek pembicaraan harus tetap sesuai kesepakatan.

Demikian juga ada beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam membuat definisi realis (hukum definisi realis), yaitu: (1) definisi harus menyatakan ciri-ciri hakikat dari apa yang didefinisikan; (2) definisi harus merupakan kesetaraan arti dengan hal yang didefinisikan; (3) definisi harus menghindarkan pernyataan yang memuat istilah yang didefinisikan; (4) definisi sedapat mungkin harus dinyatakan dalam bentuk rumusan yang positif; dan (5) definisi harus dinyatakan secara singkat dan jelas terlepas dari rumusan yang kabur atau kiasan (Tim Dosen Filsafat, 2002; Budiman.A., 2003).

C. Makna Keputusan

Tentang keputusan. Keputusan adalah ‘perbuatan atau produk logika manusia dimana dia mengakui atau memungkiri sesuatu tentang sesuatu hal’. Atau ‘keputusan akal’ yang merupakan gabungan pendapat, misalnya: rumah besar dan rumah sangat indah, digabungkan menjadi rumah besar dan yang sangat indah adalah istana (Hutabarat, 1967; Sunoto, 1982). Jadi ada tiga unsur dari ‘pengertian keputusan’ di atas, yaitu: perbuatan manusia; mengakui atau tidak mengakui; dan sesuatu tentang sesuatu. Maksud perbuatan manusia adalah akal, perasaan dan kemauan manusia berbuat sesuatu; Maksud mengakui adalah mengiyakan atau membenarkan tentang sesuatu. Maksud tentang sesuatu adalah objek yang dapat dilihat atau tidak dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari.

Unsur-unsur keputusan adalah harus ada subjek (S); predikat (P) dan kata penghubung atau medium (M). Ada beberapa bentuk keputusan, antara lain:

1. Ditinjau dari segi bentuk (kualitas), maka keputusan dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) keputusan positif (contoh, manusia adalah berbudaya; kerbau itu binatang; tumbuh-tumbuhan itu bermanfaat bagi kehidupan manusia dan sebagainya); dan (2) keputusan negatif (contoh, manusia bukan binatang; Anjing itu bukan kucing, dan sebagainya).
2. Ditinjau dari segi luas (kuantitas), maka keputusan dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) keputusan universal (contoh, semua manusia terkena nasib mati; semua binatang mempunyai insting, dan sebagainya); (2) keputusan partikular (contoh, beberapa mahasiswa berambut gondrong; beberapa pohon tumbang; beberapa binatang makan rumput); dan (3) keputusan singular (contoh, Columbus penemu Benua Amerika).

Dalam studi logika deduktif, keputusan (judgment) dan proposisi (proposition) adalah menunjuk pada sesuatu hal yang relatif sama. Keputusan sebagai produk logika manusia adalah keputusan nalar atau pikiran individu tentang benar tidaknya suatu konsep berhubungan dengan konsep lainnya. Misalnya, konsep ‘harta’ dihubungkan dengan konsep ‘amanah’ dalam suatu kalimat ‘harta hakikatnya adalah amanah dari Tuhan’. Sedangkan proposisi sebagai produk logika manusia adalah pernyataan tentang sesuatu (konsep) yang dikemukakan atau diusulkan oleh pikiran manusia.

Ada beberapa macam keputusan, antara lain: (1) keputusan sintesis, yaitu putusan yang predikatnya mewujudkan sintesis (kumpulan atau susunan) dengan subjek. Contoh, Taman kampus Unibraw Malang penuh dengan bunga; (2) keputusan analitis, yaitu putusan yang predikatnya sebenarnya sudah tercantum atau termuat dalam subjek. Contoh, Budiman adalah mahasiswa FISIP, Prodi Sosiologi Universitas Brawijaya Malang; Ahmad adalah dosen Filsafat Ilmu di FISIP UGM Yogyakarta; (3) keputusan positif, yaitu putusan yang menunjukkan pengakuan tentang adanya hubungan antara subjek dengan predikat. Contoh. Ikan Tuna segar itu berprotein tinggi; (4) keputusan negatif, yaitu putusan yang menyatakan tidak adanya hubungan antara subjek dan predikat. Contoh, Ikan Tuna segar itu tidak ada proteinnya;(5) keputusan universal, yaitu putusan yang menunjukkan hubungan subjek dan predikatnya mengenai semua (universal) gejala atau fenomena tertentu. Contoh, semua mahasiswa baru masuk di Univesitas negeri melalui seleksi; Semua perilaku binatang mendasarkan pada naluri; (6) keputusan partikular, yaitu putusan yang menunjukkan hubungan antara subjek dan predikat tidak berlaku untuk semua. Contoh, beberapa mahasiswa mencapai IP Semester 3,5; sebagian dosen menduduki jabatan struktural di Universitas; (7) keputusan singular, yaitu putusan yang menunjukkan hubungan antara subjek dan predikatnya hanya berlaku bagi seorang saja. Contoh, Ir. Sukarno adalah presiden RI pertama; Aritoteles adalah seorang filosof; (8) keputusan kategoris, yaitu putusan yang tidak menetapkan syarat apapun bagi berlakunya hubungan subjek dan predikat. Contoh, UUD 1945 adalah konstitusi negara RI; dan (9) keputusan hipotetis, yaitu putusan yang menetapkan syarat bagi adanya hubungan subjek dan predikat, apabila syarat itu dipenuhi terdapatlah hubungan, demikian juga sebaliknya. Contoh, Apabila tingkat pendapatan petani tinggi (syarat), petani (subjek) akan sejahtera (predikat) (Poedjawijatna, 1994; Budiman.A., 2003).

D. Makna Proposisi Majemuk

Proposisi majemuk adalah ‘suatu pernyataan terdiri atas hubungan dua bagian yang dapat dinilai benar atau salah’. Berdasarkan bentuknya, maka proposisi majemuk dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: Proposisi hipotetik; Proposisi disjungtif; dan Proposisi konjungtif (Bakry,1995).

1. Proposisi hipotetik

Proposisi hipotetik adalah ‘suatu pernyataan yang mempunyai hubungan ketergantungan antara dua bagian, yang pertama sebagai anteseden (premis) dan kedua sebagai konsekuen (kesimpulan)’. Contoh:

1. Jika nanti sore tidak hujan saya akan datang kuliah filsafat.
2. Mahasiswa boleh ikut UAS jika telah memenuhi persyaratan minimal daftar hadir.

Proposisi hipotetik dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: proposisi ekuivalen (kesetaraan); proposisi implikatif (persyaratan); dan proposisi problematik (kemungkinan). Proposisi ekuivalen adalah ‘pernyataan majemuk yang mempunyai hubungan kesetaraan antara premis (anteseden) dan kesimpulan (konsekwen)’. Jadi, jika terjadi premis akan terjadi kesimpulan, dan jika terjadi kesimpulan akan terjadi premis. Contoh:

1. Mahasiswa dinyatakan lulus S1 jika telah mencapai 145 SKS dengan IPK≥ 2,00; atau Jika telah mencapai 145 SKS dengan IPK≥ 2,00, maka mahasiswa dinyatakan lulus.
2. Mahasiswa dinyatakan mendapat dinlai A apabila bisa menjawab delapan soal dari sepuluh soal ujian Filsafat Ilmu dengan benar; atau Jika mahasiswa mampu menjawab delapan soal dengan benar pada ujian Filsafat Ilmu dia dinyatakan lulus dengan nilai A.

Proposisi implikatif atau implikasi adalah ‘pernyataan majemuk yang mempunyai hubungan persyaratan antara premis (anteseden) dan kesimpulan (konsekwen)’. Contoh: Jika si Fulan sakit jiwa, maka dia tidak boleh dihukum; Jika IPK mahasiswa semester I kurang dari 2,00, maka dia tidak boleh memprogram pada semester II; Jika mahasiswa tidak memprogram studi di awal semester, maka dia tidak boleh ikut kuliah, dan sebagainya. Proposisi implikatif ada dua macam, yaitu implikasi logis (berdasarkan akal sehat) dan implikasi material (bersifat benda)

Proposisi problematik, adalah ‘suatu pernyataan yang hubungan ketergantungannya bersifat kemungkinan antara anteseden (premis) konsekwen (kesimpulan), atau anteseden terjadi belum tentu menyebabkan konsekwen atau sebaliknya’. Contoh:

1. Bila Otoda tingkat propinsi, maka hasil pembangunan akan merata dan lebih berhasil.
2. Bila liberalisme berkembang di Indonesia, maka keamanan negara akan terancam.
3. Bila mahasiswa belajar dengan metode diskusi maka mahasiswa tersebut akan mencapai IPK cumloude, dan sebagainya. Catatan: proposisi problematik tidak boleh digunakan sebagai pedoman untuk merumuskan aturan atau hukum yang mengikat dan mempunyai kepastian hukum, karena sifatnya masih problematik.
4. Proposisi disjungtif

Proposisi disjungtif, yaitu ‘pernyataan majemuk yang mempunyai hubungan pengatauan antara dua bagian yang keduanya sebagai pilihan (dijunct), yaitu bagian pertama dan bagian kedua’. Proposisi disjungtif yang banyak dipakai dalam penalaran ilmiah adalah: disjungsi eksklusif (yaitu, pernyataan pertama (P1) dan pernyataan kedua (P2) pilihannya tidak dapat bersatu tetapi ada kemungkinan ketiga (K3); dan disjungsi inklusif (yaitu pernyataan pertama (P1) dan pernyataan kedua (P2) pilihannya dapat bersatu sebagai perpaduan (Pa) dari P1 dan P2, tetapi tidak ada kemungkinan ketiga/ K3). Contoh proposisi disjungsi eksklusif:

1. Para transmigran bak dari Jawa atau Bali harus mendaftarkan diri untuk mendapat bantuan.
2. Pemimpin negara Indonesia kelahiran dari Jawa (P1) atau dari Sumatra adalah sama kedudukannya (P2) serta bukan dari Jawa dan bukan dari Sumatra (K3).

Sedangkang contoh proposisi disjungsi inklusif: adalah barangsiapa yang memalsu uang (P1) atau menyimpan uang palsu (P2) akan dituntut di muka hakim (Pa).

1. 3. Proposisi konjungtif

Proposisi Konjungsi, yaitu ‘pernyataan majemuk yang mempunyai hubungan penyertaan antara dua bagian sebagai unsurnya’. Maksud hubungan penyertaan adalah penyebutan dua unsur (penyertaan) secara bersamaan adalah mempunyai kedudukan yang sama, sehingga ditukar tidak akan mengubah makna. Contoh, Bung Karno adalah seorang proklamator (penyerta 1) dan presiden pertama Republik Indonesia (penyerta 2).

Proposisi konjungsi yang banyak dipakai dalam penalaran ilmiah (bidang hukum) ada dua yaitu: konjungsi eksklusif dan konjungsi inklusif. (1) Konjungsi eksklusif adalah ‘pernyataan dengan hubungan penyertaan yang kedua bagiannya (P1 dan P2) tidak dapat bersatu tetapi ada kemungkinan ketiga (K3)’. Contoh: Dosen FISIP UB ada yang kelahiran Malang (P1) dan ada yang kelahiran Blitar (P2), tetapi ada juga yang bukan kelahiran Malang dan Blitar (K3). (2) Konjungsi inklusif, adalah ‘pernyataan dengan hubungan penyertaan yang kedua bagiannya dapat bersatu tetapi tidak ada kemungkinan ketiga’. Contoh: Mahasiswa peserta tes jurusan bahasa ada yang lulus bahasa Inggris dan ada yang lulus bahasa Indonesia (Bakry,1995).

E. Makna Penyimpulan dan Silogisme

1. Pengertian penyimpulan

Pengertian ‘penyimpulan’ adalah ‘kemampuan nalar atau logika untuk menyusun suatu pengertian dan keputusan tentang sesuatu secara logis, sehingga pikiran atau budi manusia dapat meraih kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan tentang sesuatu yang disimpulkan’. Penyimpulan tentang sesuatu pada hakikatnya merupakan produk logika setelah melalui proses berpikir berdasarkan kaidah-kaidah berpikir secara lurus dan benar. Para ahli filsafat ilmu berpendapat, bahwa suatu ‘kesimpulan’ tentang sesuatu dikatakan baik, harus mengandung empat unsur, yaitu:

1. unsur kegiatan pikir atau aktivitas logika manusia tentang sesuatu hal.
2. kegiatan pikir atau penalaran tersebut berdasarkan latar belakang keilmuan (background knowlidge) yang dimilki seseorang. Atau pola pikir manusia dalam mencermati sesuatu berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki.
3. unsur gerak pikir atau aktivitas penalaran manusia. Atau proses yang menggambarkan perkembangan pola nalar manusia.
4. unsur sesuatu yang baru atau pengetahuan baru sebagai produk pikiran dalam bentuk ‘penyimpulan’ (Kattsoff, L.O., 1996; Hadi, A.S. 2008). Beragam istilah yang dapat dipakai dalam menyebut ‘penyimpulan’, antara lain: antecedens atau premis dan konsekuen.

Menurut Soedomo dalam Hadi (2008) ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam dalam penyusunan kesimpulan agar kesimpulan tersebut sah (valid), yaitu:

1. suatu kesimpulan harus mengandung dua aspek yaitu, aspek material (premis-premis, alasan harus benar dan tepat) dan aspek formal (jalan pikirannya harus lurus dan benar).
2. apabila premis-premis benar, kesimpulannya harus benar juga.
3. apabila kesimpulannya salah, maka premis-premisnya juga salah.
4. apabila premis-premisnya salah, kesimpulan dapat salah, mungkin kebetulan benar.
5. apabila kesimpulan benar, maka premis-premis dapat benar dapat pula salah.

Secara umum ‘penyimpulan’ dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:

1. Penyimpulan ditinjau dari ‘susunannya’. Penyimpulan ini dibedakan menjadi dua antara lain:

1) penyimpulan tunggal (simplex), yaitu penyimpulan yang premis-premisnya tunggal. Contoh: (a) – Setiap manusia berakal; – Budiman adalah manusia; – Jadi, Budiman itu berakal; (b) – Setiap burung punya sayap; – Merpati adalah burung; – Jadi, Merpati punya sayap.

2) penyimpulan bersusun (compositum), yaitu penyimpulan yang premis-premisnya bersusun. Contoh: (a) – Belajar itu menggunakan potensi pikiran dan pancaindra; – Ali dan Ahmad belajar; – Jadi, Ali dan Ahmad menggunakan potensi pikiran dan pancaindra; (b) – Meraih prestasi puncak dalam studi memerlukan perjuangan keras; – Budi dan Nisak meraih prestasi puncak dalam studi; – Jadi, Budi dan Nisak berjuang keras untuk meraih perstasi puncak dalam studi.

1. Penyimpulan ditinjau dari ‘jalan pikiran’. Penyimpulan ini dibedakan menjadi dua, antara lain:

1) penyimpulan deduktif, yaitu pengambilan kesimpulan dari prinsip atau dalil atau kaidah atau hukum menuju contoh-contoh (kesimpulan dari umum ke khusus). Contoh: (a) – Setiap agama mengakui adanya Tuhan; – Budiman pemeluk agama Islam; – Jadi, Budiman mengakui (beriman) kepada Tuhan Yang Esa; (b) – Universitas ‘Unggul’ mempunyai beberapa fakultas dan program studi; – Ani mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik; – Jadi, Ani mahasiswa Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

2) penyimpulan induktif, yaitu pengambilan kesimpulan dari hal-hal khusus atau contoh-contoh menuju ke hal umum atau prinsip atau dalil atau kaidah atau hukum (kesimpulan dari khusus ke umum). Contoh: (a) – Besi (logam) apabila dipanaskan memuai; – Perunggu (logam) bila dipanaskan memuai; – Perak (logam) apabila dipanaskan akan memuai; – Jadi, logam (besi, perunggu, perak) apabila dipanaskan memuai; (b) Harimau (binatang) hidup berdasarkan naluri; – Anjing (binatang) hidup berdasarkan naluri; Ular (binatang) hidup berdasarkan naluri; – Jadi, binatang hidup berdasarkan naluri.

1. Penyimpulan ditinjau dari ‘sifat hubungan antara subjek dan predikat dalam premis’, maka penyimpulan dibedakan menjadi dua macam, antara lain:

1) penyimpulan kategori, yaitu premis-premisnya tidak bersyarat atau tidak kondisional. Contoh: (a) – Setiap lingkaran itu tidak bersudut; – Ban mobil itu berbentuk lingkaran; – Jadi, ban mobil itu tidak bersudut; (b) – Setiap kubus itu bersegi enam; – Almari pakaian itu berbentuk kubus; – Jadi, Almari pakaian bersegi enam, dan sebagainya.

2) penyimpulan hipotetis, yaitu premis-premisnya hipotesis atau bersyarat (kondisional). Contoh: (a) – Apabila turun hujan jalan-jalan jadi basah; – Sekarang turun hujan; – Jadi, sekarang jalan-jalan basah; (b) – Apabila hasil UAS mencapai lebih dari 80 mahasiswa lulus; – Budiman nilai UAS-nya lebih dari 80; Jadi, Budiman lulus UAS.

2. Pengertian silogisme

Pengertian Silogisme, adalah ‘setiap penyimpulan yang berasal dari dua premis (premis mayor dan premis minor) untuk dimunculkan kesimpulan baru yang berhubungan dengan kedua premis tersebut’. Jadi, jika premisnya benar maka kesimpulannya benar.

Ada sembilan peraturan yang harus diperhatikan dalam menyusun silogisme, agar kesimpulan (silogisme) yang diambil selalu benar atau sah (valid), antara lain:

1. Dalam silogisme harus ada tiga term, yaitu subjek (S); penghubung atau terminus atau medium (M), dan predikat (P).
2. Tidak mungkin terdapat term dalam konklusi atau kesimpulan, jika term tersebut tidak terdapat dalam premis.
3. Salah satu premis atau keduanya harus umum.
4. Salah satu premis atau kedua-duanya harus positif.
5. Apabila salah satu premisnya khusus, kesimpulannya juga harus khusus.
6. Apabila salah satu premisnya negatif, kesimpulannya juga harus negatif.
7. Apabila salah satu premisnya khusus dan negatif, kesimpulannya juga khusus dan negatif.
8. Apabila kedua premisnya khusus, tidak dapat ditarik kesimpulan; dan
9. Apabila kedua premisnya negatif, tidak dapat ditarik kesimpulan (Kattsoff, L.O., 1996; Sunoto, 1982).

Dalam studi logika formal, para ahli berpendapat bahwa penyimpulan dalam bentuk silogisme secara umum dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) silogisme kategorik; dan (2) silogisme majemuk (Hutabarat, A.B., 1967; The Liang Gie, dkk. 1979; Soekadijo, R.G. 1983).

1. Silogisme kategori

Silogisme kategori, adalah ‘silogisme yang premis-premisnya dan kesimpulannya berupa keputusan kategoris’. Menurut Hadi S. (2008), ada delapan hukum-hukum dalam menyusun silogisme kategoris, antara lain: (1) Jumlah term tidak boleh lebih dari tiga (S, M dan P); (2) Susunan term: M (antara/ medium) tidak boleh masuk dalam kesimpulan; (3) Luas term mayor (P) dan luas term minor (S) dalam kesimpulan tidak boleh lebih luas dari pada dalam premis-premis; (4) Luas term antara (M): sekurang-kurangnya sekali harus universal; (5) Jika kedua premis affirmatif, kesimpulan affirmatif pula; (6) Jika kedua premis negatif, tidak ada kesimpulan; (7) Jika kedua premis partikular, tidak ada kesimpulan; dan (8) Kesimpulan harus sesuai dengan premis yang paling lemah.

1. Silogisme majemuk

Silogisme majemuk, adalah ‘suatu bentuk penyimpulan berdasarkan hubungan dua pernyataan, yang salah satu diantaranya merupakan pernyataan atas hubungan dua bagian sebagai premis mayor yang dapat mewujudkan pernyataan lain sebagai kesimpulan (Bakry, 1995). Premis mayor dalam silogisme majemuk sering disebut sebagai pernyataan pertama atau premis pertama (P1), sedangkan pernyataan kedua atau premis kedua (P2) disebut premis minor, kemudian pernyataan ketiga merupakan kesimpulan (K). Perlu dipahami bahwa premis mayor itu merupakan titik pangkal dalam membuat kesimpulan. Contoh:

1) - Barangsiapa membunuh orang akan dihukum di penjara (P1); – Si X adalah pembunuh orang (temanya sendiri) (P2); – Maka Si X harus dihukum di penjara.

2) - Setiap Mahasiswa yang menyontek jawaban UAS diberi nilai nol (P1); – Si Y adalah Mahasiswa yang menyontek jawaban pada saat UAS (P2); – Maka Si Y jawaban UAS-nya harus diberi nilai nol.

Silogisme majemuk yang banyak digunakan dalam pengolahan-pengolahan penyimpulan adalah silogisme hipotetik. Silogisme hipotetik adalah ‘suatu penarikan kesimpulan berdasarkan perbandingan antara proposisi yang mempunyai hubungan ketergantungan dua bagian dengan pernyataan yang menegaskan atau mengingkari salah satu bagiannya yang mewujudkan pernyataan lain sebagai kesimpulannya’ (Bakry, 1995). Bagian dari silogisme hipotetik yang sering dipakai dalam penyimpulan adalah: (a) silogisme hipotetik ekuivalen; dan (b) silogisme hipotetik implikatif atau kondisional.

1. Silogisme hipotetik ekuivalen

Silogisme hipotetik ekuivalen, adalah ‘suatu penyimpulan yang berbentuk perbandingan antara proposisi yang mempunyai hubungan kesetaraan dua bagian dengan penegasan salah satunya yang mewujudkan proposisi lain sebagai kesimpulannya’. Silogisme hipotetik ekuivalen pada dasarnya kesimpulan yang dihasilkan hanya memperkuat premis mayor atau mengulang dalam bentuk ‘penegasan’ atau ‘pengingkaran’.

Jadi, bentuk penyimpulan Silogisme hipotetik ekuivalen ada dua macam, antara lain:

1) berbentuk ‘penegasan’, yaitu suatu penyimpulan dengan cara mengakui salah satu bagian proposisi ekuivalen sebagai premis mayor, maka kesimpulannya (K) adalah ‘menetapkan atau menegaskan’ bagian yang lain. Contoh: (a) – Apabila mahasiswa dapat memperoleh nilai UAS Filafat Ilmu lebih dari 60, maka dinyatakan lulus (P1); – Ahmad, mahasiswa yang telah memperoleh nilai UAS Filsafat Ilmu lebih dari 60 (P2); – Jadi, Ahmad dinyatakan lulus (K); (b) – Jika peserta tes paktek ujian SIM C mampu melewati empat rintangan, maka dinyatakan lulus (P1); – Ali peserta tes praktik ujian SIM C dapat melewati empat rintangan (P2); – Jadi, Ali dinyatakan lulus (K).

2) berbentuk ‘pengingkaran’ yaitu suatu penyimpulan dengan cara mengingkari salah atu bagian proposisi ekuivalen sebagai premis mayor, maka kesimpulannya (K) adalah ‘mengingkari’ bagian yang lain. Contoh: (a) – Apabila besi (logam) dipanaskan akan memuai (P1); – Besi tidak dipanaskan (P2); – Maka kesimpulannya, besi tidak memuai (K); (b) – Apabila angin laut menuju ke daratan maka air laut menjadi pasang (P1); – Angin laut tidak menuju daratan (P2); – Jadi, air laut tidak pasang (K)

1. Silogisme hipotetik implikatif atau kondisional

Silogisme hipotetik implikatif atau kondisional, adalah ‘suatu penyimpulan yang berbentuk perbandingan antara proposisi yang mempunyai hubungan persyaratan dua bagian dengan penegasan atau pengingkaran salah satu bagiannya yang mewujudkan proposisi lain sebagai kesimpulannya’ (Bakry, 1995). Silogisme hipotetik implikatif atau kondisional, bentuk penyimpulannya ada dua macam, antara lain:

1) berbentuk ‘penegasan’, yaitu merupakan penyimpulan dengan cara mengakui anteseden pada proposisi implikatif sebagai premis mayor maka kesimpulannya adalah menetapkan konsekwensinya. Contoh: (a) – Barangsiapa melakukan tindak korupsi akan dituntut di muka hakim (P1); – Si X terbukti melakukan korupsi (P2); – Kesimpulannya, Si X harus dituntut di muka hakim (K); (b) – Barangsiapa telah melakukan transaksi peminjaman uang di Bank harus melunasi (P1); – Si Y telah melakukan transaksi pinjam uang di Bank (P2); – Kesimpulannya, Si Y harus melunasi pinjaman uang di Bank (K).

2) berbentuk ‘pengingkaran’, yaitu ‘merupakan penyimpulan dengan cara mengingkari konsekuen dari proposisi implikatif sebagai premis mayor, maka kesimpulannya adalah mengingkari anteseden. Contoh: (a) – Apabila hubungan antara suami-istri dalam keluarga atas dasar keikhlasan, maka kebahagiaan keluarga terwujud (P1); - Kebahagiaan keluarga tidak terwujud (P2); – Maka kesimpulannya hubungan antara suami-istri dalam keluarga tidak didasarkan keikhlasan (K); (b) – Apabila kerjasama antara pemimpin dan bawahan dalam perusahaan tidak kondusif, maka ketenangan kerja tidak tercapai (P1); – Ketenangan kerja dalam perusahaan tidak tercapai (P2); – Maka kesimpulannya kerjasama antara pemimpin dan bawahan dalam organisasi tidak kondusif (K).

Selain silogisme majemuk hipotetik di atas, ada juga bentuk silogisme majemuk dalam bentuk ‘silogisme disjungtif’. Silogisme majemuk disjungtif adalah ‘suatu penyimpulan berdasarkan perbandingan antara proposisi yang mempunyai hubungan antara dua bagian dengan pernyataan yang menegaskan atau mengingkari salah satu bagiannya yang mewujudkan pernyataan lain sebagai kesimpulannya’ (Bakry, 1995).

Bentuk silogisme disjungtif, bentuk penyimpulannya ada tiga macam sesuai dengan adanya tiga macam proposisi disjungtif, yaitu: (1) silogisme eksklusif; (2) silogisme inklusif; dan (3) silogisme alternatif.

1) Silogisme eksklusif

Silogisme eksklusif yaitu salah satu silogisme yang premis mayornya berbentuk pengatauan yang saling menyisihkan antara kedua bagiannya’. Silogisme eksklusif ini hanya satu bentuk yaitu ‘pengingkaran’, dengan cara mengakui salah satu bagian disjungsi ekslusif sebagai premis, mayor kesimpulannya mengingkari bagian yang lain. Contoh:

1. a. – Semua mahasiswa peserta kuliah filsafat ilmu adalah kelahiran suku Jawa atau kelahiran suku Sunda (P1); – Ternyata sebagian mahasiswa peserta kuliah filsafat ilmu adalah kelahiran suku Sunda (P2); – Maka sebagian mahasiswa peserta kuliah filsafat ilmu adalah bukan kelahiran suku Jawa (K).
2. b. - Semua buku referensi di perpustakaan fakultas adalah dari disiplin ilmu humaniora atau dari disiplin ilmu pengetahuan alam (P1); – Ternyata sebagian buku-buku yang ada di referensi perpustakaan fakultas adalah dari disiplin ilmu humaniora (P2); – Jadi, sebagian buku-buku yang ada di referensi perpustakaan fakultas adalah bukan dari disiplin ilmu pengetahuan alam (K).

2) Silogisme inklusif

Silogisme inklusif, yaitu salah satu silogisme disjungtif yang premis mayornya berbentuk pengatauan yang dapat bersatu antara kedua bagiannya. Silogisme ini hanya satu bentuk, yaitu bentuk ‘penegasan’, dengan cara mengingkari salah satu bagian disjungsi inklusif sebagai premis mayor, kesimpulannya mengakui bagian yang lain. Contoh:

1. a. – Semua mahasiswa peserta tes masuk perguruan tinggi yang diterima adalah mereka yang lulus bahasa Inggris atau kemampuan akademik (P1); – Ternyata mahasiswa peserta tes tidak lulus bahasa Inggris diterima (P2); – Jadi, berarti mereka lulus tes kemampuan akademik (K).
2. b. – Semua peserta tes CPNS yang diterima adalah mereka yang lulus TIK atau kemampuan akademik (P1); – Ternyata peserta tes tidak lulus TIK diterima (P2); – Maka berarti mereka lulus tes kemampuan akademik (K).

3) Silogisme alternatif

Silogisme alternatif. Sering silogisme ekskluif dan silogisme inklusif disebut sebagai satu kesatuan dengan silogisme disjungtif, sedangkan silogisme alternatif disebut secara tersendiri. Silogisme alternatif adalah ‘suatu bentuk penyimpulan yang premis mayornya berbentuk pengatauan yang tidak dapat bersatu dan tidak ada kemungkinan lain antara kedua bagiannya. Ada dua bentuk silogisme alternatif, yaitu: bentuk modus tolendo tolen (pengingkaran) dan modus ponendo ponen (penegasan).

Silogisme alternatif modus ‘pengingkaran’, berarti mengakui salah satu bagian dari proposisi alternatif sebagai premis mayor, kesimpulannya adalah mengingkari bagian yang lain. Contoh: – Suatu badan benda terdiri dari badan benda hidup atau badan benda mati (P1); – Ternyata benda tersebut adalah badan benda hidup (P2); – Maka berarti benda tersebut tidaklah badan benda mati (K). Silogisme alternatif modus ‘penegasan atau penetapan’, berarti mengingkari salah satu bagian dari proposisi alternatif sebagai premis mayor, kesimpulannya adalah ‘menetapkan atau penegasan’ bagian yang lain. Contoh: – Angka asli x termasuk dalam kelompok angka genap atau angka ganjil (P1); – Ternyata angka asli x tidak termasuk angka genap (P2); – Maka berarti x sebagai angka asli termasuk angka ganjil (K).

3. Penyimpulan kausal

Menurut para ahli, penyimpulan kausal sering dijumpai atau diakui dalam studi filsafat ilmu maupun dalam penelitian ilmiah (Bakker, A. 1984; The Liang Gie, dkk. 1979). Penyimpulan kausal adalah ‘penarikan kesimpulan terhadap sesuatu berdasarkan hubungan sebab akibat’.Penyimpulan kausal termasuk bentuk penalaran atau logika deduktif (logika formal). Hubungan sebab akibat merupakan suatu hubungan yang instrinsik, yaitu suatu hubungan asasi yang memberikan makna, ketika sesuatu hal sebagai ‘sebab’ itu terjadi, maka sesuatu yang lain sebagai ‘akibat’ pasti terjadi pula (Copi, I.M. 1978).

Menurut John Stuart Mill dalam Bakry (1995), metode hubungan sebab akibat (penyimpulan kausal) dapat dijelaskan secara singkat dalam bentuk logis dengan menggunakan silogisme hipotetik dalam bentuk khusus, yang terdiri dari beberapa premis dan kesimpulan. Ada lima metode penyimpulan kausal, antara lain:

Pertama, metode persesuaian (method of agreement) atau disebut juga metode persamaan, yaitu ‘Apabila ada dua peristiwa atau lebih, sedangkan kedua peristiwa tersebut memliki satu faktor yang sama sebagai penyebab terjadinya peritiwa tersebut, maka faktor penyebab tersebut dapat dianggap sebagai sebab terjadinya gejala atau peristiwa tertentu. Contoh:

1. Di kota ‘Maju’ pada umumnya orang tua sibuk kerja dan kurang perhatian pada pendidikan anak remaja, dan proses layanan pendidikan moral dan keagamaan diabaikan, sehingga tingkat perilaku menyimpang dikalangan remaja tinggi (P1); – Di kota ‘Metro’ proses layanan-kegiatan pendidikan moral dan keagamaan pada anak remaja diabaikan, dan fokusnya hanya pada pelatihan-pelatihan ketrampilan kerja di sektor industri, tingkat perilaku menyimpang remaja sangat tinggi (P2); – Dari fenomena sosial di dua daerah tersebut menunjukkan adanya kesamaan gejala, sehingga dapat disimpulkan bahwa ‘mengabaikan pendidikan moral dan keagamaan adalah penyebab tingginya tingkat perilaku menyimpang remaja (K).
2. Di perusahaan X, para pegawainya bermentalitas disiplin nurani sangat rendah, dan hasil kerja para pegawai tidak maksimal, sehingga perusahaan terancam bangkrut karena beban hutang tinggi (P1); Di perusahaan Y, pemimpinnya telah memberikan imbalan gaji kepada para pegawai dengan cukup; namun para pegawainya tidak mampu membangun sikap mental disiplin nurani yang tinggi, sehingga tingkat penyelewenangn atau kurupsi tinggi (P2); Dari kedua perusahaan tersebut terdapat kesamaan gejala, sehingga dapat disimpulkan bahwa ‘ketiadaan disiplin nurani yang tinggi’ menjadi penyebab terjadinya kebangkuran atau korupsi di perusahaan (K).

Kedua, metode perbedaan (method of difference), yaitu apabila terdapat dua peristiwa di masyarakat, yang satu berkaitan dengan suatu fenomena (gejala) tertentu dan yang lain tidak, sedangkan pada peristiwa yang satu itu terdapat sebuah unsur tertentu (misalnya X) dan pada peristiwa yang lain tidak terdapat unsur tertentu (mislanya X), maka unusr itulah yang merupakan sebab dari gejala tersebut, contoh:

1. Di kota ‘Mandiri’ banyak orang tua sibuk kerja keras, lembaga-lembaga pelatihan ketramplan remaja tidak ada; dan layanan pendidikan moral-keagamaan sangat kurang, sehingga banyak terjadi kenakalan remaja (P1); – Di kota ‘Ramai’ mayoritas orang tua disibukkan oleh pekerjaan, dan anggota masyarakatnya kurang perhatian pada pengembangan ketrampilan remaja, tetapi lembaga layanan pendidikan moral keagaman berlangsung dengan baik, sehingga tingkat kenakalan remaja rendah (P2); – Dari fenomena dua kota tersebut terdapat perbedaan unsur, dan dapat disimpulkan bahwa rendahnya layanan pendidikan moral dan keagaman pada anak mengakibatkan tingkat kenakalan remaja tinggi (K).
2. Dalam kehidupan keluarga X, antara ayah, ibu dan anak sibuk mengerjakan pekerjaannya, tingkat pendapatan ekonomi keluarga X tersebut cukup kaya, tetapi kurang terjalin kerjasama penuh kasih sayang, sehingga masing-masing anggota keluarga dalam kehidupan sehari-hari sering melakukan tindak penyimpangan (P1); – Dalam kehidupan keluarga Y, antara ayah, ibu dan anak setiap hari sibuk pada pekerjaan masing-masing, tingkat pendapatan anggota kelurga tidak kaya, tetapi jalinan kerjasama penuh kasih terbentuk dengan baik, sehingga tidak terjadi perilaku menyimpang dalam keluarga (P2); – Dari kedua keluarga tersebut terdapat unsur yang berbeda, dan dapat disimpulkan bahwa kurangnya kerjasama penuh kasih menyebabkan terjadinya perilaku menyimpang dalam keluarga (K).

Ketiga, metode gabungan antara persesuaian dengan perbedaan (joint method of agreement and method of difference), yaitu menggabungkan antara metode kesamaan dan metode perbedaan. Jadi, metode ini adalah untuk membuat kesimpulan mengenai sebab dari suatu gejala atau fenomena hidup tertentu berdasarkan persamaan unsur dan perbedaan unsur yang ada. Prinsip metode ini adalah, ‘jika dua kelompok peristiwa atau lebih yang di dalamnya terdapat suatu gejala tertentu yang mempunyai persamaan satu atau dua unsur, sedangkan satu kelompok peristiwa lain tidak mempunyai persamaan (berbeda) unsur seperti pada dua kelompok peristiwa yang lain, maka unsur yang sama yang ada pada dua kelopok peristiwa tersebut adalah merupakan akibat atau sebab dari gejala tersebut’. Contoh:

1. Cara belajar Si X untuk menghadapi UAS tiga mata kuliah, adalah dengan merangkum dan latihan soal dalam waktu satu malam, akibatnya nilainya jelek (tidak lulus) (P1); – Cara belajar Si Y untuk menghadapi UAS dua mata kuliah adalah merangkum dan latihan soal dalam waktu satu malam, juga tidak lulus (P2); – Cara belajar Si Z untuk menghadapi UAS dua mata kuliah, adalah latihan soal dan membaca dalam waktu satu malam, mendapat nilai cukup (lulus) (P3); – Dapat disimpulkan bahwa cara belajar dalam waktu semalam itulah yang mengakibatkan nlai jatuh (tidak lulus) (K).
2. Si A makan jeruk, dan gorengan tahu, serta makan rujak cingur, akibatnya sakit perut (P1); – Si B makan apel, dan gorengan tempe, serta makan rujak cingur, juga sakit perut (P2); – Si C makan jeruk, dan gorengan tempe; serta makan rujak cingur, tidak sakit perut (P3); Dapat disimpulkan bahwa makan rujak cingur itulah yang menyebabkan sakit perut (K).

Keempat, metode sisa (method of residues), yaitu jika terdapat beberapa gejala sebagai akibat dari beberapa faktor dan dengan pengurangan faktor dapat mengurangi gejala tersebut, maka sisa dari gejala itu merupakan akibat dari sebab-sebab selebihnya. Dengan metode sisa itu dapat membuat suatu kesimpulan mengenai sebab dari suatu gejala berdasarkan langkah pengurangan terhadap segenap sebab-sebab yang ada berikut akibanya yang telah diketahui, sehingga sisanya adalah sebab-sebab yang dicari (Bakry, 1995). Contoh, apabila dari sebab A, B dan C, terjadi gejala X, Y dan Z dan telah diketahui bahwa peristiwa A dan B selalu diikuti dengan gejala X dan Y, maka dapatlah disimpulkan bahwa akibat Z boleh jadi mempunyai hubungan sebab akibat dengan faktor C.

Kelima, metode perubahan seiring (method of concomitant variations) atau sering disebut dengan metode variasi, yaitu, Apabila terdapat perubahan pada unsur peristiwa pertama kemudian serentak diikuti dengan perubahan unsur peristiwa kedua, dan begitu juga sebaliknya, yaitu unsur peristiwa kedua tidak mengalami perubahan apabila unsur pada peristiwa pertama tidak mengalami perubahan, maka dua unsur dalam dua peristiwa tersebut berhubungan sebagai sebab akibat. Metode variasi ini paling sering dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Metode variasi atau metode perubahan seiring, apabila digunakan untuk menentukan arah dan bentuk perubahannya harus dirancang dan berdasarkan perhitungan yang matang dan cermat-tepat dengan alat ukur yang valid. Oleh karena itu metode perubahan seiring ini merupakan metode kuantitatif, Contoh:

1. Proses pembelajaran mahasiswa mata kuliah filsafat ilmu menggunakan metode ceramah dengan variasi tanya jawab dengan ukuran waktu pertemuan tertentu, kemudian dilakukan tes, ternyata hasilnya cukup (P1); – Proses pembelajaran mahasiswa mata kuliah filsafat ilmu menggunakan metode ceramah dengan penambahan variasi tanya jawab dan inkuiri dengan ukuran waktu pertemuan tertentu, kemudian dilakukan tes, ternyata hasilnya baik (P2); Proses pembelajaran mahasiswa mata kuliah filsafat ilmu menggunakan metode ceramah dengan penambahan variasi tanya jawab, inkuiri dan penggunaan multi media, dengan ukuran waktu pertemuan tertentu, kemudian dilakukan tes, ternyata hasil prestasi belajar sangat baik (P3); – Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran metode ceramah dengan bervariasi dan pemanfaatan multi media meningkatkan prestasi belajar (K).
1. Pemasaran barang dagangan berupa sabun kesehatan merek X ke tengah masyarakat dengan menggunakan metode ‘sistem MLM’ dapat meningkatkan jumlah persentase produk sabun dan laba perusahaan (P1); – Pemasaran barang dagangan berupa sabun kesehatan merek X ke tengah masyarakat dengan menggunakan metode ‘sistem MLM’ dan terus ditingkatkan jumlah jaringannya, terbukti keuntungan dan jumlah produksi barang lebih banyak lagi (P2); Pemasaran barang dagangan berupa sabun kesehatan merek X ke tengah masyarakat dengan menggunakan metode ‘sistem MLM’ dan semakin luas dan besar jaringannya, terbukti hasilnya (keuntungannya) sangat besar (P3); Jadi, dapat disimpulkan bahwa metode sistem MLM dapat meningkatkan hasil dan keuntungan bagi perusahaan (K).

F. Kesimpulan

Uraian tentang logika formal tersebut di atas, sebenarnya tersaji dalam kapasitas sebagai pengantar bagi para mahasiswa dalam melakukan kajian lebih lanjut tentang dasar-dasar logika formal. Dari uraian tersebut di atas dapat diambil konsep-konsep kunci sebagai kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, logika adalah cabang dari filsafat ilmu pengetahuan dan logika juga merupakan bagian yang sangat mendasar dalam kerangka berpikir filsafat. Berdasarkan pengertian tersebut maka logika merupakan bagian yang sangat penting atau mendasar dalam studi filsafat pengetahuan.Dalam studi filsafat pengetahuan (filsafat ilmu), ada dua macam logika, yaitu: (1) Logika formal atau logika minor, atau logika deduktif; dan (2) Logika material, atau logika mayor; atau logika induktif. Logika formal mengkaji atau mempersoalkan tentang forma (bentuk jalan pikiran yang benar); hukum-hukum, kaidah-kaidah atau patokan yang dijadikan pedoman individu dalam berpikir secara lurus dan tepat, sehingga mencapai kebenaran.

Kedua, makna pengertian, pada hakikatnya adalah suatu gambaran objek yang diolah oleh pikiran dan jiwa atau tanda tentang hakikat ‘sesuatu’ atau objek dalam jiwa seseorang. Sejatinya seseorang tidak akan sanggup berbicara tentang ‘sesuatu’ sebelum mempunyai ‘pengertian’ atau ‘kata-kata budian’ tentang ‘sesuatu’. Agar seseorang mendapatkan ‘pengertian’ tentang ‘sesuatu’, maka seseorang itu harus menangkap ‘sesuatu’ melalui kemampuan indranya, kemudian dilakukan proses seleksi, pengolahan dan pemaknaan, pemahaman sampai penanaman konsep kedalam jiwa atau pikirannya. Ada beberapa pengelompokan atau klasifikasi pengertian, yaitu: (1) ditinjau dari aspek ‘sempurnanya’, (2) ditinjau dari aspek ‘isinya’, dan (3) ditinjau dari aspek ‘luasnya’. Sedangkan mengenai definisi, suatu definisi dikatakan baik apabila definisi tersebut mengandung dua unsur, yaitu: (1) ‘istilah yang akan dijelaskan’ (definiendum); dan (2) ‘uraian kalimat yang menjelaskan arti dari istilah tersebut’ (definiens). Dalam kajian logika formal (deduktif), secara umum macam-macam definisi dibedakan menjadi tiga, yaitu: Pertama, definisi nominalis, Kedua, definisi realis, Ketiga, definisi praktis,

Ketiga, makna keputusan adalah ‘perbuatan manusia dimana dia mengakui atau memungkiri sesuatu tentang sesuatu’. Atau ‘keputusan akal’ merupakan gabungan pendapat, misalnya: rumah besar dan rumah sangat indah, digabungkan menjadi rumah besar dan yang sangat indah adalah istana Unsur-unsur keputusan adalah harus ada subjek (S); predikat (P) dan kata penghubung atau medium (M).

Keempat, makna proposisi majemuk adalah ‘suatu pernyataan terdiri atas hubungan dua bagian yang dapat dinilai benar atau salah’. Berdasarkan bentuknya, maka proposisi majemuk dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu: Proposisi hipotetik; Proposisi disjungtif; dan Proposisi konjungtif..

Kelima,. makna penyimpulan adalah ‘kemampuan nalar atau logika untuk menyusun suatu pengertian dan keputusan tentang sesuatu secara logis, sehingga pikiran atau budi manusia dapat meraih kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan tentang sesuatu yang disimpulkan’. Penyimpulan tentang sesuatu pada hakikatnya merupakan produk logika setelah melalui proses berpikir berdasarkan kaidah-kaidah berpikir secara lurus dan benar. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam dalam penyusunan kesimpulan agar kesimpulan tersebut sah (valid), yaitu: (1) suatu kesimpulan harus mengandung dua aspek yaitu, aspek material (premis-premis, alasan harus benar dan tepat) dan aspek formal (jalan pikirannya harus lurus dan benar); (2) apabila premis-premis benar, kesimpulannya harus benar juga; (3) apabila kesimpulannya salah, maka premis-premisnya juga salah; (4) apabila premis-premisnya salah, kesimpulan dapat salah, mungkin kebetulan benar; dan (5) apabila kesimpulan benar, maka premis-premis dapat benar dapat pula salah.

Keenam, silogisme, adalah ‘setiap penyimpulan yang berasal dari dua premis (premis mayor dan premis minor) untuk dimunculkan kesimpulan baru yang berhubungan dengan kedua premis tersebut. Ada sembilan peraturan yang harus diperhatikan dalam menyusun silogisme, agar kesimpulan (silogisme) yang diambil selalu benar atau sah (valid), yaitu: (1) di dalam silogisme harus ada tiga term, yaitu subjek (S); penghubung atau terminus atau medium (M), dan predikat (P); (2) tidak mungkin terdapat term dalam kongklusi atau kesimpulan, jika term tersebut tidak terdapat dalam premis; (3) salah satu premis atau keduanya harus umum; (4) salah satu premis atau kedua-duanya harus positif; (5) apabila salah satu premisnya khusus, kesimpulannya juga harus khusus; (6) apabila salah satu premisnya negatif, kesimpulannya juga harus negatif; (7) apabila salah satu premisnya khusus dan negatif, kesimpulannya juga khusus dan negatif; (8) apabila kedua premisnya khusus, tidak dapat ditarik kesimpulan; dan (9) apabila kedua premisnya negatif, tidak dapat ditarik kesimpulan

G. Daftar Pustaka

Bakri, N., 1995. Logika Praktis. Dasar Filsafat dan Sarana Ilmu. Liberty. Yogyakarta.

Budiman, A. 2007. Logika Praktis, Sebuah Pengantar. UMM Press. Malang

Copi, I.M. 1978. Introduction to Logic. Th ed. Macmillan. New York.

Hadi, A. S. 2008. Logika Filsafat Berpikir. LPP dan UPT. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Hutabarat, A.B., 1967. Logika. Penerbit. Erlangga. Jakarta.

Kattsoff, L.O., 1996. Elements of Philosophy. Soemargono, Penerjemah. Pengantar Filsafat. Tiara Wacana Yogyakarta.

Keraf, S. dan Dua, M., 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis, Kanisius. Yogyakarta.

Langeved. 1961. Menudju ke Pemikiran Filsafat. PT. Pembangunan. Djakarta

Maram. R.R., 2007. Pengantar Logika. PT. Grasindo. Jakarta.

Mundiri. 1994. Logika. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Oesman, A., 1978. Ilmu Logika. PT. Bina Ilmu. Surabaya.

Poedjawijatna. 1974. Pembimbing ke Alam Filsafat. PT. Pembangunan. Djakarta.

_____. 1994. Logika (Filsafat Berpikir). Penerbit. Rineka Cipta. Jakarta.

Poespoprodjo, W., 1985. Logika Sientifika, Pengantar Dialektika dan Ilmu. Penerbit CV. Remadja Karya. Bandung.

Salam, B., 1997. Logika Material. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Rineka Cipta. Jakarta.

Soekadijo, R.G. 1983. Logika dasar. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.

Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar. Rineka Cipta. Jakarta

Sudiarja, dkk. 2006. Karya Lengkap Driyarkara. Esai-Esai Filsafat Pemikir Yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. PT. Gramedia. Jakarta

Sunoto, 1982. Mengenal Filsafat Pancasila. Fakultas Ekonomi. UII. Yogyakarta.

The Liang Gie, dkk. 1979. Pengantar Logika Modern. Karya Kencana. Yogyakarta.

Tim Dosen Filsafat. 2002. Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Fakultas Filsafat UGM. Liberty. Yogyakarta.

0 comments:

 

blogger templates | Make Money Online