23 Desember, 2009

Kajian Filsafat

PENGANTAR KAJIAN FILSAFAT

A. Dasar-Dasar Kefilsafatan


Beberapa konsep penting tentang dasar kefilsafatan yang akan dijelaskan dalam sub bab ini adalah: Pengertian filsafat; Ruang lingkup atau Cabang-cabang filsafat; Kegunaan atau manfaat mempelajari filsafat; Fungsi filsafat; Beberapa aliran filsafat; Filsafat sebagai suatu pendekatan; Metode kefilsafatan; dan Etika. Penjelasan tentang dasar-dasar kefilsafatan tersebut di atas bukan dimaksudkan untuk memberikan suatu uraian yang sangat komprehensif atau menyeluruh, akan tetapi penjelasannya lebih menekankan pada konsep-konsep kunci, yang diharapkan para mahasiswa atau peminat studi filsafat ilmu memperoleh gambaran awal yang cukup membekali dalam melakukan kajian-kajian lebih lanjut dan mendalam tentang hakikat filsafat dari sumber-sumber ilmiah lainnya.

1. Pengertian Filsafat

Ketika orang berbicara tentang filsafat, nampak kesan awal atau anggapan yang muncul adalah ‘membicarakan sesuatu yang abstrak, yang sulit dicermati, transendental, fantasi, renungan yang mendalam, imajinasi dan sesuatu yang serba sulit dan luas (universal)’. Apabila dicermati dengan sungguh-sungguh tentang makna filsafat, maka sejatinya pandangan tersebut di atas tidak semuanya benar, karena: (a) objek kajian filsafat sejatinya menyangkut hal-hal yang abstrak dan juga hal-hal yang kongkrit atau hal-hal yang bersifat idea dan praktis; dan (b) ruang lingkup kajian ilmu filsafat juga berkaitan dengan kehidupan individual dan kolektif manusia sehari-hari, misalnya: keluarga, lembaga pendidikan; partai politik, pemerintahan dan beragam bentuk aktivitas kelompok lainnya.

Dalam beberapa literatur filsafat telah dijumpai beragam pengertian tentang filsafat. Keberagaman tersebut disebabkan oleh perbedaan sudut pandang yang dijadikan sebagai dasar orientasinya (Johnstone, 1968; Driyarkara, N. 1977). Dari beragam karya tulis tentang filsafat, penulis dapat merangkum sebagai berikut: Pertama, pengertian filsafat dari segi arti kata, yaitu ‘Filsafat’ berasal dari bahasa Yunani terdiri dari kata ‘philein’ yang berarti cinta dan ‘sophia’ yang berarti kebijaksanaan. Atau berasal dari kata ‘philosophia’ yang berarti ‘cinta akan kebijaksanaan atau love of wisdom’. Jadi, pengertian filsafat dari arti kata adalah ‘cinta pada kebijaksanaan’. Kedua, pengertian filsafat ‘secara umum’, yaitu ‘suatu ilmu pengetahuan yang melakukan penyelidikan atau kajian tentang hakikat dari segala sesuatu dengan sungguh-sungguh (penuh kecintaan) untuk memperoleh kebenaran atau kebijaksanaan’. Jadi, jawaban-jawaban yang diberikan oleh filsafat tentang hakikat fenomena hidup (sesuatu) harus bersifat mendalam atau mencapai tingkat kebenaran yang lebih universal. Ketiga, pengertian filsafat ‘secara khusus’, yaitu ‘suatu ilmu pengetahuan yang menyelidiki tentang hakikat sesuatu untuk memperoleh kebenaran menurut aliran filsafat tertentu’. Dalam filsafat terdapat beragam aliran, misalnya: aliran idealisme, aliran positivisme, aliran materialisme, aliran hedonisme, aliran stoicisme dan sebagainya. Jadi, pengertian hakikat sesuatu menurut aliran idealisme tentunya tidak sama dengan hakikat sesuatu menurut aliran positivisme, hedonisme, materialisme dan stoicisme (Langeved, 1961; Sunoto, 1982). Beragam aliran filsafat tersebut akan dijelaskan secara garis besar atau prinsip-prinsip pokok pada pembahasan berikutnya.Dari pengertian singkat tentang filsafat tersebut di atas, konsep penting yang perlu dipahami tentang hakikat makna filsafat antara lain: (a) filsafat adalah mendorong manusia untuk berpikir secara kritik; (b) berpikir filsafat adalah berpikir dalam bentuk yang sistematis; (c) filsafat harus menghasilkan sesuatu yang runtut; (d) berpikir filsafat adalah berpikir secara rasional dan logis; dan (e) proses berpikir filsafat harus bersifat mendalam dan komprehensif (Beerling, 1966; Kattsoff, L. 1996). Oleh karena itu filsafat mempunyai peran yang sangat sentral dalam pengembangan semua disiplin ilmu pengetahuan, sehingga filsafat diharapkan dijadikan sebagai pemimpin (orientation) dalam pengembangan semua ilmu pengetahuan atau filsafat berkedudukan sebagai induknya ilmu pengetahuan (Driyarkara, N. 1978).

1. Ruang Lingkup, dan Cabang-Cabang Filsafat

Ruang lingkup kajian filsafat sangatlah luas, karena filsafat mengkaji tentang ‘hakikat segala sesuatu’, disamping itu filsafat merupakan ‘induk segala ilmu pengetahuan’ (Beerling, 1966; Gazalba, 1973; Drijarkara, 1978). Sedangkan pembagian cabang-cabang filsafat yang dikemukakan para ahli atau para filosof sangat beragam, tergantung sudut pandang yang diyakininya. Berikut ini beberapa pembagian cabang-cabang filsafat menurut para ahli antara lain:

Pertama, Plato, membedakan filsafat menjadi tiga, yaitu: (1) Dialektika (filsafat tentang ide-ide atau pengertian-pengertian umum); (2) Fisika (filsafat tentang dunia material); dan (3) Etika (filsafat tentang kebaikan atau kesusilaan).

Kedua, Aristoteles, membedakan filsafat menjadi empat, yaitu: (1) Logika (tentang bentuk susunan pikiran); (2) Filosofis teoritika, yang terbagi menjadi: (a) fisika (tentang dunia material); (b) matematika; (c) metafisika (tentang hakikat ‘ada’); (3) Filosofia praktika (tentang hakikat hidup kesusilaan), yang terbagi menjadi: (a) etika (tentang kesusilaan dalam hidup perseorangan); (b) ekonomia (tentang kesusilaan dalam hidup berkeluarga); (c) politika (tentang kesusilaan dalam hidup bernegara); dan (4) Filosofia poeletika (filsafat kesenian (Drijarkara, 1978).

Ketiga, Kattsoff, L., lebih rinci dalam membagi cabang-cabang filsafat, yaitu: (1) Logika, yaitu membicarakan tentang hukum-hukum penyimpulan secara benar; (2) Metodologi, yaitu membicarakan tentang teknik atau cara melakukan penelitian ilmiah; (3) Metafisika, yaitu membicarakan tentang segala sesuatu yang ada, atau membahas hakekat ‘ada’; (4) Ontologi, yaitu membicarakan tentang hakikat segala sesuatu yang ada, atau hakikat ‘objek’ dari segala sesuatu; (5) Kosmologi, yaitu membicarakan tentang segala sesuatu yang ada yang serba teratur; (6) Epistemologi, yaitu membahas tentang hakikat kebenaran; (7) Filsafat biologi, yaitu membicarakan tentang hakikat hidup; (8) Filsafat psikologi, yaitu membicarakan tentang hakikat jiwa manusia; (9) Filsafat antropologi, yaitu membicarakan tentang hakikat budaya manusia; (10) Filsafat sosiologi, yaitu membicarakan tentang hakikat masyarakat dan negara; (11) Etika, yaitu membicarakan tentang hakikat baik dan buruk; (12) Estetika, yaitu membicarakan tentang hakikat indah atau keindahan; (13) Filsafat agama, yaitu membicarakan tentang hakikat agama atau kepercayaan (Kattsoff, 1996).

Dalam perkembangan studi filsafat berikutnya muncul cabang-cabang filsafat, sebagai konsekwensi dari beragam spesifikasi kehidupan, sehingga selain beragam cabang filsafat yang telah diuraikan di atas adalah muncul: (1) Filsafat politik, yang secara khusus membicarakan tentang hakikat kekuasaan, wewenang, pemerintahan, demokrasi dan sebagainya; (2) Filsafat hukum, yang secara khusus membicarakan tentang: dasar-dasar hukum, idea hukum, kaidah hukum, tujuan hukum, rahasia-rahasia hukum, peraturan perundang-undangan; (3) Filsafat pendidikan, yang membicarakan tentang hakikat pendidikan dan pengajaran, fungsi pendidikan, peran orang tua-masyarakat dan negara dalam pendidikan, hakikat proses pembelajaran budaya, dan sebagainya; (4) Filsafat sejarah, yang secara khusus membicarakan tentang: makna sejarah, proses historis, kaidah ilmu sejarah, subjektivitas dan objektivitas sejarah, fungsi sejarah, dan sebagainya (Ankersmit, 1987).

1. Kegunaan atau Manfaat Filsafat

Pada hakikatnya setiap manusia dalam hidupnya, baik disadari atau tidak disadari telah melakukan aktifitas berpikir yang merupakan bagian dari berpikir filsafat. Hal ini disebabkan setiap manusia dengan kadar kemampuan berpikir masing-masing sepanjang hidupnya selalu berusaha untuk mencari makna kebahagiaan dan kebajikan hidup, baik untuk lingkup kehidupan pribadi atau kehidupan sosial. Sedangkan ukuran seseorang telah meraih bahagia atau tidak bahagia adalah berdasarkan pada ‘suatu pandangan hidup yang diyakininya’

Bekaitan dengan upaya manusia dalam meraih hakikat kebahagiaan dan kebajikan hidup itulah, maka belajar filsafat mempunyai nilai manfaat yang cukup banyak, dan diantara kegunaan atau manfaat mempelajari filsafat tersebut antara lain:

1. Dengan berfilsafat individu akan lebih menjadi manusia, karena dengan mempelajari filsafat seseorang akan terus melakukan perenungan dan menganalisis tentang hakikat jasmani dan hakikat rohani manusia dalam hidup di dunia untuk bertindak bijaksana.
2. Dengan berfilsafat seseorang dapat memahami makna hakikat hidup manusia, baik dalam lingkup pribadi maupun sosial. Dengan berfilsafat seseorang akan mampu memberi arti terbaik, unggul dan integral terhadap makna hidup, dan akan sanggup memahami keunggulan dan kelemahan diri, sehingga dapat memperkokoh kepribadian diri.
3. Kebiasaan menganalisis segala sesuatu dalam hidup seperti yang diajarkan dalam metode berfilsafat, akan menjadikan seseorang cerdas, kritis, sistematis, dan objektif dalam melihat dan memecahkan beragam problema kehidupan, sehingga individu akan mampu meraih kualitas, keunggulan dan kebahagiaan hidup.
4. Dengan berfilsafat manusia selalu dilatih, dididik untuk berpikir secara universal, multidimensional, komprehensif, dan mendalam. Dengan terlatihnya seseorang dalam melihat dan menganalisis hakikat segala sesuatu secara koprehensif dan mendalam, maka seseorang akan mampu meminimalisir kecenderungan mentalitas negatif, misalnya egoistis, individualistis, parsialis, dan diskriminatif. Beragam problem sosial akan bermunculan ketika mentalitas negatif tersebut mendominasi setiap proses-proses sosial sehari-hari dalam kelompok.
5. Belajar filsafat akan melatih seseorang untuk mampu meningkatkan kualitas berpikir secara mandiri, mampu membangun pribadi yang berkarakter, tidak mudah terpengaruh oleh faktor eksternal, tetapi disisi lain tetap mampu mengakui harkat martabat orang lain, mengakui keberagaman dan keunggulan orang lain. Jadi, belajar filsafat akan mendorong tumbuhnya sikap mental kompetitif secara sehat dan berkualitas.
6. Belajar filsafat akan memberikan dasar-dasar semua bidang kajian pengetahuan, memberikan pandangan yang sintesis atau pemahaman akan hakikat kesatuan semua pengetahuan, dan hidup manusia akan dipimpin oleh pengetahuan yang baik. Karena berpikir filsafat akan selalu mendorong seseorang untuk membangun keterbukaan berpikir, ketelitian dan analisis terdalam, dan selalu terdorong untuk melakukan inovasi berdasarkan penemuan terbaru (invention) (Johnstone,H.W. 1968; Tafsir, 2004; Sudiarja, dkk. 2006).

Uraian tentang kegunaan melakukan studi filsafat tersebut membuktikan bahwa: (a) hakikatnya setiap manusia tidak bisa melepaskan diri dari persoalan filsafat hidup, bahkan bisa dikatakan bahwa orang yang tidak mempedulikan persoalan filsafat hidupnya dapat diasumsikan ‘proses kehidupannya kurang berarti’; dan (b) dengan selalu memahami nilai-nilai filosofis yang berlaku dalam kehidupan masyarakat atau bangsa, dan setiap individu konsisten untuk mengaplikasikan dan mengembangkan secara dinamik dalam kehidupan sehari-hari, maka beragam aspek kehidupan di masyarakat akan tampil dalam potret ‘khasanah peradaban’ hidup.

1. Filsafat Sebagai Suatu Pendekatan

Ditinjau dari aspek ruang lingkup kajiannya, maka studi filsafat mempunyai jangkauan yang sangat luas karena menyangkut hakikat segala sesuatu secara mendalam dan universal. Disisi lain filsafat merupakan induknya segala ilmu pengetahuan. Filsafat melatih, mendorong seseorang untuk mampu berpikir secara: kritis, logis, sistematis, rasional, objektif dan mendalam dalam menganalisis hakikat segala sesuatu tentang fenomena kehidupan ini, kesemuanya dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran dan mencapai tujuan yaitu menjadi manusia yang bijaksana.

Filsafat sebagai suatu pendekatan mempunyai makna, bahwa ‘memahami hakikat segala sesuatu dalam kehidupan ini untuk meraih kebenaran dan kebijakan diperlukan pemahaman tentang beberapa cara atau metode, langkah, dan strategi yang baik untuk mencapai kebenaran terdalam tentang hakikat segala sesuatu tersebut’. Ada beberapa pendekatan filosofis dalam memahami hakikat segala sesuatu terdalam dalam kehidupan ini, antara lain: Pertama, pendekatan ontologik, artinya untuk mempelajari suatu objek filsafat tertentu (misalnya: filsafat hukum, filsafat pendidikan, filsafat Pancasila, filsafat agama, filsafat sejarah, filsafat politik, filsafat ilmu, filsafat seni dan sebagainya), atau untuk mencari hakikat realitas yang terdalam, atau mencari hakikat objek terdalam dari segala sesuatu; Kedua, pendekatan kosmologik, artinya dalam mempelajari suatu filsafat tertentu (seperti contoh di atas) adalah mencari kebenaran segala sesuatu terdalam yang bekaitan dengan hakikat ruang, waktu dan dinamika atau gerak dari hakikat segala sesuatu itu’; Ketiga, pendekatan logika, artinya dalam mempelajari suatu filsafat tertentu adalah dengan mencari hakikat kebenaran dari segala sesuatu secara mendalam dengan menggunakan logika deduktif atau logika formal dan menggunakan logika induktif atau logika material; Keempat, pendekatan teologis, artinya dalam mempelajari suatu filsafat tertentu adalah dengan selalu mengkaitkan antara fenomena rasional, empiris dan kekuatan supra natural (Tuhan). Hakikat kebenaran itu sejatinya adalah terbagi dalam kategori kebenaran science (ilmu), kebenaran filosofis (filsafat), dan kebenaran religious (kebanaran Agama), ketiganya saling mengkait. Jadi, pendekatan teologis meletakkan kebenaran agama sebagai kebenaran absolut (kebenaran mutlak), sedangkan kebenaran filsafat dan kebenaran ilmu bersifat relatif, oleh karena itu ketika manusia ingin meraih hakikat kebenaran (kebenaran mutlak) maka manusia harus taat kepada ajaran agamanya.

Kelima pendekatan etika, artinya dalam mempelajari suatu filsafat tertentu adalah dengan selalu mengkaitkan antara kajian hakikat dari segala sesuatu terdalam dengan prinsip-prinsip nilai-norma sosial-budaya yang berlaku di masyarakat, atau bagaimana kajian hakikat dari segala sesuatu itu mempunyai makna aksiologis atau nilai pragmatis, nilai fungsional dan mampu membentuk keunggulan etika manusia dalam proses kehidupan di sepanjang usia hidupnya di masyarakat (Sunoto, 1982; Sudiarja, dkk. 2006). Jadi, dalam pendekatan etika, manusia atau setiap individu dianggap bermakna atau punya arti bagi kehidupan ketika seluruh pola perilaku sehari-hari individu tersebut berdasarkan nilai-norma sosial budaya yang berlaku, sehingga hakikat sesuatu dianggap baik atau benar ketika sesuatu itu merujuk pada nilai dan norma yang berlaku.

1. Metafisika

Istilah metafisika berasal dari kata ‘meta’ yang berarti sesudah atau sebaliknya, dan dari kata ‘fisika’ yang berarti alam atau nyata. Jadi, ‘metafisika’ adalah sesudah atau sesuatu dibalik alam atau setelah fisika. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan, bahwa ‘metafisika‘ adalah ‘ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang hakikat sesuatu yang terdalam, atau ilmu yang mengkaji hakikat dibalik alam nyata’ (Johnstone, 1968). Menurut para ahli filsafat, bahwa metafisika merupakan filsafat pertama. Istilah metafisika sebagai cabang ilmu filsafat pertama dipergunakan oleh Andronicus dari Rhodes tahun 70 S.M (Sunoto, 1982).

Menurut Aristoteles, metafisika merupakan cabang ilmu filsafat teoritis yang membahas tentang ‘masalah hakikat segala sesuatu’, sehingga metafisika oleh para ahli dianggap sebagai ‘inti dari filsafat’. Persoalan metafisika merupakan sesuatu yang paling mendasar (fundamental) dalam proses kehidupan manusia (Langeved, 1961; Drijarkoro, 1977). Bagi filosof idealisme, metafisika merupakan sesuatu yang sangat fundamental. Hakikat dunia dengan segala isinya ini tidak bisa hanya dipahami dari apa yang nampak, justru dibalik yang nampak adalah terdapat makna yang essensial, mencari makna hakikat dibalik yang nyata adalah hal yang fundamental (infrastruktur). Sedangkan bagi filosof yang menganut aliran empirisme, mengatakan bahwa ‘metafisika adalah sesuatu yang tidak mungkin’, karena yang mungkin dalam hidup ini adalah ‘sesuatu yang empiris’. Pandangan dari kaum empirisme tentang metafisika banyak ditentang oleh para ahli idealisme. Filosof Immanuel Kant, tetap mengakui eksistensi metafisika, dan Kant membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus.

Cabang-cabang metafisika sebagai inti dari ilmu filsafat menurut para ahli antara lain: (1) Menurut Kattsoff, cabang metafisika adalah: (a) Ontologi (membicarakan tentang: ‘ada’, ‘eksistensi’, ‘substansi’, ‘realita’. Atau hakikat ada, atau hakikat objek); dan (b) Kosmologi (membicarakan tentang: ‘ruang’, ‘waktu’, atau ‘gerakan’); (2) Menurut Taylor, cabang metafisika adalah: (a) Ontologi; (b) Kosmologi; dan (c) Psikologi yang rasional (mengkaji tentang fenomena jiwa dan pikiran manusia); (3) Menurut Christian Wolff, cabang metafisika adalah: (a) Ontologi; (b) Kosmologi; (c) Psikologi; dan (d) Teologi (mengkaji tentang filsafat Ketuhanan yang bertitik tolak kepada kejadian alam); (4) Menurut The American College Dictionary, cabang metafisika adalah: (a) Ontologi (ilmu pengetahuan tentang ada, tentang objek); (b) Kosmologi (ilmu pengetahuan tentang struktur alam semesta); dan (c) Epistemologi (filsafat pengetahuan); dan (5) Menurut The Colombia Encyclopedia, cabang metafisika adalah: (a) Ontologi, (b) Teologi, (c) Psikologi, (d) Epistemologi, dan (e) Kosmologi (Sunoto, 1982).

Dalam pembahasan berikut ini, uraian tentang cabang metafisika hanya menjelaskan tiga hal yaitu: Ontologi; Kosmologi; dan Teologi, sedangkan epistemologi (filsafat ilmu pengetahuan) akan dibahas pada bab kelima, yang khusus mengkaji tentang hakikat filsafat ilmu.

Pertama, ontologi. Istilah ontologi pertama dipopulerkan oleh Christian Wolff (1679-1714). Ontologi adalah ‘cabang filsafat metafisika yang mempelajari tentang hakikat ada, atau hakikat suatu objek, atau hakikat suatu eksistensi, atau ajaran tentang yang ‘berada’ (Kattsoff, 1996). Karena yang dikaji dalam ontologi adalah mempelajari tentang hakikat suatu eksistensi, atau hakikat sesuatu objek, atau hakikat suatu fenomena, maka muncullah suatu pertanyaan, misalnya: Apakah hakikat jiwa itu?; Apakah hakikat materi itu?; Apakah hakikat sesuatu yang namanya baik itu?; Apakah hakikat ide itu?; Apakah hakikat sesuatu atom itu?; Apakah hakikat bahagia itu; Apakah hakikat agama itu?; Apakah hakikat manusia?: dan sebagainya. Dari beragam pertanyaan ontologis tersebut, akhirnya muncullah beberapa paham atau aliran filsafat untuk menjelaskan tentang hakikat sesuatu yang dipertanyakan di atas, yaitu: Aliran idealisme; Aliran positivisme; Aliran materialisme; Aliran vitalisme; Aliran realisme; Aliran pluralisme; Aliran hedonisme, Aliran humanisme; Aliran pragmatisme; Aliran sekulerisme, dan sebagainya.

1. Aliran idealisme, beberapa asumsi pokok aliran ini dalam memandang hakikat segala sesuatu atau hakikat objek adalah: (a) hakikat segala sesuatu dalam hidup ini ditentukan oleh jiwa atau pikiran seseorang; (b) semua yang bersifat benda atau materi di alam ini sangat ditentukan oleh jiwa, pikiran seseorang, oleh karena hakikat ‘ada’ adalah ditentukan oleh jiwa dan pikiran individu; (c) hakikat benar, baik, buruk, bahagia dalam hidup adalah sangat tergantung oleh kualitas jiwa, pikiran dan spiritual individu; (d) idea-idea atau pikiran adalah infra struktur (penentu atau fundamen) kehidupan, sedangkan benda, perbuatan, pekerjaan, jabatan adalah supra struktur (penjelmaan atau implementasi dari jiwa sebagai infra struktur); dan (e) idea-idea menjadi penggerak, pendorong semua aktivitas manusia dalam hidup, bahkan seluruh aktivitas kehidupan manusia sepanjang usianya, baik kaitannya dengan hubungan dengan sesama dan dengan lingkungan alamnya ditentukan oleh ide. Jadi, ketika menjawab pernyataan apakah hakikat segala sesuatu?, maka menurut aliran idealisme adalah ‘hakikat segala sesuatu berasal atau ditentukan oleh idea’ (Langeved. 1961; Beerling, 1966; Durkheim, E. 1974; Mutahhari, M. 1997).

1. Aliran positivisme, tokoh utama aliran positivisme adalah Auguste Comte (1798-1857), diantara pokok-pokok pikiran dari aliran positivisme antara lain: Pertama, hakikat ilmu pengetahuan dan filsafat itu harus mendasarkan kepada fakta-fakta yang nyata (realitas empirik). Positivisme menolak paham metafisika (yang mengakui hakikat segala sesuatu dibalik realitas empirik). Comte mengemukakan teori atau hukum perkembangan menjadi tiga tahap; dan Kedua, bagi Comte, hakikat perkembangan hidup manusia (termasuk pengetahuan dan budayanya) adalah melalui tiga tahap atau tiga jaman yang berlangsung secara evolusionis, yaitu:
1. Tahap teologis, tahap ini mempunyai ciri-ciri antara lain: (1) manusia percaya akan adanya kekuatan adikodrati (supranatual) yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia; (2) pada tahap ini pola keyakinan atau kepercayaan seseorang diawali dengan kepercayaan Animisme (roh leluhur mempunyai pengaruh bagi kehidupan manusia) atau Dinamisme (benda-benda tertentu dianggap mempunyai kekuatan atau jiwa yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia); Dari Animisme kemudian berkembang ke tahap Politeisme (manusia percaya kepada banyak Tuhan, yang masing-masing Tuhan tersebut mempunyai kedudukan dan peran tersendiri); Kemudian tahap terakhir dari jaman teologis ini adalah Monoteisme (manusia percaya pada Tuhan Yang Maha Esa atau Maha Tunggal). Tahap monoteisme ini dianggap sebagai tahap terakhir atau paling maju dari era teologis.
2. Tahap metafisis, tahap ini merupakan evolusi dari tahap pertama. Pada tahap metafisis, unsur-unsur kekuasaan adikodrati terhadap kehidupan manusia mulai dipertanyakan, bahkan sudah diganti dengan konsep-konsep abstrak tentang hakikat segala sesuatu. Manusia sudah mulai menggunakan daya kritisnya, namun sisa-sisa pemahaman supranatural masih nampak dalam praktik kehidupan sehari-hari.
3. Tahap positif, tahap ini merupakan tahap evolusi terakhir. Tahap positif ini mempunyai ciri-ciri antara lain: (1) manusia tidak percaya lagi pada hal-hal yang bersifat supranatural; dan (2) semua pengetahuan termasuk filsafat harus berdasarkan realitas emprik (fakta-fakta yang nyata). Comte menilai pada era positif inilah sebagai puncak perkembangan ilmu pengetahuan (science) yang rasionalistis dan objektivistik (Wibisono, K. 1983).

Setiap ilmu pengetahuan menurut Comte tidak mempunyai perkembangan yang sama, urutan perkembangan ilmu pengetahuan adalah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan sebelumnya. Comte membedakan ilmu pengetahuan pokok, yaitu ilmu pasti, astronomi, fisika, kimia, biologi dan puncaknya adalah sosiologi (Wibisono, K. 1983; Praja J.S., 2005). Jadi, dalam pandangan positivisme, hakikat segala sesuatu itu harus sesuai dengan hukum alam, kaidah ilmu pasti, kebenaran harus bisa dibuktikan secara matematis, eksakta, dan objektivis, oleh karena itu logika yang dikembangkan adalah logika deduktif (formal), analisis data dalam proses research adalah menggunakan analisis statistik.

3. Aliran materialisme, beberapa konsep penting dari aliran ini dalam memandang hakikat segala sesuatu (hakikat fenomena hidup) antara lain:

a. Hakikat segala sesuatu dalam hidup ini ditentukan oleh materi bukan oleh jiwa. Jiwa atau pikiran atau idea-idea tergantung pada materi.

b. Semua yang berupa gagasan, pikiran dan ide adalah dibentuk atau ditentukan oleh ‘materi’, oleh karena itu hakikat ‘ada’ adalah ditentukan oleh unsur material, atau atom. Adanya beragam benda atau materi disebabkan oleh atom. Jiwa terdiri dari atas atom yang halus yang mudah bergerak. Segala kejadian di alam ini ditentukan oleh gerak atom (atom adalah inti materi).

c. Hakikat benar, baik, buruk, bahagia dalam hidup adalah sangat tergantung oleh kebutuhan atau kepentingan materi atau dipengaruhi oleh ‘adanya sistem pemilikan pribadi atau material’. Tidak ada aktivitas kehidupan (aktivitas pikir dan sosial) yang tidak didasari atau diawali oleh kepentingan atau motivasi material.

d. Materi adalah infra struktur kehidupan, sedangkan jiwa, nilai, moral, pandangan hidup, ilmu pengetahuan, hukum adalah supra struktur (penjelmaan atau implementasi dari materi sebagai infra struktur).

e. Kepentingan materi menjadi penggerak, pendorong semua aktivitas manusia dalam hidup, bahkan seluruh aktivitas kehidupan manusia sepanjang usianya, baik kaitannya dengan hubungan dengan sesama dan dengan lingkungan alamnya ditentukan oleh prinsip pemenuhan kebutuhan material (bendawi). Jadi, ketika menjawab pernyataan apakah hakikat segala sesuatu?, maka menurut aliran materialisme adalah ‘hakikat segala sesuatu berasal dari materi atau benda’ (Johnstone; 1968; Sudiarja, dkk. 2006). Sesuatu yang bukan materi (seperti Tuhan) sejatinya adalah tidak pernah ada, oleh karena itu menurut para filosof materialisme, ‘konsep tentang Tuhan sejatinya adalah rekayasa imajinasi pikiran manusia semata’.

4. Aliran vitalisme, beberapa pandangan aliran ini dalam memandang hakikat segala sesuatu antara lain: (a) dalam perspektif biologi, pengertian vitalisme adalah suatu paham yang menganggap bahwa fenomena hidup hakikatnya sama seperti fenomena organisme. Sedangkan dalam perspektif metafisika, vitalisme berarti suatu aliran yang memandang bahwa hidup baik dalam diri manusia maupun organisme adalah kenyataan yang sebenarnya; (b) materi yang tidak hidup adalah bentuk atau hasil dari pada hidup; dan (c) paham vitalisme mempunyai pengaruh terhadap filsafat eksistensialisme.

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan eksistensi. Contoh paham eksistensialisme adalah Manusia adalah manusia; Binatang adalah binatang; Pohon mangga adalah pohon mangga; Hidup ini adalah eksistensia; Hidup ini adalah merdeka; Hidup paling tinggi adalah kemerdekaan; Segala sesuatu yang menghambat kemerdekaan harus di lawan; Manusia bertindak atas dasar dirinya (eksistensia); Segala aturan, hukum yang membatasi kemerdekaan harus di lawan atau dihapuskan (Mangunhardjana, 1997), karena segala sistem aturan tersebut hanya akan mengekang, membatasi gerak kemerdekaan individu dalam hidupnya.

5. Aliran realisme, beberapa pandangan aliran ini dalam memandang hakikat segala sesuatu antara lain: (a) hakikat segala sesuatu itu ‘ada’ karena dipengaruhi oleh beragam faktor internal dan eksternal, yang masing-masing faktor punya pengaruh yang sama, yaitu faktor-faktor: pendidikan, psikologi, kepercayaan atau agama, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, lingkungan alam, revolusi, ideologi dan sebagainya; (b) hakikat manusia bukan semata-mata makhluk material, dan juga bukan semata-mata makhluk spiritual. Kedua unsur materi (raga) dan non materi (jiwa) sama-sama membentuk dan menyatu pada diri manusia; (c) hakikat kehidupan di dunia ini punya keterkaitan erat dengan hakikat kehidupan akhirat; dan (d) hakikat segala sesuatu di alam ini adalah saling mempengaruhi, antar fenomena atau gejala hidup saling mengisi, saling terkait antara unsur satu dengan unsur lain, membentuk kesatuan sistem antar sub sistem (Muthahhari, 1997).

6. Aliran pluralisme, beberapa prinsip dari pandangan pluralisme antara lain: (a) bahwa kenyataan adalah banyak atau diferensial; (b) dalam hidup ini ada berbagai bentuk kenyataan yang mempunyai hubungan satu sama yang lain; (c) menurut Empedocies, bahwa segala sesuatu atau kenyataan terdiri atas empat unsur, yaitu: api, air, udara dan tanah. Keempat hal tersebut (api, air, udara dan tanah) adalah sama-sama berperan untuk menyusun segala sesuatu dalam hidup ini; dan (d) paham pluralisme lebih bersifat empirik. Menurut Hermann, bahwa kenyataan itu terdiri dari empat hal, yaitu: anorganik, organik, psikhis, dan jiwa yang kesemuanya mempunyai hubungan timbal balik (Sunoto, 1982). Jadi, hakikat segala sesuatu dalam hidup selalu menyajikan keberagaman bentuk atau wujud, setiap unsur dalam keberagaman tersebut sejatinya saling mengkait membentuk kesatuan sistem kehidupan.

7. Aliran hedonisme, beberapa inti pandangan hedonisme dalam melihat hakikat segala sesuatu dalam hidup ini antara lain: (a) hidup ini adalah mewujudkan ‘kenikmatan’. Kenikmatan, khususnya kenikmatan pribadi merupakan nilai hidup tertinggi; (b) tujuan utama dalam kehidupan adalah meraih kenikmatan hidup pribadi sebesar-besarnya, apapun caranya harus ditempuh; (c) karena hidup adalah meraih kenikmatan, maka ada beragam wujud manusia dalam meraih kenikmatan, yaitu: Ada yang cenderung meraih kenikmatan hidup pada aspek biologis atau nafsu sexual; Ada yang cenderung meraih kenikmatan hidup pada aspek estetik (seni); dan ada yang cenderung meraih kenikmatan hidup pada aspek spiritual; (d) hedonisme bersifat relatif. Oleh karena itu prinsip hedonisme apabila diterapkan dalam prinsip moral juga bersifat relatif (setiap orang berbeda dalam menafsirkan makna prinsip moral, karena mempunyai ukuran kenikmatan yang berbeda, ukuran kenikmatan sangat subjektif). Dalam kehidupan masyarakat modern yang cenderung materialis dan konsumeris, maka makna hedonisme lebih condong kearah kenikmatan biologis atau pemuasan nafsu sexual, dan sangat jarang hedonisme di era modernis memberikan persepsi ke arah pemuasaan spiritual. Oleh karena itu konsep hedonisme dalam kehidupan masyarakat metropolis atau modern sering berhenti pada pencarian kenikmatan inderawi, bendawi dan sexual semata.

8. Aliran humanisme, beberapa pokok pikiran dari paham humanisme dalam memahami hakikat segala sesuatu antara lain: (a) hakikat manusia itu mempunyai kemampuan dan martabat diri. Kemampuan dan martabat tersebut harus dikembangkan untuk mencapai manusia paripurna atau manusia unggul di tengah kehidupan sosial; (b) tugas utama kehidupan manusia adalah membangun harkat, martabat dan tanggung jawab kemanusiaan yang paripurna; dan (c) kemampuan kualitas rohani (cipta, rasa dan karsa) manusia akan menjadi dasar terwujudnya kehidupan atau segala sesuatu di masyarakat menjadi baik. Oleh karena itu humanisme termasuk bagian dari filsafat etika. Jadi, humanisme dalam memandang segala sesuatu itu ada atau baik adalah apabila kemampuan diri atau martabat diri manusia bisa berfungsi sangat baik bagi kehidupan bermasyarakat (Mangunhardjana, 1997). Jadi, jika manusia dalam proses hidupnya tidak memberi konstribusi positif bagi kehidupan sesamanya di masyarakat, maka kehidupan manusia tersebut tidak punya makna (sia-sia).

9. Aliran pragmatisme, beberapa konsep penting tentang pandangan pragmatisme dalam menilai hakikat gejala tentang sesuatu (fenomena hidup), antara lain: (a) hidup manusia sebagai suatu perjuangan agar hidup berlangsung terus menerus, dan yang terpenting dalam perjuangan hidup adalah ‘konsekwensi-konsekwensi yang bersifat praktis’; (b) segala sesuatu itu bermakna, apabila sesuatu itu mempunyai konsekwensi praktis atau mempunyai nilai kegunaan dalam kehidupan, jika sesuatu itu tidak punya makna praktis (kegunaan sehari-hari), maka sesuatu itu tidak ada; (c) hakikat ide, pandangan atau hal-hal yang bekaitan dengan spiritual adalah ‘ada’ atau ‘benar’ apabila ide atau pandangan tersebut mempunyai konsekwensi atau implikasi positif (implikasi praktis) dalam kehidupan. Atau hakikat ide, pandangan dan spiritual tersebut benar apabila mampu menyelesaikan problem kehidupan praktis; (d) hakikat ‘kebenaran’ adalah bersifat: Dinamis (terus berubah-ubah tergantung ruang dan waktu); Nisbi atau relatif (tergantung siapa yang memaknai sesuatu itu). Oleh karena itu hakikat Tuhan adalah tergantung ‘yang memaknai’, artinya ada orang yang menilai Tuhan tidak bermakna atau berfaedah, tetapi ada juga hakikat Tuhan sangat bermakna atau berfaedah bagi kehidupan manusia (Johnson, D.P. 1981; Kattsoff, 1992).

Uraian tentang beragam aliran atau pandangan tersebut di atas menunjukkan bahwa, secara ontologis untuk menjawab pertanyaan tentang: Apakah hakikat materi itu?; Apakah hakikat sesuatu yang namanya baik itu?; Apakah hakikat objek itu?, Apakah hakikat segala sesuatu dalam hidup ini?; Apakah hakikat kehidupan manusia, dan sebagainya adalah tergantung sudut pandang aliran yang dijadikan orientasi individu dalam memahami hakikat sesuatu objek tersebut, sehingga jawaban aliran idealisme tentu tidak sama dengan jawaban aliran materialisme dalam memahami suatu objek itu baik atau tidak baik.

Kedua, kosmologi. Kosmologi adalah salah satu cabang metafisika yang mengkaji tentang segala sesuatu dalam kehidupan ini sebagai sesuatu yang ada dan yang teratur. Kosmologi membicarakan tentang ruang (tempat), waktu (hari, bulan dan tahun) dan gerakan (perubahan kehidupan atau dinamika hidup). Menurut Plato, bahwa dalam kehidupan ini ada yang tetap dan ada yang tidak tetap, atau bergerak dan terus bergerak. Aspek yang tetap adalah yang pokok atau mendasar. Sedangkan yang bergerak atau berevolusi tergantung kepada yang tetap. Menurut kosmologi, bahwa aspek yang bergerak adalah bayangan dari yang tetap. Aspek yang tetap oleh Plato disebut sebagai ’idea’.

Ketiga. teologi. Menurut para ahli, makna teologi mempunyai jangkauan pengertian yang sangat luas, dan mempunyai pengaruh kuat terhadap pola pemikiran ummat manusia sepanjang sejarah kehidupan dalam memaknai hakikat hidup (Hanafi, H., 2004; Sudiarja, dkk. 2006). Teologi dalam perspektif filsafat metafisika adalah ‘Filsafat Ketuhanan’. Teologi dalam lingkup filsafat metafisika mempunyai pengaruh penting terhadap perkembangan pemikiran filsafat. Pemikiran teologis hakikatnya telah ada sejak jaman Yunani kuno (walaupun wujud pemikirannya bersifat animisme atau dinamisme). Pola pemikiran teologis semakin menonjol dengan hadirnya para filosof Kristen misalnya Thoma Aquinas dan sebagainya. Pada jaman pencerahan (aufklarung) dan renaissance pola pemikiran teologis tetap berkembang, dan tetap eksis sampai sekarang. Numun di era aufklarung dan renaissance peran atau eksistensi agama dalam proses kehidupan di masyarakat mendapat serangan dari kaum positivis atau rasionalis.

Berikut ini akan disinggung secara sekilas tentang eksistensi atau keberadaan agama bagi kehidupan manusia. Ada beberapa argumentasi filosofis tentang adanya Tuhan, misalnya: (a) Argumentasi filosofis-kosmologis; (b) Argumentasi filosofis teleologis; dan (c) Argumentasi filosofis-ontologis (yaitu argumentasi berdasarkan pada logika semata-mata). Berikut ini dikemukakan beberapa argumentasi filosofis-ontologis tentang adanya Tuhan, antara lain:

1. Argumentasi ontologis yang dikemukakan oleh Plato (428-348 SM), dengan ‘teori ideanya’, yaitu: (a) setiap yang ada di alam ini ada ‘ideanya’; (b) ‘idea’ adalah definisi atau konsep yang berlaku universal dari setiap sesuatu, contoh. Manusia mempunyai idea tentang manusia (mahluk berpikir); kuda mempunyai idea tentang kuda (idea itu bersifat universal, artinya berlaku pada manusia atau kuda dimanapun); (c) ‘idea’ ini menjadi dasar wujud sesuatu. ‘Idea-idea’ ini berada dalam alam idea (di luar alam nyata atau alam yang nampak). Benda-benda di alam yang nampak itu hanyalah bayangan dari ‘idea’; dan (d) ‘idea-idea’ yang ada di alam ini bukan bercerai berai, tetapi saling berhubungan (suatu sistem). Keterkaitan antar ‘idea’ tersebut karena adanya ‘idea tertinggi’ yang disebut ‘Idea Kebaikan’ (the Absolut Good), dan Yang Mutlak Baik inilah disebut ‘Tuhan’.
2. Argumentasi ontologis yang dikemukakan oleh St. Augustine (354-430 M), dengan ‘teori kebenaran’, yaitu: (a) manusia dalam hidup banyak dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, dan pengalaman tersebut sebagai sarana memperoleh kebenaran; (b) setiap manusia memperoleh kebenaran tentang sesuatu, selalu diikuti keraguan dan anggapan ‘masih ada kekurangan’ dari apa yang dianggap benar; dan (c) akal manusia meyakini akan adanya kebenaran di atas kebenaran karya pikiran manusia. Kebenaran di atas kebenaran pikiran manusia tersebut sifatnya abadi, mutlak, absolut dan hal inilah yang disebut Tuhan (Nasution, 1975; Hanafi, H., 2004).

Argumentasi lain terhadap pengakuan adanya eksistensi Tuhan ditinjau dari ilmu pengetahuan (science) sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Quamar, J. (1972) antara lain:

1. Banyak ilmuwan dunia yang tidak mengakui Tuhan, karena Tuhan tidak bisa dilihat atau digambarkan secara materi, Ilmuwan tersebut contohnya adalah Bertrand Russel (filosof Inggris) dalam bukunya Education and the Social Order. Pandangan ini sangat lemah, karena ‘sesuatu yang tidak bisa digambarkan secara materi bukan berarti sesuatu itu tidak ada’. Contoh, Elektron tidak dapat digambarkan secara materi. Para spesialis di bidang ini tidak terlalu berharap untuk bisa melihat elektron, sebab yang penting elektron bisa dipahami melalui akibat-akibatnya. Demikian juga tentang Tuhan, seorang intelektual tidak bisa mengatakan bahwa Tuhan tidak ada hanya karena Tuhan tidak bisa digambarkan secara materi atau tidak bisa dilihat oleh kasat mata. Jadi, Tuhan itu wajib ada walaupun tidak bisa digambarkan secara materi, dan keberadaan Tuhan bisa dirasakan bagi kehidupan manusia di jagad raya ini.
2. Hipotesis ‘alam semesta rasional’. Maksud dari ‘alam semesta rasional’ adalah ‘bahwa hukum alam yang diramalkan sebelumnya akan ditemukan melalui eksperimen dan observasi ilmiah’. Menurut Milne sains empiris, seperti geometri, dinamika dan gravitasi menjadi rasional karena alam semesta ini sendiri rasional dan diciptakan oleh pencipta yang Maha Rasional, dan itulah Tuhan. Jadi, ‘apabila alam semesta ini rasional pastilah penciptanya juga rasional. Dengan kata lain Tuhan ada dan rasional dengan konsekwensi bahwa hukum alam mempunyai asal mula yang rasional’.
3. Science yang sangat dikagumi oleh para ilmuwan atau para rasionalis, sampai kapanpun tingkat kemajuan ilmu pengetahuan (science), tetap tidak akan bisa membuat jembatan antara objek-objek berjiwa dan tak berjiwa. Para rasionalis tidak akan berhasil menjembatani jurang pemisah antara elektron di pihak yang satu dengan atom dan molekul di pihak lainnya. Memahami eksistensi Tuhan hanya dengan mengandalkan rasionalitas tidak akan pernah bisa karena essensinya sangat berbeda. Jadi, apabila manusia betul-betul mempelajari dan merenungkan fenomena kehidupan dan terutama tentang manusia itu sendiri, maka mau tidak mau manusia akan mengakui eksistensi Tuhan.

Ada langkah atau strategi lain yang dapat dilakukan manusia dalam upaya menemukan atau menyakini ‘eksistensi Tuhan’, yaitu melalui ‘proses perenungan diri terdalam’. Proses perenungan terdalam ini dapat dilakukan antara lain:

1, Kuasai ilmu pengetahuan alam dengan sungguh-sungguh dan renungkan dengan hati-pikiran yang jernih tentang hakikat penciptaan planet, galaksi dan apa saja di jagat raya ini. Munculkan pertanyaan dan renungan terdalam, tentang fenomena jagat raya dengan segala isinya yang berjalan sangat teratur, tertib di garisnya (orbitnya), apakah itu semua muncul dengan sendirinya ataukah ada tangan kekuasaan manusia yang mengaturnya?, ataukah ada tangan kekuasaan Yang Maha Kuasa mengaturnya?. Ketika memahami fenomena alam dengan instrumen kemajuan science dengan hati-pikiran yang jernih untuk memahami hakikat dibalik fenomena alam tersebut, pastilah pikiran dan hati akan terbimbing untuk ‘mengakui eksistensi kekuasaan di luar kedahsyatan alam ini yaitu Tuhan’.

1. Renungkan dengan hati-pikiran yang jernih tentang ‘hakikat tubuh manusia atau diri sendiri’. Misalnya: (a) renungkan tentang hakikat kerja syaraf dalam tubuh manusia yang berjumlah milyaran, sangat rumit dan menjalin kesatuan sistem (sangat padu); (b) renungkan hakikat cara kerja potensi indra manusia dalam merespon aneka kejadian dalam hidup; (c) renungkan hakikat makna jiwa dan pikiran (cipta, rasa dan karsa) manusia yang tidak pernah lelah dalam menerawang jauh untuk memikirkan dan mengkaitkan akan segala pengalaman hidup lampu dan sekarang serta memprediksi masa depannya; dan sebagainya. Ketika manusia secara jujur sanggup melakukan proses perenungan terdalam terhadap hakikat segala ciptaan di jagat raya ini, termasuk kompleksitas dan dinamiknya cara kerja psikhologi manusia, maka manusia akan mengakui keberadaan ‘Maha Pencipta yaitu Tuhan’, sebab semua keberadaan jagat raya dengan segala isinya yang serba teratur ini tidak mungkin tanpa ada ‘Sang Pengatur’ yang disebut Tuhan (Nasution, 1975; Ghulsyani, M. 1986).

1. Metode Kefilsafatan

Menurut Stephen C. Pepper, dalam Sumaryono (1999), metode filsafat bukanlah metode ‘ketergantungan’ atau ‘kepastian’, melainkan lebih merupakan ‘metode hipotesis’. Pepper menyebut metode filsafat yaitu ‘hipotesis filsafat’ sebagai ‘hipotesis dunia’, yaitu ‘hipotesis yang sama sekali tidak mempunyai batas, dan yang memperhitungkan semua kenyataan atau evidensi. Hipotesis dunia mencakup semua hal, baik yang khusus atau yang abstrak sejauh hal itu mungkin ada. Jadi, hipotesis filsafat (metode filsafat) berbeda dengan hipotesis ilmiah (bersifat spesifik, pasti, dan harus bisa teruji secara empirik). Hipotesis filsafat bersifat spekulatif, mendalam dan komprehensif (hakikat sesuatu).

Terdapat banyak definisi tentang metode filsafat, namun berikut ini penulis dapat mengemukakan pengertian yang cukup sederhana tentang metode filsafat, yaitu ‘cara kerja filsafat dalam memahami hakikat terdalam tentang segala sesuatu dalam hidup ini’. Menurut para ahli tidak ada metode tunggal yang dianggap paling benar dan berlaku secara universal dalam memahami filsafat atau hakikat terdalam tentang segala sesuatu dalam hidup ini. Setiap metode filsafat yang dikembangkan oleh filosof pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh sudut pandang tertentu dan kondisi jaman atau waktu dan tempat (lingkungan geografis), serta latar belakang kehidupan sosial budaya atau politik, ekonomi yang dialaminya.

Ada beberapa macam metode filsafat, antara lain: (a) metode kritis; (b) metode empiris; (c) metode intuisi; (d) metode skolastik; (e) metode rasional; (f) metode eksperimental; (g) metode kritis transendental; (h) metode dialektika; (i) metode fenomenologi; dan (j) metode hermeneutik (Bakker, A., 1984; Sumaryono, 1999). Berikut ini diuraikan pokok-pokok pikiran dari beberapa metode filsafat tersebut secara singkat untuk membekali para pembaca dalam melakukan kajian filsafat lebih lanjut pada sumber-sumber ilmiah.

1) Metode kritis

Metode kritis. Tokoh utama metode kritis adalah Sokrates (470-399 SM) dan muridnya yaitu Plato (427-347 SM). Beberapa pokok pikiran ‘metode kritis’ Sokrates antara lain:

1. Metode kritis merupakan analisis istilah dan pendapat dalam proses dialog dalam kehidupan sehari-hari, baik menyangkut fenomena sosial atau fenomena alam.
2. Metode kritis merupakan hermeneutika, yang menjelaskan keyakinan, dan memperlihatkan pertentangan dalam dialog. Dengan jalan bertanya atau berdialog secara kritis, seseorang dapat membedakan, membersihkan, menyisihkan dan menolak sesuatu dan akhirnya ditemukan hakikat dari sesuatu.
3. Disebut metode kritis karena manusia dituntut untuk terus mempertanyatakan (mengkritisi) segala sesuatu yang disaksikan, dirasakan dengan bertanya dan berdialog antar individu dalam proses kehidupannya.
4. Sokrates, mengajarkan agar manusia selalu mengajukan pertanyaan baru tentang segala sesuatu, ketika muncul jawaban dari pertanyaan tersebut, maka harus terus dimunculkan pertanyaan lagi dari jawaban yang ada (proses dialektika), demikian seterusnya. Jadi, dialektika itu menjadi suatu pemeriksaan teliti, semacam cross examination, dengan membandingkan jawaban dalam dialog.
5. Menurut Sokrates, dengan terus menanyakan, membandingkan, menyisihkan, dan menolak informasi atau data yang tidak relevan, seseorang akan membuat rumusan, definisi dan generalisasi. Seseorang akan memperoleh pengertian (definisi) sejati tentang hakikat kenyataan.
6. Bagi Sokrates, hakikat ‘kebijaksanaan’ adalah kesanggupan seseorang terus bertanya dan berdialog untuk membuka hati-pikiran agar tetap mampu menerima pengetahuan sejati, yaitu pengetahuan mengenai kebaikan susila atau ‘kebijaksanaan’ (sophrosyne). Kebijaksanaan itu bukan diperoleh melalui hapalan dari diktat, melainkan melalui proses pencarian pribadi dan pengalaman pribadi. Oleh karena itu manusia menjadi angry with himself and gentle to others.

Sedangkan beberapa pokok pikiran ‘metode kritis’ dari filosof Plato antara lain:

1.
1. Metode filosofis paling utama adalah dialog, dan kemampuan berdialog merupakan seni manusiawi yang paling tinggi. Sebenarnya metode Plato merupakan perluasan atau penyempurnaan metode kritis gurunya yaitu Sokrates.
2. Plato memperkenalkan dialog-dialog dengan menyebut ‘dialog tengah’ atau ‘metode hipotesis’.
3. Menurut Plato, kebenaran umum (definisi) itu bukan dibuat dengan cara dialog yang induktif (seperti pendapat Sokrates), pengertian umum (definisi) itu sudah tersedia di ‘sana’ yaitu di ‘alam idea’.
4. Hakikat esensi itu mempunyai realitas, dan realitas itu di ‘alam idea’ itu. Jadi, kebenaran umum itu bukan dibuat tetapi sudah ada di alam idea. Sebenarnya baik Plato maupun gurunya yaitu Sokrates sama-sama mengakui kekuatan akal (reason) dan kekuatan hati (rasa dan larsa) (Tafsir, A., 2003).

2) Metode empiris

Metode empiris. Tokoh utama metode empiris adalah Aristoteles (384 SM). Aristoteles merupakan murid dan teman Plato, tetapi warna filsafat Aristoteles berbeda dengan Sokrates dan Plato. Aristoteles lebih sistematis dan sangat dipengaruhi oleh metode empiris, dia dikenal sebagai Bapak logika, dan logika Aristoteles sering disebut logika formal. Beberapa pokok pikiran Aristoteles antara lain:

a. Prinsip-prinsip ajaran Aristoteles menyangkut banyak aspek, yaitu prinsip-prinsip sains, politik, retorika, dan dialektika.

b. Aristoteles sangat tertarik kepada natural sciences (ilmu-ilmu alam), oleh karena itu ia mementingkan observasi ilmiah (metode empiris).

c. Bagi Aristoteles, manusia dapat mencapai kebenaran ilmiah. Setiap objek terdiri atas matter dan form, keduanya bisa bersatu (hal ini yang membedakan dengan Plato, yang menganggap matter dan form tidak bisa bersatu). Matter itu potentiality atau potensial (memberikan substansi sesuatu), sedangkan form itu aktualitas (memberikan pembungkusnya). Tetapi ada substansi yang ‘murni form’ tanpa potentiality (tanpa matter) yaitu Tuhan. Menurut Aristoteles bukti adanya Tuhan adalah ‘Tuhan sebagai penyebab gerak’ (a first cause of movement). Eksistensi Tuhan dapat dicapai dengan akal. Jadi, Aristoteles filosof yang mampu mengakhiri pertentangan antara akal dan hati (iman). Kekuasaan akal mulai dibatasi, ada kebenaran yang umum. Tidak semua kebenaran itu relatif. Sains dapat dipegang sebagian dan diperselisihkan sebagian.

d. Metode empiris Aristoletes telah meletakkan dasar-dasar sains dan logika formal atau logika deduktif (Tafsir, A. 2003). Baca kembali tentang logika formal pada bab sebelumnya. Metode empiris inilah yang nantinya menghasilkan aliran atau paham empirisme dalam filsafat.

3) Metode intuisi

Metode intuisi. Tokoh utama metode intuisi atau intuitif adalah Plotinos (204-270) dan Henri Bergson (1859-1941). Sedangkan pokok-pokok pikiran Plotinos tentang mentode intuisi antara lain:

1. Pandangan Plotinos pada dasarnya merupakan suatu kulminasi atau sintesa definitif dari beragam unsur filsafat Yunani. Plotinos mengaku penganut setia pandangan Plato, tetapi sebenarnya pandangan Plotinos adalah integrasi dari filsafat Plato, Aristoteles, Stoa dan Neo-Pythagoreanisme.
2. Metode Plotinos dalam filsafat disebut ‘intuitif’ atau ‘mistik’. Pola pemikiran Plotinos sangat diwarnai oleh kondisi jaman waktu itu yang banyak dijumpai kelompok-kelompok kontemplasi atau ‘mistik’. Sikap kontemplasi demikian meresapi seluruh metode berpikir pada metode intuisi Plotinos.
3. Plotinos dianggap filosof pertama yang mengajukan teori penciptaan alam semesta dengan mengajukan ‘teori emanasi’. Tujuan filsafat menurut Plotinos adalah mencapai pemahaman mistik, oleh karena itu metode intuisi ada yang menyamakan dengan metode ‘mistik’.
4. Plotinos termasuk filosof yang menganut realitas idea, seperti Plato, hanya Plotinos kurang memperhatikan masalah-masalah sosial seperti Plato. Sistem metafisika Plotinos ditandai oleh konsep transendens atau mistik
5. Menurut Plotinos, di dalam pikiran manusia terdapat tiga realitas, yaitu: (1) The One (Yang Esa, yaitu Tuhan). The One itu tidak dapat didekati melalui penginderaan dan tidak dapat dipahami melalui pemikiran logis; (2) The Mind atau Nous (idea-idea). Idea-Idea ini merupakan bentuk asli objek-objek. Kandungan Mind adalah benar-benar kesatuan. Untuk bisa menghayati Mind manusia harus melalui perenungan terdalam dalam hidupnya; dan (3) The Soul, yaitu realitas ketiga dalam filsafat Plotinos. Soul itu mengandung satu jiwa dunia dan banyak dunia kecil. Jiwa dunia dapat dilihat dalam dua aspek, yaitu energi di belakang dunia, dan bentuk-bentuk alam semesta. Jiwa manusia juga mempunyai dua bentuk, yaitu intelek yang tunduk pada reinkarnasi dan irasional (moral) (Mangunhardjana, 1997; Tafsir, A. 2003).

Sedangkan Henri Bergson adalah filosof yang tertarik pada pandangan Plotinos. Sedangkan pokok-pokok pikiran Bergson tentang metode intuisi antara lain:

1. Semua yang ada dalam kehidupan manusia adalah berakar pada dorongan hidup I’elan vital, karena pada diri manusia terdapat ‘vitalitas naluri dan biologis’. Tetapi hal yang paling kunci adalah ‘vitalitas spiritual’, oleh karena itu filsafat Henri Bergson bersifat spiritualistis.
2. Bergson menyelami kegiatan spiritual intern di dalam individu kongkrit, dengan cara ilmiah, yaitu cara atau metode yang dapat dipertanggungjawabkan (tidak seperti Plotinus yang mistik).
3. Dinamik kosmis hanya dapat dipahami, kalau manusia menyelam dan membiarkan diri tenggelam dalam arus kesadaran yang terdalam (tak putus-putus).
4. Intuisi itu bukan saja suatu flash of insight yang mustahil diekspresikan, melainkan suatu act, merupakan suatu asaha mental dan konsentrasi pikiran. Pengalaman batiniah itu harus diuraikan oleh akal budi seakan-akan mengerti dari ‘luar’.
5. Untuk mencairkan konsep-konsep dan untuk mengarahkan ‘visi’ dan ‘intuisi’ Bergson menggunakan banyak simbol. Simbol-simol itu tidak mematikan gerak. Simbol itu mempunyai dua peranan, yaitu: (1) simbol itu menampakkan realitas tersembunyi; dan (2) simbol-simbol yang mempunyai peran sebaliknya. Metode Bergson bukan anti-intelektual, tetapi supra-intelektual (Bakker, A., 1984).

4) Metode skolastik


Metode skolastik. Filsafat skolastik terutama dikembangkan dalam sekolah-sekolah biara dan keuskupan. Diantara ciri utama metode filsafat skolastik antara lain: (1) filsafat menjadi bagian integral dalam teologi; (2) para filosof utama yang mengajarkan integrasi filsafat dengan agama adalah para imam dan biarawan; dan (3) mementingkan otonomi atau mendasarkan akal budi manusia dan mengkaji hakikat kehadiran manusia di dunia. Meskipun filsafat skolastik menyatukan antara filsafat dengan teologi, dia tidak sama dengan pandangan-pandangan sebelumnya tentang eksistensi Tuhan. Filsafat skolastik dengan tokoh utamanya Thomas Aquinas menjelaskan eksistensi Tuhan secara rasional, sedangkan pandangan teologi sebelumnya dalam menjelaskan eksistensi Tuhan banyak diwarnai oleh pemikiran mistik atau tidak rasional (Bakker, A., 1984).

Pokok-pokok pikiran dari filosof Thomas Aquinas (1225-1274) antara lain:

1. Hanya ada dua kekuatan yang menggerakkan dinamika perubahan dunia, yaitu agama dan filsafat. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Tuhan bagi Aquinas adalah Awal dan Akhir segala kebajikan.
2. Hakikat alam semesta ini adalah terdiri dari lima realitas kelas, yaitu: realitas anorganis, realitas animal, realitas manusia, realitas malaikat, dan realitas Tuhan. Dan semua realitas tersebut berpusat atau dibimbing oleh realitas Tuhan.
3. Filsafat Aquinas mendasarkan kepada eksistensi Tuhan, tetapi pandangannya tentang eksisitensi Tuhan berbeda dengan teolog sebelumnya. Menurut Aquinas eksistensi Tuhan dapat dibuktikan dengan akal (rasional).

Ada empat dalil yang memperkuat pendapat Aquinas di atas, yaitu: (1) hakikat segala sesuatu di alam ini bergerak, dan sejatinya penggerak itu bukan benda yang bergerak, tetapi ada Sang Penggerak Tunggal itulah Tuhan; (2) di dunia indrawi manusia terbukti ada sebab yang mencukupi (efficient cause) (misalnya kebutuhan indra mata, dan sebagainya). Secara rasional tidak ada sesuatu yang mempunyai sebab pada dirinya sendiri. Jadi, ada Sumber Penyebab itulah Tuhan; (3) logika kemungkinan dan keharusan (possibility and necessity). Di dunia ini hakikat segala sesuatu itu bisa mungkin ada (possibility) dan harus ada (necessity). Penyebab yang harus ada itulah Tuhan; dan (4) tentang hukum keteraturan alam. Manusia menyaksikan benda planet dalam sistem tata surya dan benda-benda di alam ini bergerak dalam hukum keteraturan, padahal benda-benda tersebut tidak mempunyai akal atau pengetahuan untuk bergerak menuju keteraturan. Hal ini tentu membuktikan adanya Sang Pengatur Tunggal itulah Tuhan.

d. Pandangan Aquinas tentang Jiwa (intuisi), yaitu: (1) manusia terdiri dari jiwa dan raga. Raga menghadirkan matter (potensial) sedangkan jiwa menghadirkan form (aktualitas atau prinsip-prinsip hidup yang aktual); (2) jiwa adalah kapasitas intelektual (pikir) dan kegiatan vital kejiwaan lainnya. Manusia adalah makhluk berakal. Jiwa mempunyai kedudukan lebih tinggi dari raga, sehingga jiwa harus membimbing raga (fisik). Jiwa rasional merupakan manifestasi kehidupan tertinggi; (3) jiwa manusia dibagi menjadi tiga kemampuan, yaitu: kemampuan mengindera (sensation), kemampuan pikir (reason), dan kemampuan nafsu (appetite), ketiganya menyatu dalam diri manusia. (Tafsir, A. 2003). Jiwa tersebut merupakan anugerah Tuhan, yang membedakan manusia dengan mahluk lain.

5) Metode rasional

Metode rasional. Tokoh utama metode geometris atau rasional modern adalah Rene Descartes (1596-1650), dia adalah pendiri pemikiran modern atau tokoh besar dalam filsafat rasionalisme, atau disebut sebagai ‘Bapak’ filsafat modern. Descartes menyadari adanya jurang antara filsafat Aristoteles dengan orientasi ilmiah baru. Beberapa pokok pikiran Descartes antara lain:

1. Akal (reason) adalah alat paling dasar dalam memperoleh pengetahuan (science) dan menguji science serta untuk berpikir filsafat secara rasional. Sedangkan alat reason dalam berpikir adalah kaidah-kaidah logis (logika).
2. Rasionalisme dalam filsafat adalah sangat berguna sebagai teori pengetahuan (science). Rasionalisme berpendapat bahwa pengetahuan itu datang dari penemuan akal atau berpikir logis (logika) (rasionalisme lawan dari empirisme, yang menganggap pengetahuan berasal dari pengalaman-pengalaman nyata, bukan dari logika). Jadi, dasar filsafat haruslah rasio (akal).
3. Menurut Descartes, basis (dasar) bagi filsafat itu bukan filsafat Sokrates-Plato (Filsafat Yunani kuno atau Ancient philosophy), bukan filsafat abad pertengahan (middle ages philosophy), dan bukan filsafat agama (religious philosophy), tetapi pondasi filsafat adalah ‘aku yang berpikir’. Jadi, ketika saya berpikir adalah saya ada atau benar-benar ada.
4. Descartes membangun kerangka berpikir dari ‘keraguan’ terhadap sesuatu, dari ‘keraguan’ terus berpikir logis menuju ke ‘kepastian’ untuk menemukan ‘keyakinan’ yang berada di balik keraguan itu, ketika keyakinan itu begitu jelas dan pasti (clear and distinct) akhirnya diperoleh ‘keyakinan yang sempurna, yang disebut truths of reason. Jadi, akal (reason) itulah basis (dasar) yang terpenting dalam berfilsafat. Filsafat Descartes ini disebut filsafat modern (modern philosophy). Tokoh atau filosof lain yang mendukung Descartes adalah Spinoza (1632-1677), Leibniz (1646-1716), dan Hobbes (Peursen,C.A. 1980; Tafsir, A. 2003). Metode rasional inilah yang nantinya menghasilkan aliran atau paham rasionalisme dalam studi filsafat.

6) Metode eksperimental

Metode eksperimental. Tokoh metode eksperimental adalah David Hume ((1711-1776). Sedangkan pokok-pokok pikiran Hume tentang pandangan eksperimentalnya antara lain:

1. Semua ilmu berhubungan dengan hakekat manusia. Semua pengertian dan kepastian berasal dari observasi tingkah laku dan introspeksi tentang proses-proses psikologis.
2. Sikap objektif tanpa prasangka merupakan syarat mutlak bagi sikap ilmiah yang benar, untuk mencapai hal itu manusia harus menggunakan ‘skeptis secara metodis’, yaitu dengan cara menangguhkan segala pendapat tentang sesuatu dengan mengajukan pertanyaan terlebih dahulu atau sanggahan (kontra) terhadap pendapat terdahulu. Hal ini memunculkan paham skeptisisme.
3. Ada dua macam penalaran yang berkaitan dengan lingkup kajian dan pengertian ilmiah, yaitu: (1) pemikiran abstrak tentang kuantitas (angka); dan (2) pemikiran eksperimental mengenai fakta dan eksistensi. Selain dari kedua pemikiran tersebut dianggap tidak ilmiah. Satu-satunya sumber bagi segala pengertian filosofis adalah ‘pengalaman inderawi’.
4. Aspek progresif dalam metode Hume adalah bergerak dari yang sederhana menuju yang kompleks (sintesa), disisi lain metode Hume juga bergerak dari pengalaman menuju ke pengertian (induksi ala geometri). Pengalaman-pengalaman itu membentuk suatu ‘impresi’ (kesan umum), dari impresi itu dibentuk ide yang sederhana, contoh, impresi sederhana tentang warna merah akan menghasilkan ide sederhana tentang warna merah, contoh impresi kompleks tentang ‘metropolis’ akan menghasilkan ide yang kompleks tentang metropolis. Jadi, impresi dan ide itu menyatu dalam imajinasi.
5. Ide-ide yang sah adalah yang dibentuk melalui jalan perbandingan dan kombinasi antar ide, yang umumnya disebut ‘ide-ide umum abstrak’.
6. Meskipun ide-ide tadi telah dilakukan perbandingan dan kombinasi, manusia harus tetap mempertanyakan apakah ide tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Apakah ide-ide kompleks itu ada kesesuaian dengan ide-ide primer (ide sederhana) yang mengkonstituirnya. Menurut Hume, banyak suatu yang menjadi keyakinan seseorang tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (Bakker, A. 1984).

7) Metode kritisisme

Metode kritisisme (kritis transendental). Tokoh utama metode kritis atau aliran kritisisme adalah Immanuel Kant (1724-1804), dia menilai bahwa abad ke 18 di Jerman mengalami masa atau era ‘Aufklarung’ atau jaman pencerahan. Beberapa pokok pikiran Immanuel Kant tentang metode kritis atau aliran kritisisme antara lain:

1. Kritisisme melakukan penyelidikan tentang batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber ilmu pengetahuan. Jadi, kritisisme berbeda dengan filsafat rasionalisme sebelumnya yang mengakui kemampuan rasio secara mutlak.
2. Kritisisme Kant memandang bahwa: (1) objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek semata (subjek dan objek); (2) kemampuan rasio manusia itu terbatas untuk mengetahui realitas atau hakikat realitas atau sesuatu, rasio hanya mampu menjangkau gejala atau fenomena dari realitas; (3) pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh dari perpaduan antara apriori (berasal dari rasio dan kondisi objektif ruang dan waktu) dan aposteriori (berasal dari pengalaman yang berupa materi dan bersifat subjektif).
3. Tujuan kritisisme Kant adalah memugar sifat objektivisme dunia ilmu pengetahuan yang bersumber dari rasionalisme; dan memugar sifat subjektivisme dunia ilmu pengetahuan yang berumber dari empirisme. Oleh karena itu bagi Kant, syarat dasar bagi semua ilmu pengetahuan adalah dua hal yaitu: (1) bersifat umum, mutlak, objektif; dan (2) memberi pengetahuan yang baru berdasarkan realitas empiris. Jadi, objektivisme (rasionalisme) dan subjektivisme (empirisme) adalah dua sisi yang saling mengisi dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
4. Kritisisme Kant, mencoba mendamaikan antara rasionalisme (apriori) dengan empirisme (aposteriori). Kritisisme Kant berusaha menjelaskan bahwa pengalaman manusia merupakan sintesa dari unsur apriori dengan unsur aposteriori, keduanya saling mengisi dan saling memberi makna kehidupan.
5. Tentang peran atau tugas ‘akal budi’ menurut Kant adalah menciptakan putusan-putusan, oleh karena itu pengenalan akal budi adalah hasil sintesa dari ‘bentuk’ atau kategori (apriori) dan ‘materi’ (aposteriori atau data-data inderawi).
6. Taraf rasio bagi Kant adalah, bahwa rasio membentuk argumentasi-argumentasi yang dibimbing oleh tiga ide, yaitu: jiwa, dunia, dan Allah. Ide bagi Kant adalah ‘suatu cita-cita yang menjamin adanya kesatuan terakhir dalam bidang: (1) gejala-gejala psikis (jiwa); (2) kejadian-kejadian jasmani (dunia); dan (3) gejala-gejala hakikat Ada (Allah/ Tuhan)’. Menurut Kant, apa yang tidak dapat ditemui atas dasar rasio teoritis (apriori) harus diandaikan atas dasar rasio praktis (aposteriori). Tetapi tentang kebebasan kehendak, immoralitas jiwa dan adanya Tuhan menurut Kant manusia tidak mempunyai pengetahuan teoritis.
7. Kant berkesimpulan, bahwa kenyataan itu lebih luas daripada apa yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh manusia, dan Kant berusaha membangun metafisika baru. Metafisika baru itu berdasarkan perpaduan keberadaan objektivisme atau rasionalisme dengan keberadaan subjektivisme (empirisme) yang tidak saling menafikan, tetapi saling mengisi dan menyempurnakan dalam memahami hakikat suatu fenomena (Bakker, 1984; Praja.J.S.,2005).

8) Metode dialektika

Metode dialektika, tokoh utama metode atau aliran dialektika adalah George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Beberapa pokok pikiran filsafat Hegel tentang metode dialektika antara lain:

a. Tentang Budi, ‘Budi’ memegang peran penting dalam proses sejarah kehidupan. Budi itu aktif dalam dua bidang, yaitu: (1) sebagai ‘roh objektif’, maka budi menguasai hal-hal dalam realitas objektif, yang bersifat tertib, teratur mengikuti hukum alam (unsur apriori), memberi bentuk yang jelas; dan (2) sebagai ‘roh subjektif’, maka potensi budi berperan untuk mengusai dirinya dan dapat mencari jalan di tengah-tengah kenyataan, memberi isi. Atau roh subjektif itu berkaitan dengan akal budi subjek yang tahu (unsur aposteriori).

Menurut Hegel, bahwa identifikasi antara ‘roh objektif’ dan ‘roh subjektif’ berlangsung terus menerus (suatu proses sejarah). Jadi, proses sejarah kehidupan mengandung dua aspek (roh objektif dan roh subjektif), keduanya saling koeksistensi, tindih-menindih, saling mencerminkan, saling berjumpa dalam sintesa tertinggi yang disebut ‘Roh Mutlak’, ketika roh mutlak tercapai maka sejarahpun tamat. Menurut Hegel, sejarah merupakan suatu gerak menuju sebuah tujuan yang bersifat teleologis. Dalam filsafat Hegel, unsur formal (objektif atau apriori) hampir tidak dapat dipisahkan dari unsur material (subjektif atau aposteriori) (Ankersmit. 1987).

b. Tentang Dialektika. Menurut Hegel, dialektika adalah ‘susunan logis yang menunjukkan bagaimana dalam perkembangan proses sejarah itu identifikasi diri Roh atau ‘Budi terjadi’. Dasar dialektika Hegel adalah ‘penyangkalan setiap penegasan’. Bagi Hegel, setiap konsep menimbulkan konsep yang berlawanan, atau setiap pengertian seolah-olah tercermin dalam lawannya. Jadi, dialektika Hegel selalu secara positif berbicara mengenai negasi atau penyangkalan. Contoh dialektika Hegel: pria bukan wanita; absolut bukan relatif; makhluk (ciptaan) bukan khalik (pencipta); baik bukan buruk; ide bukan alam (materi); beragam bukan satu; universal bukan singular; aktif bukan pasif, dan seterusnya.

Bagi Hegel, kontradiksi merupakan ‘motor’ dialektika. Pola berpikir kontradiksi (dialektika) merupakan jalan utama atau tahap mutlak yang harus dialami untuk mencapai kebenaran. Kontradiksi (dialektika) itu benar-benar nyata, tetapi kontradiksi itu bukan menurut arti logika formal semata, kontradiksi itu menandakan kekuranglengkapan konseptual, dan ditemukan terutama di kategori-kategori rendah (realitas kongkrit). Jadi, metode Hegel adalah dialektika antara konsep murni (apriori atau formal) dan fakta kongkrit (aposteriori atau material) yang menyatu dalam sintesis (Bakker, A., 1984).

c. Hegel termasuk seorang filosof yang menganut aliran idealisme. Bagi Hegel kenyataan identik dengan pikiran seseorang tentang kenyataan itu. Namun perlu dipahami pandangan Hegel tentang idealisme, bahwa ‘idealisme bukan menjadi titik tolak atau dasar utama dari segala sesuatu, melainkan hasil atau tugas yang diberikan oleh pikiran (rasional) manusia’. Idealisme menurut Hegel akan mencapai perwujudannya yang paripurna ketika Roh Subjektif dan Roh Objektif melaksanakan identifikasi diri secara timbal balik (saling mengisi) di dalam Roh Mutlak. Proses saling mengisi antara Roh Subjektif dan Roh Objektif adalah merupakan proses sejarah (proses kehidupan), adapun sifat dari proses sejarah tersebut adalah dialektis (Ankersmit. 1987).

9) Metode fenomenologi

Metode fenomenologi. Tokoh metode atau aliran fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938). Beberapa pokok pikiran Husserl tentang fenomenologi antara lain:

1. Husserl menolak sikap ‘scientisme’, yang menghadapi fenomena hidup (gejala kehidupan) dengan menggunakan metode eksakta (kuantitatif). Bagi Husserl, objek pertama bagi filsafat bukan dari ‘pengertian hasil rasionalistik’ tentang kenyataan, tetapi dari kenyataan itu sendiri.
2. Menurut Husserl, dunia sekitar manusia itu ‘berada’, adalah tergantung oleh proses terjadinya hubungan ‘antar subjektivitas transendental’ dalam komunitas antar individu yang ada dalam komunitas tersebut.
3. Metode Husserl disebut metode fenomenologi, dengan beberapa ciri antara lain: (1) titik tolak metodenya dalam objek dan subjek. Untuk mencapai objek pengertian menurut keasliannya harus dilakukan metode reduksi (pembersihan) dari unsur-unsur yang tidak nyata, misalnya membersihkan pengertian tentang sesuatu dari unsur-unsur tradisi, manusia harus otonom. Jadi, yang dimaksud metode reduksi adalah ‘penundaan segala pengetahuan yang ada tentang objek sebelum pengamatan intuisi dilakukan berulang-ulang’; (2) objek penyelidikan adalah ‘fenomena’ atau gejala. Fenomena itu adalah data dari gejala yang sederhana, tanpa ditambah hal lain (apa adanya); (3) fenomena alam itu fakta (relasi) yang dapat diterapkan dalam observasi empiris, tetapi fenomenologi Husserl juga dapat berupa pandangan ‘rohani’, namun fenomenologi Husserl tidak sama dengan fenomenologi agama; (4) ‘metode reduksi’ merupakan salah satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologis. Untuk mengetahui sesuatu, seorang fenomenologis harus bersikap netral atau otonom (tidak terpengaruh) dari teori atau pandangan yang telah ada, artinya diberi kesempatan ‘berbicara tentang dirinya sendiri’.
4. Ada tiga reduksi yang ditempuh untuk mencapai realitas fenomena dalam pendekatan fenomenologis, yaitu: (1) reduksi fenomenologis, maksudnya adalah apa yang kita lihat tentang segala sesuatu (misalnya ‘X’) dalam kehidupan sehari-hari kita yakini sebagai kenyataan. Akan tetapi, karena yang dituju oleh fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada diluar dirinya (di balik kenyataan ‘X’ yang nampak), dan pemahaman dibalik yang nampak hanya dapat dicapai dengan ‘mengalami secara intuitif’, maka apa yang kita anggap sebagai realitas dalam pandangan mata itu untuk sementara harus ‘ditinggalkan’, ‘segala subjektivitas disingkirkan’, ‘dibebaskan dari teori-teori yang ada’, sehingga yang muncul dalam kesadaran adalah ‘fenomena itu sendiri’ (hal ini disebut reduksi fenomenologis); (2) reduksi eidetis (inti sari), maksudnya adalah dengan reduksi eidetis, semua segi, aspek dan profil dalam fenomena yang hanya kebetulan dikesampingkan (karena aspek dan profil tersebut tidak menggambarkan objek secara utuh). Setiap objek adalah kompleks mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga. Hakikat (realitas) yang dicari dalam reduksi eidetis adalah struktur dasar yang fundamental dan hakiki. Dalam reduksi eidetis memberlakukan kriteria kohersi, artinya, pengamatan yang terus menerus terhadap objek harus bisa dipadukan dalam suatu horison yang konsisten; dan (3) reduksi fenomenologi transendental. Reduksi ini tidak lagi mengenai objek, atau fenomena bukan mengenai hal-hal yang menampakkan diri kepada kesadaran. Reduksi ini merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai hal-hal yang menampakkan diri dalam kesadaran. Kesadaran dalam fenomenologi transendental, bukan kesadaran empiris (bendawi) lagi, melainkan kesadaran yang bersifat murni atau transendental, yaitu sebagai ‘subjektivitas’ atau ‘aku transendental’. Dari reduksi fenomenologi transendental inilah yang menyebabkan Husserl oleh para ahli dikategorikan penganut aliran idealisme (Rossides, 1978)
5. Tujuan dari adanya ketiga reduksi tersebut adalah menemukan bagaimana objek dikonstitusi dengan fenomena asli dalam kesadaran. Namun para fenomenolog (murid-murid Husserl) lebih banyak menggunakan reduksi fenomenologi (tidak menggunakan reduksi fenomenologi transendental).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketiga reduksi tersebut memberikan kejelasan bahwa metode fenomenologi itu menutut ‘manusia tidak begitu saja menerima pengertian dan rumusan tentang sesuatu hal dari teori atau pandangan sebelumnya, karena pengertian atau pemahaman tersebut belum menyentuh hakikat dari apa yang kita tuju. Pandangan atau pengertian pertama tentang sesuatu perlu dilanjutkan pada pandangan kedua untuk menghilangkan tabir yang menghalangi pada pandangan pertama, pandangan kedua untuk menemukan hakikat objek’. Metode fenomenologi ini di era sekarang banyak dipakai dalam studi filsafat, sosial budaya, ideologi, dan politik (Praja, J.S., 2005).

10) Metode hermeneutik

Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani ‘hermeneuein’ yang berarti ‘menafsirkan’. Jadi, metode hermeneutik bisa diartikan sebagai ‘metode penafsiran atau metode interpretasi’. Tokoh-tokoh dari metode hermeneutik antara lain Schleiermacher (lahir di Breslau 1768); Wilhelm Dilthey (lahir di Jerman 1833); Jurgen Habermas (lahir di Jerman 1929); Paul Ricoeur (lahir di Perancis 1913); dan Jacques Derrida (lahir di Aljazair 1930), dan sebagainya. Ada beberapa konsep tentang metode hermeneutik dalam studi filsafat antara lain:

a. Pada hakikatnya semua ilmu-ilmu pengetahuan tentang kehidupan (life sciences) adalah memerlukan metode hermeneutik (cara penafsiran atau interpretasi). Karena setiap pengetahuan selalu bersentuhan dengan pengalaman, dan setiap pengalaman hidup akan diungkap dengan bahasa, dan sering bahasa yang digunakan untuk menjelaskan pengalaman tersebut harus ditafsirkan agar bisa dimengerti oleh orang lain.

b. Semua objek dalam hidup ini pada dasarnya adalah netral (objek adalah objek), yang memberi ‘arti, fungsi dan makna’ suatu objek adalah subjek (manusia). Suatu benda tertentu ‘X’ (objek) punya arti atau makna tertentu karena subjek (manusia) yang manaruh perhatian atau memberi arti dan makna terhadap ‘X’ tersebut. Jadi, peran ‘penafsiran atau interpretasi’ seseorang tentang sesuatu adalah kunci dalam proses hidup. Kadar kebenaran dari sesuatu hal sangat ditentukan oleh kualitas penafsiran atau interpretasi terhadap sesuatu tersebut.

c. Semua interpretasi atau penafsiran mencakup ‘pemahaman’, namun sifat pemahaman itu sangat kompleks dan luas. Oleh karena itu manusia tidak bisa memastikan kapan sebenarnya seseorang itu mulai mengerti tentang sesuatu. Untuk dapat membuat interpretasi (penafsiran) manusia harus lebih dahulu mengerti (understand) atau memahami (comprehend) tentang sesuatu. Dan seseorang akan mengerti atau memahami sesuatu dengan sungguh-sungguh harus berdasarkan pengetahuan yang benar (correct), dari pengetahuan dan interpretasi yang benar kemudian manusia merekonstruksi.

d. Seseorang yang melakukan penafsiran (interpretasi) tidak boleh bersifat pasif, ia harus merekonstruksi ‘makna’ dibalik fenomena. Alat atau media dalam melakukan rekonstruksi fenomena adalah: cakrawala intelektual penafsir dalam menganalisis suatu fenomena; pengalaman historis penafsir; latar belakang sosial budaya penafsir; dan kemampuan bahasa untuk mengkomunikasikan hasil interpretasi.

e. Metode hermeneutik, menegaskan bahwa manusia autentik selalu dilihat dalam konteks waktu dan ruang (time and space) dimana manusia sendiri mengalami dan menghayatinya. Artinya, memahami manusia dengan segala pola perilakunya hanya bisa dilakukan dengan cara ‘memahami situasi sosal-budaya dan lingkungan sehari-harinya dimana manusia itu hidup’.

f. Hermeneutik sebagai metode studi filsafat, mempunyai sifat dasar yaitu ‘luwes’ sesuai dengan perkembangan jaman dan bersifat open-mindedness. Cara kerja hermeneutik dalam memahami fenomena hidup adalah lebih menekankan pada penafsiran atau interpretasi yang berbasis pada ‘manusia yang mengalami’ atau ‘individu dalam situasinya’ sendiri (Sumaryono, 1999).

1. Etika

Etika merupakan cabang dari aksiologi. Etika membicarakan tentang nilai atau prinsip hidup yang semestinya, yang seharusnya dilakukan seseorang dalam proses hidupnya. Oleh karena itu etika disebut juga sebagai ‘nilai kesusilaan’ (Kattsoff, L.O. 1996). Dalam proses kajian tentang Etika, persoalan mendasar yang muncul adalah: (a) bagaimana cara (metode) yang harus dilakukan manusia agar hidupnya berlangsung secara lebih baik atau mulia?, dan (b) bagaimana cara (metode) melakukan perbuatan yang betul dan yang sesuai dengan nilai-norma yang berlaku dalam kehidupan kelompok atau masyarakat?.

Etika pada hakikatnya tidak bisa dipisahkan dengan nilai kesusilaan, dan menurut para ahli nilai-nilai kesusilaan banyak bersumber pada nilai-nilai keagamaan atau kepercayaan, bahkan ada yang menyamakan antara etika dengan nilai-nilai kesusilaan, dan nilai-nilai agama atau kepercayaan (Horton, P. and Hunt, C.L. 1984). Ada yang membedakan pengertian etika sebagai ‘ilmu pengetahuan’, yang berarti ‘penyelidikan mengenai beragam tanggapan atau respon tentang kesusilaan secara ilmiah’, dan ada juga etika dinilai sebagai suatu ‘ajaran’, yang berarti prinsip-prinsip etik (moral) yang seharusnya dilakukan atau dijadikan sebagai pedoman oleh setiap individu dalam berbuat sesuatu, dalam hal ini nilai-nilai etik (moral) harus dibelajarkan dalam bentuk ‘sosialisasi, internalisasi dan enkulturasi’ pada setiap anggota kelompok.

Menurut Koentjaraningrat (1989), pada dasarnya sepanjang usia manusia dalam hidupnya, sejak usia nol sampai meninggal, selalu melakukan proses pembelajaran diri terhadap segala aspek pola budaya yang berlaku (disebut dengan pembelajaran budaya). Proses pembelajaran budaya tersebut adalah meliputi tiga hal, yaitu: (1) Proses internalisasi yaitu, proses pembelajaran individu sejak usia dini (sejak lahir) sampai meninggal untuk belajar, melatih dan menanamkan dalam kepribadiannya tentang segala hasrat, keinginan, emosi, motivasi, perasaan yang diperlukan selama proses kehidupannya’. Dalam proses internalisasi inilah seseorang sejak kecil sampai meninggal terus belajar tentang: merasakan dan mewujudkan kebahagiaan hidup; merealisasikan dan memaknai cinta dan benci dalam hidup; membangun sikap simpati atau empati, rasa malu; melatih diri bersikap adil, jujur; membangun semangat untuk ingin tahu dan berbakti, berkarya (membangun kualitas kepribadian); (2) Proses sosialisasi yaitu, ‘proses pembelajaran individu sejak dini (sejak lahir) sampai meninggal tentang pola-pola tindakan sosial atau interaksi sosial dalam proses-proses sosial di lingkungannya dengan memperhatikan beragam nilai dan norma sosial yang berlaku dalam kelompoknya’; (3) Proses enkulturasi, yaitu ’proses pembelajaran diri sejak usia dini sampai meninggal tentang adat istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang berlaku di masyarakat. Jadi, dalam proses enkulturasi ini seseorang sejak kecil berlatih untuk memahami dan mengamalkan nilai, norma, adat istiadat, dan seperangkat aturan yang telah berlaku dalam keluarga dan masyarakatnya. Pelatihan alam pikiran dan tindakannya tersebut dilakukan secara berulang-ulang dari kecil sampai dewasa.

Ketiga unsur proses pembelajaran budaya tersebut (internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi) mempunyai hubungan yang sangat erat, karena dalam praktik-praktik tindakan sosial dalam rangka pemenuhan beragam kebutuhan hidup, setiap individu selalu bersentuhan dengan ketiga hal tersebut. Ketiga proses pembelajaran budaya tersebut mempunyai persamaan, yaitu ’sama-sama berfungsi dalam proses pembentukan kepribadian seseorang sejak dini sampai meninggal’, sedangkan perbedaannya lebih terletak pada ’titik tekan’ permasalahannya, yaitu: internalisasi lebih menekankan pada proses pembentukan karakter atau kualitas kepribadian atau akhlak mulia setiap individu; sosialisasi lebih menekankan pada aspek kualitas diri dalam melakukan proses interaksi sosial, atau komunikasi sosial atau proses-proses sosial dalam kehidupan kelompok, baik dalam keluarga, organisasi kemasyarakatan, tempat kerja dan sebagainya, sedangkan enkulturasi lebih menekankan pada aspek ’pembudayaan’ atau melatih diri secara berulang-ulang dalam mematuhi seperangkat norma atau aturan yang berlaku di masyarakat.

Ada beragam macam etika, yaitu: (a) etika deskriptif, yaitu etika yang sekedar melukiskan predikat serta tanggapan-tanggapan kesusilaan yang telah diterima dan digunakan oleh masyarakat; (b) etika normatif, yaitu etika yang berkaitan dengan penyaringan ukuran-ukuran kesusilaan yang khas, sebagai ukuran atau alat penilai suatu perbuatan itu baik atau tidak baik. Sedangkan etika kefilsafatan adalah mempertanyakan hakikat makna terdalam yang terkandung dalam etika atau kesusilaan itu; (c) etika praktis, yaitu etika atau prinsip kesusilaan yang diberlakukan untuk kegiatan-kegiatan khusus dalam kehidupan sehari hari, dan yang berlaku dalam lingkungan tertentu; dan (d) etika teologis, yaitu etika yang prinsip-prinsip nilai kesusilaan bersumber pada kitab suci atau ajaran (syariat) keagamaan (Kattsoff, L.O. 1996; Sudiarja, dkk. 2006).

Pada hakikatnya semua jenis etika (prinsip-prinsip moral) adalah berfungsi sebagai: (a) ukuran perbuatan seseorang itu dikatakan baik atau tidak baik dalam kelompoknya; (b) orientasi atau pedoman seseorang untuk bertindak dalam rangka mencapai tujuan dan kebahagiaan hidup; (c) abstraksi dari suatu sistem sosial budaya masyarakat tertentu sebagai pendukung etika tersebut; (d) alat atau media bagi kelompok untuk melakukan kontrol terhadap pola perilaku warga kelompok atau masyarakatnya (Horton, P. and Hunt, C.L. 1984). Berikut ini disampaikan beberapa prinsip hidup yang merupakan bagian dari kajian etika teologis dan etika normatif, tentang bagaimana manusia berbuat susila untuk meraih kebahagiaan hidup sejati. Jadi, prinsip-prinsip etik atau moral yang disajikan dalam kajian ini lebih berorientasi pada nilai-nilai spiritual, karena penulis sepakat dengan pandangan beberapa ahli bahwa nilai-nilai kesusilaan pada hakikatnya adalah bersumber pada ajaran agama.

Ada sepuluh prinsip etika (prinsip moral) hidup yang harus dijalani setiap individu dan sembilan prinsip hidup yang harus dihindari setiap individu, agar setiap langkah hidup manusia dapat meraih kualitas hidup (kebahagiaan hidup sejati), atau agar hidup manusia selalu selaras dengan nilai-norma yang berlaku di masyarakat, antara lain:

Pertama, sepuluh prinsip etika hidup yang harus dilakukan setiap individu sepanjang usianya di masyarakat antara lain:

1. Manusia harus selalu melakukan inovasi atau membaharui perilaku diri berdasarkan nilai keilmuan dan moral keagamaan. Menegakkan prinsip ‘hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan esok harus lebih baik dari hari ini’. Selalu bertaubat (tidak mengulangi kesalahan atau kekhilafan sikap dan perilaku negatif yang sama) dengan sungguh-sungguh. Upaya membangun karya inovatif tersebut harus didasarkan pada prinsip mono motivation (motivasi tunggal atau ikhlas, tidak didasarkan atas pamrih dalam bentuk dipuji atau disanjung sebagai orang hebat)
2. Manusia harus selalu merasa takut atau sedih jika berbuat aniaya (dholim), melawan nilai-norma kehidupan dan perbuatan negatif lainnya. Perasaan sedih dan takut untuk berbuat jelek dalam bentuk apapun, akan mendorong setiap manusia untuk berhati-hati dan selalu menggunakan pikiran yang jernih apabila akan melakukan sesuatu. Setiap tindakannya akan didasarkan pada perencanaan hidup yang matang.
3. Manusia dalam mewarnai seluruh aktivitas hidupnya untuk menuju puncak atau prestasi dalam bidang apapun harus selalu diorientasikan pada motivasi tunggal untuk mengharap keridhaan Tuhan. Sebab perbuatan apapun yang diorientasikan kepada kepentingan dunia dan sesamanya akan cenderung menimbulkan sikap mental kemunafikan (ambivalensi), dan tidak bisa memunculkan disiplin nurani yang tinggi. Contoh disiplin nurani adalah ‘ada atau tidak ada pemimpin, diawasi atau tidak diawasi pemimpin tetap bekerja dengan baik atau tetap profesional’.
4. Manusia dalam proses hidupnya harus membangun kualitas sikap mental sabar. Ada empat tingkatan sabar, yaitu: (1) sabar (konsisten) dalam menjalankan seluruh nilai dan norma yang berlaku di masyarakat; (2) sabar dalam mengendalikan diri untuk tidak menuruti nafsu hedonisme (mendewakan kesenangan dan seksual); (3) sabar dalam mengendalikan emosional, atau mengendalikan diri untuk merespon ucapan orang lain yang negatif (konflik) dengan dibalas ucapan positif (kooperatif); dan (4) sabar dalam arti tabah untuk menerima dan menjalani segala cobaan, ujian hidup yang memberatkan dengan tetap melakukan ikhtiar secara positif.
5. Manusia dalam setiap aktivitas karya, harus selalu membangun sikap mental mensyukuri karya demi karya yang telah dicapainya. Makna syukur sejatinya adalah selalu berikhtiar untuk berkarya yang lebih baik, dan menerima imbalan atau ketetapan yang telah diberikan oleh Tuhan dengan ikhlas. Sikap mental pandai mensyukuri karunia Tuhan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi kualitas mentalitas manusia dan kualitas karya manusia berikutnya. Manusia yang pandai bersyukur akan tetap konsisten untuk berkarya (berikhtiar).
6. Manusia harus berjuang keras untuk menegakkan sikap mental jujur sepangjang proses-proses sosial atau sepanjang membangun karya demi karyanya. Sikap mental jujur termasuk salah satu kunci syarat meraih kemakmuran dan kebahagiaan dalam kehidupan kolektif, baik pada level keluarga sampai kehidupan bernegara. Ketika mentalitas jujur telah menjadi pola budaya anggota masyarakat, maka dipastikan kesenjangan sosial ekonomi akan terminimalisir, diskriminasi dalam segala aspek akan terminimalisir dan kebahagiaan hidup akan terwujud.
7. Manusia harus membangun sikap mental bertawakkal kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Mentalitas tawakkal punya makna, ‘bahwa setiap manusia harus terus berikhtiar semaksimal mungkin dan setiap akhir kegiatan berkarya harus dikembalikan kepada Dzat Penetap, Pengendali hidup yaitu Tuhan. Ketika etika tawakkal ini tumbuh dengan baik, seseorang akan tidak mudah mengalami dispsikhologi (stress), karena mentalitas tawakkal akan membentuk keseimbangan mental untuk terus berjuang dan berdo’a (dimensi natural-supranatural), disamping itu mentalitas tawakkal akan menumbuhkan sikap mental baik sangka kepada Tuhan dan sesamanya.
8. Manusia harus selalu membangun sikap mental saling mencintai sesamanya. Saling menghargai harkat dan martabat orang lain. Meminimalkan terjadinya konflik dan membangun sikap mental kooperatif. Membangun solidaritas sosial ingroup atau outgroup, dan rasa memiliki terhadap agenda atau tujuan kelompok, baik pada level keluarga sampai level bernegara. Menjauhkan sejauh mungkin sikap mental diskriminasi, eksklusif, primordial dan otoriter.
9. Manusia harus selalu membangun sikap mental ridha, artinya etika menerima dengan tulus ikhlas apa yang telah ditetapkan dan dianugerahkan Tuhan kepada manusia, dengan tetap membangun sikap mental positif, berbaik sangka kepada Tuhan dan pada sesamanya. Ketika etika ridha mewarnai sikap mental seseorang, maka budaya kompetitif akan berlangsung secara beradap (civilization), manusia tidak akan membangun sikap mental ‘hukum rimba’ (siapa yang kuat adalah yang menjadi pemenang).
10. Manusia harus selalu membangun sikap mental untuk memahami bahwa hakikat realitas hidup di dunia ini semuanya akan berakhir atau mengalami kehancuran (kematian), dan setiap perbuatan manusia akan diminta pertanggungjawaban ketika kematian tiba. Ketika sikap mental ini tumbuh dengan baik, maka setiap tindakan individu akan dirancang dan dikontrol dengan baik, manusia akan hati-hati dalam berbuat untuk tidak terjebak dalam kesalahan (Drijarkara, N. 1978; Ghulsyani,M. 1986; Mutahhari, M. 1997; Praja.J.S., 2005). Kesepuluh konsep moral tersebut pada hakikatnya dalam realitas hidup sehari-hari adalah saling berhubungan, artinya ketika seseorang mempertanyakan ‘bagaimana cara membangun kualitas sabar dalam hidup?, maka jawabannya adalah lakukan sembilan dari sepuluh konsep moral tersebut secara konsisten.

Kedua, sembilan fenomena (gejala hidup) dalam kehidupan yang harus dihindari atau dijahui oleh setiap individu agar kehidupannya tidak mengalami disintegrasi atau kehancuran dalam segala aspeknya, baik dalam level kehidupan pribadi, keluarga sampai pada level kehidupan bernegara, antara lain:

1. Mentalitas rakus dan serakah. Manusia harus selalu berjuang untuk meminimalisir mentalitas rakus dan serakah terhadap harta. Ketika mentalitas rakus dan serakah mewarnai proses kehidupan seseorang, maka segala pola perilaku seseorang cenderung menghalalkan segala cara, membangun prinsip ‘yang kuat yang menang’ dan hukum rimba ditegakkan, mental korupsi akan menyatu dalam hidupnya, suka merampas hak orang lain.
2. Pembicaraan kotor. Manusia harus selalu berjuang untuk meminimalisir terjadinya pembicaraan yang kotor dan yang menyebabkan terjadinya konflik, atau penghinaan, mencaci maki kepada orang lain. Perlu disadari, bahwa konflik yang berakibat terjadinya kehancuran masyarakat adalah berawal dari pembicaraan yang kotor (tidak baik), saling mencaci, memfitnah, dan penuh nuansa permusuhan. Ketika budaya saling mencaci, mengungkap aib orang lain, memfitnah telah menjadi budaya masyarakat, maka kehidupan masyarakat itu akan mudah mengalami disintegrasi (kehancuran).
3. Sikap amarah. Manusia harus selalu berjuang untuk meminimalisir terjadinya amarah, ceroboh, tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Ketika sikap amarah selalu mewarnai perilaku seseorang, maka warna perbuatan seseorang akan cenderung destruktif (biadab), pola sikap dan tindakan seseorang tidak bijaksana, dan sangat berpotensi untuk mencapai kegagalan.
4. Sikap mendengki. Manusia harus selalu berjuang untuk meminimalisir terjadinya kedengkian terhadap sikap, tindakan atau karya orang lain. Ketika mental dengki mewarnai tindakan seseorang, maka orang tersebut tidak akan pernah sanggup memandang kebaikan orang lain, bahkan bisa jadi setiap tindakan orang sebaik apapun akan dinilai negatif. Itulah sebabnya ‘dengki itu akan menghapus kebaikan seseorang, seperti api mengkikis kayu bakar’.
5. Sikap bakhil. Manusia harus selalu berjuang untuk meminimalisir terjadinya sikap bakhil (jiwa empati sangat rendah) dan cinta harta yang sangat berlebihan. Sikap bakhil dan mentalitas tidak pernah peduli terhadap perjuangan atau penderitaan orang lain adalah sangat berbahaya, karena mental tersebut dapat menimbulkan kesenjangan sosial-ekonomi dan mendorong menculnya beragam problem sosial.
6. Sikap ambisi atau gila tahta. Manusia harus selalu berjuang untuk meminimalisir terjadinya ambisi kekuasaan atau gila kedudukan (tahta). Apabila sikap mental tersebut berkembang pada diri seseorang, maka berbagai cara akan ditempuh untuk meraih jabatan, meskipun harus menyingkirkan atau membunuh orang lain yang dianggap sebagai penghalang ambisinya. Setiap orang yang tidak mendukungnya dianggap lawan politik yang harus dihabisi, dan ketika kekuasaan itu tidak perolehnya dia akan akan stres atau mengalami gangguan jiwa.
7. Cinta dunia yang berlebihan. Manusia harus selalu berjuang untuk meminimalisir terjadinya cinta dunia yang sangat berlebihan. Hal ini penting kerena hakikat dunia ini adalah nisbi, semu dan maya (tidak abadi). Manusia jangan sampai dikuasai oleh dunia, sebaiknya manusia mampu mengendalikan (memberdayakan) dunia dengan cara menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta mewujudkan etika (akhlak) yang mulia berdasarkan nila-nilai keagamaan.
8. Sikap congkak atau sombong. Manusia harus selalu berjuang untuk meminimalisir terjadinya (takabur/ sombong), sebab mentalitas congkak atau sombong akan dapat mengunci mati hati dan pikiran seseorang untuk menerima kebenaran dari pihak lain. Orang sombong sulit menerima kritik dan saran serta inovasi di berbagai bidang kehidupan, karena dia memandang dirinya adalah ‘paling segalanya’, ‘paling baik’, sedangkan pihak lain dinilai tidak berarti atau dianggap jelek.
9. Sikap takjub atau bangga diri. Manusia harus selalu berjuang untuk meminimalisir terjadinya (takjub atau bangga diri), sebab sikap membanggakan diri cenderung akan melahirkan sikap primordalisme, eksklusivisme, diskriminatif dan mengganggap orang lain adalah rendah, tidak punya arti dan sejenisnya (Ghulsyani,M. 1986; Al Ghazali, 1996; Mutahhari, M. 1997) Kesembilan fenomena mentalitas negatif tersebut mempunyai hubungan yang erat, artinya ketika mental congkak melekat kuat pada diri seseorang, maka kedelapan sikap mental negatif lainnya akan tumbuh pada diri seseorang. Jadi, ketika orang menginginkan untuk menghilangkan kesombongan, maka setiap individu harus konsisten untuk tidak melakukan kedelapan fenomena mental negatif lainnya.

B. Hakikat Ontologi Filsafat

Ontologi adalah membicarakan tentang hakikat objek, hakikat ‘apa’, hakikat ‘segala sesuatu’. Jadi, hakikat ontologi filsafat adalah ‘membicarakan tentang hakikat objek filsafat, atau hakikat tentang ‘apa’ filsafat itu, atau hakikat filsafat itu sendiri, atau hakikat ‘segala sesuatu’, atau struktur filsafat’. Sebagaimana yang telah diuraikan di atas tentang pengertian dan ruang lingkup studi filsafat, bahwa filsafat mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan mengkaji tentang hakikat segala sesuatu tentang fenomena hidup ini secara mendalam, integral dan universal.

Ontologi filsafat sejatinya menyangkut semua hakikat objek filsafat, sehingga meliputi pula jenis atau cabang filsafat, misalnya: Logika, Metafisika, Kosmologi, Teologi, Etika, Estetika, Filsafat Hukum, Filsafat Pendidikan, Filsafat sejarah, Antropologi, dan sebagainya (Tafsir, A., 2007).

Beberapa contoh permasalahan berikut yang merupakan bagian dari ontologi filsafat, antara lain: Pertama, apakah hakikat pengetahuan filsafat itu?. Dari pertanyaan ini muncul beragam jawaban, misalnya: (1) filsafat merupakan pengetahuan yang mengkaji sebab terdalam bagi segala sesuatu menurut akal pikiran yang sehat; (2) filsafat merupakan pengetahuan hasil perenungan puncak pikiran manusia untuk mencapai kebajikan; (3) filsafat merupakan pemikiran teoritis tentang susunan kenyataan sebagai keseluruhan; (4) filsafat merupakan pandangan hidup yang menjadi orientasi segala perbuatan manusia, dan sebagainya.

Kedua, apakah hakikat objek filsafat itu?, atau apakah hakikat ‘segala sesuatu itu’?. Dari pertanyaan ini muncul beragam jawaban atau aliran tentang ‘hakikat segala sesuatu’, antara lain:

1. Aliran idealisme, menurut aliran ini, hakikat segala sesuatu dalam hidup ini ditentukan oleh jiwa atau pikiran seseorang, hakikat benar, baik, buruk, bahagia dalam hidup adalah sangat tergantung oleh kualitas jiwa, pikiran (idea) dan spiritual individu. Jadi, sesuatu itu punya makna karena ide. Segala sesuatu dalam hidup ini ditentukan oleh ide atau pikiran manusia.
2. Aliran positivisme, menurut aliran ini, hakikat segala sesuatu itu harus sesuai dengan hukum alam, kaidah ilmu pasti, kebenaran harus bisa dibuktikan secara matematis, eksakta, dan objektivis, oleh karena itu logika yang dikembangkan oleh aliran positivisme adalah logika deduktif (formal). Jadi, segala sesuatu yang tidak sesuai dengan akal pikiran yang sehat adalah tidak pernah ada.
3. .Aliran vitalisme, menurut aliran ini, hakikat segala sesuatu adalah sama seperti fenomena organisme, hidup ini adalah eksistensia, hidup paling tinggi adalah kemerdekaan, segala sesuatu yang menghambat kemerdekaan harus di lawan, karena segala macam aturan mengikat tersebut hanya membatasi gerak aktualisasi manusia.
4. Aliran realisme, menurut aliran ini, hakikat segala sesuatu itu ‘ada’ karena dipengaruhi oleh beragam faktor internal dan eksternal, yang masing-masing faktor punya pengaruh yang sama, saling mengisi, saling terkait antara unsur satu dengan unsur lain.

5. Aliran pluralisme, menurut aliran ini, hakikat segala sesuatu dalam hidup selalu menyajikan keberagaman bentuk atau wujud, setiap unsur (anorganik, organik, psikhis) dalam keberagaman tersebut sejatinya saling mengkait membentuk kesatuan sistem kehidupan.

6 Aliran hedonisme, menurut aliran ini, hakikat segala sesuatu adalah terwujudnya hidup penuh ‘kenikmatan’, dan upaya meraih kenikmatan sering berhenti pada pencarian kenikmatan indrawi, bendawi dan sexual.

7. Aliran humanisme, menurut aliran ini, hakikat segala sesuatu itu ada atau baik adalah apabila kemampuan dan martabat diri manusia bisa berfungsi sangat baik bagi kemaslahatan (humanis) kehidupan bermasyarakat.

8. Aliran pragmatisme, menurut aliran ini, hakikat segala sesuatu itu bermakna, apabila sesuatu itu mempunyai konsekwensi praktis atau mempunyai nilai kegunaan dalam kehidupan, jika sesuatu itu tidak punya makna praktis, maka sesuatu itu tidak ada; dan masih banyak lagi aliran-aliran filsafat yang membicarakan tentang hakikat segala sesuatu itu apa.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipahami, bahwa ontologi filsafat itu sejatinya membicarakan tentang hakikat objek filsafat, atau hakikat objek masing-masing cabang filsafat (struktur filsafat). Misalnya: (a) apakah hakikat objek filsafat logika itu?, atau apakah hakikat logika itu?; (b) apakah hakikat objek filsafat metafisika itu?, atau apakah hakikat metafisika itu?; (c) apakah hakikat objek filsafat kosmologi itu?, atau apakah hakikat kosmologi itu?; (d) apakah hakikat objek filsafat teologi itu?, atau apakah hakikat teologi itu?; (e) apakah hakikat objek filsafat etika itu?. Atau apakah hakikat etika itu?; (f) apakah hakikat objek filsafat estetika itu?, atau apakah apakah hakikat estetika itu?; (g) apakah hakikat objek filsafat hukum itu?, dan sebagainya. Semua contoh-contoh pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan ontologi filsafat.

C. Hakikat Epistemologi Filsafat

Epistemologi adalah cara atau metode atau prosedur dalam memperoleh pengetahuan. Jadi, hakikat epistemologi filsafat adalah ‘suatu cara atau metode atau prosedur dalam memperoleh pengetahuan filsafat yang bisa dipertanggungjawabkan’. Menurut Anton Bakker, dalam bukunya tentang ‘Metode-Metode Filsafat’ (1984) dijelaskan, bahwa dalam hal metode penelitian filsafat sering dicampuradukkan dengan metode-metode penelitian ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, ilmu sejarah, ilmu politik, ilmu psikologi, ilmu agama, ilmu pendidikan dan sebagainya, hal ini tentu kurang tepat. Untuk itu perlu ada pembedaan tentang metode dan objek formal. Menurut Bekker, pada dasarnya ada tiga model penelitian filsafat, yaitu: (a) penelitian historis-faktual; (b) penelitian lapangan (empiris); dan (c) penelitian sistematik-spekulatif.

Pertama, penelitian historis-faktual. Beberapa hal yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain:

1. Objek material dari penelitian historis-faktual adalah, pikiran seorang filosof, misalnya ide atau pandangan filosofisnya yang tertuang dalam karya-karya filsafat, atau aliran atau mazhab filsafatnya.
2. Objek formal (sasaran) dari penelitian historis-faktual, antara lain: (a) data-data berupa teori, paham, prinsip atau ajaran filsafat yang ada pada literatur filsafat karya para filosof; (b) melakukan analisis. Kritik internal-eksternal, dan evaluasi terhadap paham, teori atau mazhab atau aliran filsafat yang ada pada literatur filsafat tersebut dengan melakukan studi komparatif dengan aliran, paham, mazhab lain; dan (c) melakukan sintesa dari kajian tersebut dengan memperhatikan dari beragam sudut pandang filosof lainnya, kemudian menambahkan pikiran filosofis sendiri (memberi alternatif pemecahan secara filosofis sendiri).
3. Metode dari penelitian historis-faktual adalah, melakukan analisis dan sintesis dengan memperhatikan aspek historis, aspek struktural, aspek hermeneutik, dan metode khusus (alisisi teks).
4. Tuntutan dalam penelitian historis-faktual antara lain: (a) harus dilakukan analisis secara objektif dan jujur; (b) diperlukan kemampuan dasar dalam pemikiran filosofis; (c) mempunyai daya sintesis yang mampu menyatukan semua unsur dalam suatu konstruksi teratur; dan (d) harus menguasai bahasa asing yang sangat baik, untuk mengkaji sumber literatur aslinya (karya asli dari para filosof).

Kedua, penelitian lapangan. Beberapa hal yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain:

1. Objek material penelitian lapangan, adalah fenomena-fenomena kebudayaan pada kehidupan kelompok, baik kelompok mikro atau kelompok makro, budaya etnik, budaya bangsa. Pemilihan fenomena (gejala) tersebut difokuskan pada fenomena budaya yang mendasar dan berkaitan dengan segala aspek kehidupan (sosial, ekonomi, politik dan sebagainya).

2. Objek formal (sasaran) penelitian lapangan, antara lain: (a) data yang dicari bukan data psikhologis, sosiologis atau politis, tetapi pandangan hidup (way of life) yang menjadi orientasi hidup sehari-hari suatu kelompok; (b) dicari pandangan-pandangan hakiki, mendasar tentang hakikat dunia, hakikat manusia dan hakikat Tuhan; (c) mencari akar-akar pengalaman hidup suatu kelompok yang mempengaruhi pola hidup kelompok; (d) mensistematiskan pandangan-pandangan mendasar tentang hubungan antara dunia-manusia-Tuhan, sehingga menjadi satu struktur dan keterarahan yang menyeluruh (universal atau integral); (e) mengevaluasi hakikat pandangan hidup manusia dalam kelompok, dikaji konsistensi logisnya dan daya aksiologinya bagi hakikat hidup kelompok, kemudian dicoba dibandingkan dengan pandangan hidup lain dan visi filosofis yang lain.

3. Metode penelitian lapangan, antara lain: (a) pengumpulan data bisa melalui wawancara mendalam dan observasi partisipatif untuk menggali pandangan filosofisnya; pemilihan sampel snowball atau sampel purporsif atau sampel lain secara tepat; dipadukan dengan metode kepustakaan yang relevan; (b) pengolahan data, menggunakan analisis kualitatif; data-data lapangan diinterpretasi dan dicari isi filosofis yang tersembunyi dibalik realitas empiris; dianalisis latar belakang historis pandangan hidupnya yang mendasar; disistematiskan, dievaluasi tentang hubungan antar pandangan hidup (visi filosofisnya); dan akhirnya dimunculkan inspirasi filosofis baru dari analisis data lapangan (empiris) untuk diberi arah dan pandangan baru sebagai tawaran bagi mereka.

4. Tuntutan dari penelitian lapangan, antara lain: (a) harus ada pemahaman personal tentang sifat filosofis untuk membedakan data empiris yang bersifat politik, sosial dan psikhologis; (b) harus memiliki konsepsi yang baik tentang bidang-bidang filsafat yang utama, untuk membantu menemukan unsur-unsur filosofis yang utama dari data lapangan yang tersembunyi dibalik realitas empiris; dan (c) harus objektif dan dibutuhkan keahlian dalam melakukan metode wawancara mendalam dan observasi partisipatif.

Ketiga, penelitian sistematik-spekulatif. Beberapa hal yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain:

1. 1. Objek material, penelitian sistematik-spekulatif, adalah bahan yang akan dikaji adalah satu topik atau satu fenomena dalam hidup manusia yang sangat sentral, misalnya: hakikat kebaikan; hakikat kemerdekaan; pandangan tentang Tuhan dan sejenisnya
2. 2. Objek formal, penelitian sistematik-spekulatif, antara lain: (a) subjek atau individu yang berfilsafat; (b) mencari pemahaman terdalam dan keyakinan atau idea-idea pribadi; dan (c) membuat sintesa tentang pandangan pribadi tentang hakikat sesuatu.
3. 3. Metode, penelitian sistematik-spekulatif, antara lain: (a) menggunakan ‘metode dialog’ dengan beberapa pemikir atau filosof lain tentang hakikat sesuatu yang menjadi objek kajian. Perlu membandingkan pemikiran atau pandangan para filosof yang relevan, kemudian melakukan evaluasi dan kritik; (b) menggunakan metode (logika) dalam penalaran pribadi. Diantara contoh metode filosofis yang dapat digunakan, misalnya: bertanya mendalam, refleksi, analisis induksi dan analisis deduksi; dan (c) ada beragam metode dalam studi filsafat yang bisa dipakai, dan adanya keberagaman metode tersebut sebagai konsekwensi dari adanya beragam aliran dalam filsafat. Diantara metode yang dikenal dalam studi filsafat, antara lain: metode kritis menurut Sokrates dan Plato; metode intuitif menurut Plotinus dan Bergon; metode skolastik menurut Tomas Aquinas; metode geometris menurut Descartes; metode eksperimental menurut Hume; metode kritis-transendental menurut Kant; metode dialektika menurut Hegel, dan sebagainya.
4. 4. Tuntutan, penelitian sistematik-spekulatif antara lain: (a) diperlukan banyak informasi dari para filosof atau pemikir atau para ilmuwan di luar filosof untuk mendapatkan perbandingan sudut pandang; (b) harus memiliki pikiran filosofis yang baik; dan (c) perlu keberanian dalam mengemukakan pemikiran baru, meskipun natinya akan mendapat banyak respon atau kritikan.

Uraian tersebut di atas memperjelas konsep penting tentang hakikat epistemologi filsafat adalah:

1. Suatu cara atau metode atau prosedur dalam memperoleh pengetahuan filsafat yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
2. Cara memperoleh pengetahuan secara mendalam tentang suatu fenomena hidup adalah, melalui proses perenungan, berpikir kritis, logis, objektif, sistematis, universal dan integral.
3. Dalam melakukan kajian tentang fenomena tersebut untuk memperoleh pemahaman terdalam tentang hakikat dari segala sesuatu, harus mendasarkan pada orientasi paham atau aliran filosofis tertentu dan metode filsafat tertentu.
4. Dalam melakukan kajian filsafat untuk memahami hakikat fenomena sesuatu secara mendalam, sebaiknya menggunakan pendekatan perpaduan antara aliran satu dengan aliran yang lain, atau menggunakan perpaduan metode filsafat, agar diperoleh pemahaman secara integral tentang hakikat sesuatu.

D. Hakikat Aksiologi Filsafat

Aksiologi adalah ilmu yang membahas tentang ‘hakikat fungsi, atau manfaat filsafat bagi kehidupan dalam segala aspeknya, atau nilai pragmatis, atau aspek kemaslahatan bagi kehidupan ummat manusia’. Jadi, hakikat aksiologi filsafat, adalah ‘fungsi atau manfaat filsafat bagi kehidupan ummat manusia dalam proses kehidupan sehari-hari, untuk mencapai kualitas kehidupan dalam segala aspeknya’. Berdasarkan banyak literatur filsafat, penulis dapat mengelompokkan tentang fungsi atau kegunaan filsafat (aksiologi filsafat), menjadi dua antara lain: fungsi atau kegunaan secara umum; dan fungsi atau kegunaan secara khusus.

1. Fungsi atau kegunaan umum

Maksud dari fungsi atau kegunaan secara umum dalam mempelajari filsafat adalah, berkaitan dengan hakikat makna filsafat dalam kaitannya dengan pola aktivitas kehidupan sehari-hari ummat manusia, untuk meraih derajat keunggulan atau kualitas hidup yang paripurna (meraih hakikat kebahagiaan hidup lahir dan batin). Berkaitan dengan hal ini maka kegunaan (nilai pragmatis atau aksiologi) filsafat antara lain:

1. Dengan berfilsafat seseorang akan lebih menjadi manusia, karena dengan mempelajari filsafat seseorang akan terus melakukan perenungan diri dan menganalisis tentang hakikat jasmani dan rohani manusia secara mendalam. Dari proses perenungan yang mendalam dari berbagai aspek tersebut, maka manusia diharapkan akan mampu bertindak secara bijaksana.
2. Dengan berfilsafat seseorang akan mampu memahami makna hakikat hidup manusia dalam hubungannya: manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhannya, baik pada level kehidupan pribadi (micro) maupun level masyarakat atau bangsa (macro). Dengan berfilsafat seseorang akan mampu memberi arti terbaik, unggul dan integral terhadap makna hidupnya dihadapan sesamanya, lingkungannya dan Tuhannya, dan akan sanggup memahami keunggulan dan kelemahan diri, sehingga dapat memperkokoh kepribadian diri dimanapun dia berada.
3. Dengan berfilsafat, seseorang akan terpola (terbentuk) kerangka berpikirnya secara kritis, objektif, logis, dan sistematis serta cerdas dalam memahami segala hakikat fenomena hidup yang dia hadapi. Dengan demikian manusia akan sanggup memecahkan beragam persoalan kehidupan dengan baik dan penuh bijaksana, sehingga manusia akan sanggup meraih keunggulan kehidupan lahir dan batin dalam proses hidupnya.
4. Dengan berfilsafat manusia selalu dilatih, dididik untuk berpikir secara universal, multidimensional, komprehensif, dan mendalam. Dengan terlatihnya seseorang dalam melihat dan menganalisis hakikat segala sesuatu secara komprehensif, multidimensional dan terdalam, maka seseorang akan mampu meminimalisir kecenderungan berkembangnya mentalitas negatif, misalnya egoistis, individualistis, parsialis, primordial dan diskriminatif.
5. Belajar filsafat akan melatih seseorang untuk mampu meningkatkan kualitas berpikir secara mandiri, mampu membangun pribadi yang berkarakter, tidak mudah terpengaruh oleh faktor eksternal, tetapi disisi lain tetap mampu mengakui harkat martabat orang lain. Kualitas manusia dalam berfilsafat akan menumbuhkan mentalitas pengakuan akan keberagaman dan keunggulan orang lain. Jadi, belajar filsafat akan mendorong tumbuhnya sikap mental kompetitif secara sehat dan berkualitas ditengah kehidupan yang multikultural.
6. Belajar filsafat akan memberikan dasar-dasar semua bidang kajian pengetahuan, memberikan pandangan yang sintesis atau pemahaman akan hakikat kesatuan semua pengetahuan, dan hidup manusia akan dipimpin oleh pengetahuan yang baik. Karena berpikir filsafat akan selalu mendorong seseorang untuk membangun keterbukaan berpikir, ketelitian dan analisis terdalam, dan selalu terdorong untuk melakukan inovasi berdasarkan penemuan terbaru (invention) (Johnstone,H.W. 1968; Tafsir, 2004; Sudiarja, dkk. 2006).

1. Fungsi atau kegunaan khusus

Maksud dari fungsi atau kegunaan filsafat secara khusus ini adalah bersentuhan dengan fungsi filsafat sebagai ‘induknya ilmu pengetahuan’ atau filsafat sebagai ‘orientasi’ pengembangan semua disiplin ilmu pengetahuan (sciences), baik ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences), ilmu-ilmu pengetahuan sosial (social sciences) maupun studi humaniora (study humanity).

Dalam konteks pengertian tersebut di atas, maka memahami kegunaan filsafat secara khusus adalah ‘apa yang menjadi nilai pragmatis’ atau nilai fungsional (aksiologi) dari cabang-cabang ilmu filsafat bagi kehidupan ummat manusia, Misalnya: (a) apa hakikat fungsi atau kegunaan filsafat logika bagi kehidupan ummat manusia?; (b) apa hakikat fungsi atau kegunaan filsafat agama bagi kehidupan ummat manusia; (c) apa hakikat fungsi atau kegunaan filsafat ilmu pengetahuan bagi kehidupan ummat manusia; (d) apa hakikat fungsi atau kegunaan filsafat hukum bagi kehidupan ummat manusia; (e) apa hakikat fungsi atau kegunaan filsafat pendidikan bagi kehidupan ummat manusia; (f) apa hakikat fungsi atau kegunaan filsafat politik bagi kehidupan ummat manusia; (g) apa hakikat fungsi atau kegunaan filsafat etika bagi kehidupan ummat manusia; dan sebagainya (Sudarsono. 2001; Hanafi, H., 2004; Tafsir, A., 2007). Jadi, maksud dari fungsi khusus filsafat adalah fungsi yang melekat pada masing-masing cabang filsafat, yang dapat bermanfaat bagi kehidupan ummat manusia.

E. Hakikat Manusia dan Kehidupan

Dalam beragam literatur ilmu, filsafat dan agama, berkaitan dengan status dan peranan manusia dalam hidup, maka semuanya meletakkan kedudukan manusia sebagai salah satu makhluk paling berpengaruh dalam mewarnai segala aspek kehidupan di jagat raya ini, bahkan manusia dengan penguasaan teknologi mutakhirnya mampu berperan untuk mengeksploitasi bumi dan menjelajah angkasa luar dalam rangka atau misi research pengembangan ilmu pengetahuan yang juga diorientasikan untuk kemanfaatan kehidupan manusia dalam berbagai aspek.

Keberadaan manusia dalam kehidupan ini pada hakikatnya mempunyai banyak kecenderungan atau kemampuan sebagai: (a) makhluk yang cenderung untuk mengenal dan dekat kepada Tuhan (sense of religious); (b) makhluk yang cinta dan sanggup berbuat dan berperilaku beradab (sense of civilization); (c) makhluk yang senang dan mampu untuk mendidik dan dididik (sense of educable); (d) makhluk yang gemar untuk mengkaji atau meneliti sesuatu (sense of research); (e) makhluk yang mampu berkarya dan berbudaya yang kompleks (sense of culture); (f) makhluk yang cinta dan mampu menjalin kerjasama dengan sesamanya (sense of cooperation), dan masih banyak lagi predikat lainnya.

Berdasarkan uraian singkat tentang beragam status dan peranan manusia tersebut di atas, maka beberapa hal yang perlu direnungkan oleh manusia dalam memahami hakikat manusia dan kehidupannya antara lain:

1. Agar manusia mempunyai makna hidup dan dapat meraih kebahagiaan hidup sejati, maka manusia harus dekat kepada Tuhannya, membangun kualitas pemahaman dan pengamalan nilai-nilai keagamaan.

Beberapa hal yang perlu direnungkan tentang pentingnya agama bagi proses kehidupan manusia antara lain:

1. Manusia dengan segala kemampuan ilmu yang dimiliki tetap tidak akan pernah mampu memahami hakikat makna dibalik realitas fenomena kehidupan ini, oleh karena itu manusia perlu beragama dengan baik (kualitas pemahaman syariatnya dan pengamalannya), agar diperoleh keseimbangan dalam memaknai realitas dan dibalik realitas.
2. Manusia dibekali dengan kemampuan pikir dan jiwa (cipta, rasa dan karsa), agar mampu memanfaatkan potensi nalar dan jiwa tersebut dengan baik untuk meraih kebahagiaan (keseimbangn fisiologis dan psikhologis), oleh karena itu manusia harus meningkatkan kualitas ilmu dan imannya selama proses hidupnya. Hadirnya kualitas iman dan ilmu seseorang secara seimbang, dan saling mengisi akan mampu membentuk kepribadian dan kualitas pola hidup unggul.
3. Manusia yang tidak mengenal agama, akan cenderung lebih dekat pada perbuatan-perbuatan yang tidak baik, yaitu: (1) orang yang tidak bergama akan mengalami kelaparan rohani sepanjang usia hidupnya, contoh, sulit meraih ketenangan hidup; suka melakukan tindakan aniaya (dhalim) untuk dirinya atau orang lain; (2) orang yang tidak beragama dipastikan akan mudah mengalami kekacauan berpikir, dan perbuatan manusia cenderung eror (biadab), karena pola berpikirnya kacau, tidak mampu memadukan hakikat materi dan imaterial (spiritual); dan (3) orang yang tidak beragama dipastikan harkat dan martabatnya akan jatuh, baik dimata sesamanya apalagi dihadapan Tuhan. Orang yang tidak beragama hidupnya akan dikuasai oleh hawa nafsu negatif (Quamar, J. 1972; Ghulsyani,M. 1986; Sudiarja, dkk. 2006).
4. Dengan kemampuan membangun kualitas cipta, rasa, karsa; kualitas berfilsafat; dan kualitas spiritual, maka setiap manusia akan mampu membangun seluruh pola perilakunya dengan baik atau berkualitas. Manusia punya misi utama dalam hidupnya yaitu membangun ‘peradaban dalam segala aspek kehidupan’. Menurut teori Challenge and response oleh A. Tynbee, bahwa ‘hidup ini selalu dihadapkan pada tantangan (Challenge) dan manusia harus menjawab (response)’, kemampuan memberikan jawaban secara baik (berkualitas) dalam berbagai aspek kehidupan dengan bekal kualitas etika, ilmu, filsafat dan agama akan menghasilkan peradaban (civilization) hidup (Effendi, S.,ed. 1992; Sztompka, P. 1993). Agar manusia mampu menghadapi segala macam tantangan hidup secara baik, manusia harus memberdayakan secara maksimal potensi intelektual, emosional dan spiritualnya secara seimbang, dinamik dan visioner.

Diantara ciri-ciri sikap mental manusia yang akan mampu membangun pola perilaku beradab (civilization), antara lain:

1. Mampu membangun sikap mental disiplin nurani yang tinggi, dan semuanya atas dasar keikhlasan dan kedekatan kepada Tuhan (mono motivation).
2. Cinta pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini, dan berusaha untuk memanfaatkan kemajuan Iptek untuk kemaslakhatan (kebaikan) hidup ummat manusia.
3. Selalu siap menjalin kerjasama dengan pihak lain di atas prinsip demokratis, humanitas dan pluralitas.
4. Selalu tidak puas terhadap karya budaya yang telah ada, atau selalu membaharui karyanya (inovator).
5. Membangun sikap mental kompetitor dan dinamik dalam bingkai profesional
6. Menghargai harkat dan martabat orang lain atau tolerir.
7. Menunjung tinggi prinsip atau nilai, bahwa upah harus sesuai dengan karya.
8. Selalu berorientasi waktu ke masa depan (visioner).
9. Setiap tindakan selalu didasarkan pada perencanaan yang matang (Effendi, S.,ed. 1992; Mutahhari, M. 1997).
10. Agar setiap individu mampu memperankan diri sebagai pendidik dan juga selalu bersedia untuk dididik oleh kehidupan, maka seharusnya setiap individu membangun prinsip-prinsip hidup, antara lain:
1. Sepanjang usia hidup, manusia harus selalu konsisten untuk melakukan pembelajaran budaya (internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi).
2. Selama proses pembelajaran tersebut manusia harus menegakkan prinsip: yaitu: learning to know (belajar mengetahui), learning to do (belajar berbuat), learning to gether (belajar hidup bersama), dan learning to be (belajar menjadi seseorang) yang paripurna (unggul). Pada hakikatnya sepanjang usia manusia dari lahir sampai tua dan meninggal, siapapun dia tetap harus melakukan sosialisasi, internalisasi, dan enkulturasi nilai-norma kehidupan dengan tetap menegakkan prinsip: learning to know; learning to do; learning to gether; dan learning to be. Prinsip pembelajaran tersebut sejatinya bukan hanya berlaku bagi anak-anak usia balita sampai remaja, tetapi sepanjang usia hidup manusia. Jadi, selama proses mendidik dan dididik oleh kehidupan, manusia harus tetap menjaga kualitas intelektual emosional dan spritualnya, untuk mewujudkan dua hal tersebut dan kesemuanya harus didasarkan oleh prinsip mono motivation atau keikhlasan tunggal semata kepada Tuhan Yang Maha Segalanya.
3. Agar setiap individu mampu membangun kualitas sikap mental yang gemar untuk mengkaji atau meneliti sesuatu (sense of research), maka setiap individu harus membangun prinsip sebagai berikut:
1. Hanya dengan mengusai ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi, manusia akan mampu meraih banyak kenikmatan dan keunggulan diberbagai bidang kehidupan.
2. Hanya dengan berbekal kualitas iman dan penguasaan Iptek, maka kehidupan manusia akan meraih derajat yang tinggi dihadapan Tuhan dan sesamanya.
3. Hanya dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia akan mampu memanfaatkan atau melakukan eksplorasi terhadap sumber daya alam untuk kepentingan kesejahteraan manusia; dan (d) hanya dengan menguasai Iptek dan dipadu dengan kualitas keagamaan seseorang akan mampu menciptakan peradaban hidup (Sztompka, P. 1993; Tim Redaksi Driyarkara. 1993; Mutahhari, M. 1997). Jadi, ketika prinsip pertama sampai keempat tersebut terealisasi dalam proses kehidupan manusia, maka kehidupan manusia akan bermakna, dan itulah sejatinya hakikat misi kehidupan manusia di dunia ini, setiap manusia harus menyadarinya dengan sungguh-sungguh. Kualitas manusia terhadap ilmu pengetahuan; etika kehidupan dan pemahaman-pengamalan nilai spiritual adalah syarat mutlak untuk meraih makna hidup yang paripurna.
4. Manusia dalam memahami ‘hakikat kehidupan manusia’ dalam kaitannya dengan persoalan filsafat hidup dan keagamaan, seharusnya manusia tidak berpedoman (berorientasi) pada realitas historis atau realitas dari aneka tingkah laku manusia sehari-hari dalam kelompok, karena praktik-praktik pola perilaku manusia sehari-hari ada yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip science, niai-nilai filosofis dan nilai-nilai keagamaan. Oleh karena itu, menilai hakikat baik dan buruk, ideal tidak ideal, semestinya atau seharusnya tetap konsisten pada prinsip-prinsip logika ilmiah, nilai-nilai filosofis dan nilai-nilai keagamaan, tidak berdasarkan praktik-praktik tindakan individu dalam kehidupan sehari-hari. Contoh, untuk menilai masyarakat atau bangsa Indonesia itu baik atau tidak baik, tidak bisa didasarkan oleh maraknya korupsi di masyarakat, maraknya kekerasan, atau perkelahian antar anggota masyarakat, tetapi harus didasarkan pada nilai-norma atau sistem pengendalian sosial yang telah berlaku di masyarakat atau bangsa Indonesia (Pancasila dan UUD 1945).

F. Kesimpulan

Uraian singkat tentang hakikat filsafat tersebut di atas, dapat penulis simpulkan sebagai berikut: Pertama, beberapa konsep penting tentang dasar kefilsafatan yang perlu dipahami adalah menyangkut: Pengertian filsafat; Ruang lingkup atau cabang-cabang filsafat; Kegunaan atau manfaat mempelajari filsafat; Fungsi filsafat bagi kehidupan; Beberapa aliran filsafat; Filsafat sebagai suatu pendekatan; Metode kefilsafatan; dan Etika.

Kedua, hakikat ontologi filsafat adalah membicarakan tentang hakikat objek filsafat, atau hakikat tentang ‘apa’ filsafat itu, atau hakikat filsafat itu sendiri, atau hakikat ‘segala sesuatu’, atau struktur filsafat. Ontologi filsafat sejatinya menyangkut semua hakikat objek filsafat, sehingga meliputi pula jenis atau cabang filsafat, misalnya: Hakikat objek filsafat logika; Hakikat objek filsafat metafisika; Hakikat objek filsafat teologi (filsafat agama); Hakikat objek filsafat etika; Hakikat objek filsafat estetika; Hakikat objek filsafat hukum; Hakikat objek filsafat pendidikan; Hakikat objek filsafat sejarah; dan sebagainya.

Ketiga, hakikat epistemologi filsafat adalah suatu cara atau metode atau prosedur dalam memperoleh pengetahuan filsafat yang bisa dipertanggung-jawabkan. Jadi, hakikat epistemologi filsafat, yaitu: (a) suatu cara atau metode atau prosedur dalam memperoleh pengetahuan filsafat yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya; (b) cara memperoleh pengetahuan secara mendalam tentang suatu fenomena hidup adalah, melalui proses perenungan, berpikir kritis, logis, objektif, sistematis, universal dan integral; (c) dalam melakukan kajian tentang fenomena tersebut untuk memperoleh pemahaman terdalam tentang hakikat dari segala sesuatu, harus mendasarkan pada orientasi paham atau aliran filosofis tertentu dan metode filsafat tertentu; (d) dalam melakukan kajian filsafat untuk memahami hakikat fenomena sesuatu secara mendalam, sebaiknya menggunakan pendekatan perpaduan antara aliran satu dengan aliran yang lain, atau menggunakan perpaduan metode filsafat, agar diperoleh pemahaman secara integral tentang hakikat sesuatu; dan (e) hakikat epistemologi filsafat tentu berbeda dengan hakikat epistemologi ilmu pengetahuan..

Keempat, hakikat aksiologi filsafat adalah fungsi atau manfaat filsafat bagi kehidupan ummat manusia dalam proses kehidupan sehari-hari, untuk mencapai kualitas kehidupan dalam segala aspeknya. Berdasarkan banyak literatur filsafat, dapat dikelompokkan tentang fungsi atau kegunaan filsafat (aksiologi filsafat), menjadi dua antara lain: fungsi atau kegunaan secara umum; dan fungsi atau kegunaan secara khusus.

Kelima, hakikat manusia dan kehidupan adalah terletak pada bagaimana kondisi kualitas dalam penguasaan: (a) ilmu pengetahuan dan teknologinya; (b) kualitas membangun etika kehidupannya; dan (c) kualitas pemahaman dan pengamalan nilai-nilai spiritualnya. Ketika ketiga aspek tersebut runtuh, maka runtuhlah seluruh sendi kehidupan manusia (hidup manusia menjadi biadab). Demikian juga sebaliknya, ketika ketiga aspek tersebut unggul pada setiap diri manusia, dan ketiganya menjalin keterpaduan fungsi dalam segala aspek kehidupan, maka warna kehidupan ini akan tampil dalam bentuk keberadaban (civilization). Jadi, ketiga aspek (ilmu, kepribadian, dan agama) merupakan kesatuan sistem atau merupakan pilar kunci bagi kehidupan manusia menuju keunggulan hidup. Manusia dan kehidupannya tidak akan mencapai tingkat peradaban hidup di berbagai bidang ketika kualitas ilmu, kepribadian dan agamanya rendah.

G. Daftar Pustaka

Ankersmit. 1987. Denken over geschiedenis. Een overzicht van moderne geschiedfilosofische opvattingen. Dick Hartoko (penerjemah). Refleksi tentang Sejarah. Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. 1987.PT. Gramdeia. Jakarta.

Bakker, A. 1984. Metode Metode Filsafat. Ghalia Indonesia. Jakarta

_____. 1992. Ontologi Metafisika Umum. Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan. Kanisius. Yogyakarta. .

Beerling. 1966. Filsafat Dewasa ini. Penterjemah Hasan Amin. PT. Balai Pustaka. Djakarta.

Beerling, dkk., 2003. Inleiding tot de Weteinschapsleer. Penerjemah, Soemargono. Pengantar Filsafat Ilmu. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta.

Berry, D. 1981. Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, Team LPPS (penerjemah) 1998. CV. Rajawali. Jakarta.

Drijarkara, N. 1977. Sebuah Bunga Rampai Dari Sudut Filsafat. Yayasan Kanisius. Yogyakarta.

_____, 1978. Percikan Filsafat. PT. Pembangunan. Jakarta.

Durkheim, E. 1974. Sociology and Philosophy, Soejono D. (penerjemah). 1991. Erlangga. Jakarta.

Effendi, S.,ed. 1992. Membangun Martabat Manusia, Peranan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan, Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Gazalba, S. 1973. Sistematika Filsafat, Jilid 1, 2 dan 3.Bulan Bintang. Jakarta.

Ghulsyani,M. 1986. The Holy Quran and the Sciences of Nature. Penerjemah Agus Efendi. Filsafat Sains menurut Al Qur’an. 1994. Mizan. Bandung.

Hanafi, H., 2004. Dirasat Islamiyyah. Penerjemah Faqih. Islamologi 2. Dari Rasionalisme ke Empirisme. LkiS.Yogyakarta.

Horton, P. and Hunt, C.L. 1984. Sociology, Sixth Edition. Mc. Graw-Hill Book Company. London.

Johnstone,H.W. 1968. What Is Philosophy?. New York: The Ronald Press Company.

Kattsoff, L.O., 1996. Elements of Philosophy. Soemargono, Penerjemah. Pengantar Filsafat. Tiara Wacana Yogyakarta.

Keraf, S. dan Dua, M., 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis, Kanisius. Yogyakarta

Koentjaraningrat. 1989. Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru. Jakarta.

Langeved. 1961. Menudju ke Pemikiran Filsafat. PT. Pembangunan. Djakarta

Mangunhardjana, 1997. Isme-Isme dari A sampai Z. Pustaka Filsafat. Kanisius. Yogyakarta.

Mutahhari, M. 1986. Society and History, Mashem (penerjemah), Masyarakat dan Sejarah. Kritik Islam atas Marxisme dan Teori llainnya. 1986. Mizan. Bandung.

_____, 2002. Man and Universe. Penerjemah Ilyas Hasan. Manusia dan Alam Semesta. Lentera. Jakarta.

Nasution.H. 1975. Filsafat Agama. Bulan Bintang. Jakarta

Praja. J.S. 2005. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Prenada Media. Jakarta.

Quamar, J. 1972. God’s Existence and Contemporary Science. Penerjemah Lembaga Agama ITB. Bandung.

Rossides, D. W. 1978. The History and Nature of Sociological Theory, Houghton Mifflin Comp. Boston, Illinois.

Sudiarja, dkk. 2006. Karya Lengkap Driyarkara. Esai-Esai Filsafat Pemikir Yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. PT. Gramedia. Jakarta

Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Kanisius. Yogyakarta.

Sunoto, 1982. Mengenal Filsafat Pancasila. Fakultas Ekonomi. UII. Yogyakarta.

Sztompka, P. 1993. The Sociology of Social Change, Alimandan (penerjemah). Sosiologi Perubahan Sosial. 2004. Prenada Media. Jakarta.

Tafsir, A. 2003. Filsafat Umum. Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

_____. 2007. Filsafat Ilmu. Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Tim Dosen Filsafat. 2002. Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Fakultas Filsafat UGM. Liberty. Yogyakarta.

Wibisono, K. 1983. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Gadjah Mada Univ. Press. Yogyakarta.

Wibisono, Y. 2005. Metode Statistik, Gadjah Mada University press. Yogyakarta

0 comments:

 

blogger templates | Make Money Online