11 Desember, 2009

Kontroversi Haramnya Golput

Fenomena golput selalu ramai dibicarakan menjelang pesta demokrasi setiap 5 tahun sekali. Tahun ini pun, tahun di mana pesta demokrasi akan kembali digelar, fenomena golput mulai marak menjadi perbincangan hangat di berbagagi media di Indonesia terlebih lagi setelah dikeluarkannya fatwa haram golput oleh MUI. Berbagai diskusi digelar di berbagai channel dalam merespon fatwa yang dikeluarkan oleh MUI.

Faktanya angka golput dari pemilu ke pemilu semakin meningkat. Pemilu 1955 jumlah partisipasinya lebih dari 90 %. Di awal reformasi, partisipasi turun menjadi sekitar 86 %. Bahkan pada pemilu 2004, Untuk pertama kalinya, sepanjang sejarah pemilu di Indonesia, jumlah golput mencapai lebih dari 20 persen. Setelah otonomi daerah diberlakukan dan pilkada pun digelar, angka golput tidak tanggung-tanggung jumlahnya. Menurut catatan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), dari 26 Pemilu kepala daerah tingkat provinsi yang berlangsung sejak 2005 hingga 2008, 13 pemilu gubernur justru ‘dimenangi’ oleh golput. Artinya, jumlah dukungan suara bagi gubernur pemenang Pilkada kalah ketimbang jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Yaa…golput sekarang mulai menjadi tren pada setiap pemilihan, baik pusat maupun daerah.

Sekarang pertanyaannya adalah mengapa banyak pemilih yang golput dan apakah yang mendasarinya. Secara umum definisi golput adalah sekelompok orang yang tidak menggunakan hak pilihnya di dalam sebuah pemilihan secara sengaja dan terang-terangan. Ada banyak alasan yang mendasari seseorang untuk golput, baik karena alasan teknis (admisnitratif) maupun non teknis (ideologis). Alasan teknis (administratif) misalnya : buruknya pendataan calon pemilih, sehingga ada seseorang yang seharusnya sudah memilki hak suara tetapi belum tercatat sebagi pemilih. Alasan non teknis (ideologis) misalnya pemilih sudah kehilangan kepercayaan terhadap calon-calon yang akan dipilih, serta alasan-alasan ideologis lainnya. Bahkan banyak pula pemilih yang apatis, yang merasa dengan mimilihpun tidak akan terjadi perubahan apa-apa.

Lantas apakah golput dapat dibenarkan? Ketika kita merujuk pada fatwa yang akhir januari lalu telah dikeluarkan melalui forum ijtima’ ulama III MUI, pasti tindakan golput tidak dapat dibenarkan, mengingat fatwa yang dikeluarkan adalah Golput Haram. Haram artinya adalah ketika kita melaksanakannya berarti kita berdosa. Sehingga MUI dengan tegas memandang bahwa Golput tidak dapat dibenarkan.

Fatwa haram golput ini munurut ketua MUI KH Ma’ruf Amin dalam suatu diskusi seputar fatwa MUI di salah satu channel TV beberapa pekan yang lalu, karena adanya permintaan dari masyarkat sekaligus menanggap pro-kontra golput. Dengan kata lain hal yang mendasari MUI mengeluarkan fatwa tersebut adalah semakin tingginya angka golput dari pemilu ke pemilu akan menyebabkan suatu kepempinan akan kehilangan legitimasinya, padahal kepemimpinan dalam Islam adalah hal yang sangat penting untuk kemaslahatan umat. Ya memang kepemimpinan dalam Islam adalah seseuatu hal yang penting tapi apakah salah ketika masyarakat sudah apatis/skeptis terhadap politisi, pejabat atau penguasa yang jelas-jelas eksistensi mereka tidak korelatif dengan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat? Apakah salah ketika kita tidak memilih karena memang tidak ada calon yang pantas untuk dipilih? Apakah salah ketika tidak memilih karena sistem yang diterapkan oleh sang pemimpin bukan suatu sistem yang benar? Menurut Imam al-gazhali, baik buruknya suatu masyarakat atau Negara ditentukan oleh dua pilar, pemimpin dan sistem yang dijalankan. Pemimpin baik namun ketika sistemnya buruk maka tidak akan mengubah keadaan secara mendasar. Sebaliknya sistem baik namun pemimpin buruk, juga akan membawa kegagalan. Jadi kita membutuhkan dua-duanya. Menurut pandangan penulis, sebaik apapun personal pemimpin yang memimpin negeri ini tidak akan membawa peruabahan apa-apa ketika sistem yang dijalankan masih seperti sekarang. Jadi tidak adanya salahnya ketika kita golput karena tidak ada pemimpin yang mampu merubah sistem yang ada sekarang. Pemimpin yang justru akan melangengkan sistem sekuler yang ada sekarang buat apa dipilih, toh juga tidak akan membawa perubahan apa-apa (karena sistem yang akan dipakaipun sistem yang sekuler, dimana sudah terbukti bukannya mensejahterakan rakyat malah semakin menyengsarakan rakyat).

MUI pada akhir tahun 2005 lalu, telah mengeluarkan fatwa tentang haramnya SIPILIS (Sekulirisme, Pluralisme, Liberalisme), maka memimpin berdasarkan sekulerisme juga seharusnya diharamkan. Karenanya memilih pemimpin yang akan memimpin dengan sekulerisme juga seharusnya diharamkan. Hal ini memperlihatkan ketidak sinkronan fatwa haramnya golput dengan fatwa yang dikeluarkan beberapa tahun yang lalu.

Merujuk pada konstitusi yang ada sekarang, golputpun bukan sesuatu yang melanggar konstitusi. Dalam UU pemilu jelas dipaparkan bahwa memilih adalah hak bukan suatu kewajiban. Jadi tidak ada salahnya ketika kita tidak menggunakan hak memilih kita. Mengutip perkataan Eko Prasetyo (Ketua Pusham UII) “tidak memilih adalah suatu pilihan, dan itu berarti kita telah menggunakan hak pilih kita”. Tidak memilih bukan berarti tidak menginginkan perubahan, justru dengan tidak memilih adalah sebagai wujud inginnya perubahan yang lebih besar.

Satu hal yang ingin penulis tekankan, terlepas pro-kontra fatwa MUI, jangan sampai fatwa tersebut dijadikan sumber konflik di kalangan masyarakat. Jika ada perbedaan pendapat sebaiknya didiskusikan secara ma’ruf dengan mengedepankan argument bukan emosi semata.

0 comments:

 

blogger templates | Make Money Online