11 Desember, 2009

Cak Nur; Cendekiawan yang Rendah Hati



Ketertarikan kita kepada seseorang kadang begitu anehnya. Tak jarang pula hal tersebut berawal dari ketidaksukaan kita kepada orang itu. Dan ketertarikan jenis inilah yang aku rasakan ketika mengenal Nurcholish Madjid (Cak Nur). Semenjak aku masih bersekolah di SMA, sosok yang satu ini memang sudah kukenal. Aku lupa persisnya ketika pertama kali mengenal Cak Nur. Mungkin bisa jadi dari koran-koran yang pernah kubaca, atau mungkin juga dari pemberitaan televisi. Apalagi di masa-masa hampir tumbangnya rezim Orde Baru, seingatku Cak Nur begitu seringnya muncul di media massa sebagai tokoh nasional yang sering mengeluarkan pendapat berkenaan dengan masa depan Indonesia yang sedang berada di ambang kehancuran ketika itu.

Aku sering bertanya-tanya pada diriku sendiri ketika itu, siapa Cak Nur ini sebenarnya? Begitu pentingkah dirinya, sehingga ia sering dimintai pendapat mengenai bangsa ini? Apalagi yang sering kudengar ketika itu, bahwa Cak Nur sering mengeluarkan pendapat yang kontroversial mengenai Islam, yang ini semakin menambah ketidaksukaanku kepada tokoh yang satu ini. Begitulah perkenalanku kepada Cak Nur, hingga di saat lain, ketika keadaan berkata lain. Tokoh yang tidak aku sukai ini lambat laun kemudian menyita perhatianku, hingga ia menjadi salah seorang tokoh nasional yang aku kagumi.

Kampus tempatku menuntut ilmu seakan-akan memberikanku ruang yang begitu luas untuk mengenal lebih jauh sosok yang satu ini. Setelah membaca beberapa buku yang ditulisnya, aku menjadi semakin mengenal Cak Nur. Pemikiran-pemikirannya memberikan pencerahan bagiku. Konsep-konsep Islam yang selama ini telah dikenal oleh Umat Islam, tapi melalui Cak Nur, konsep-konsep tersebut kembali diulas, seakan-akan aku kembali lagi dari awal mengenal Islam yang telah kuanut semenjak lahir.

Ulasan-ulasannya tersebut pada satu sisi begitu sederhana, tapi memberikan pemahaman yang baru bagiku. Cak Nur mendedahkannya dari sisi yang lain, yang mungkin selama ini tak terlalu menjadi perhatian dari para penceramah agama yang biasa aku dengar di masjid ketika Shalat Jum'at. Sebut saja misalkan konsep syari'ah, jihad, syirik, keadilan, dan konsep-konsep lainnya yang seakan-akan selama ini sudah kuketahui, karena aku adalah Umat Islam. Tapi setelah membaca berbagai pemikirannya, seakan-akan aku baru mengetahui ajaran agama yang kuanut ini. Pemikirannya juga memperlihatkan kepadaku sisi yang lain dari Islam, yaitu Islam sebagai agama yang damai dan rahmatan lil alamin.

Kekaguman kepada Cak Nur juga telah membawaku untuk beraktivitas di organisasi mahasiswa yang dahulunya pernah dipimpin oleh Cak Nur, yaitu HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Di organisasi ini semakin memberikanku ruang yang begitu luas untuk mendalami lebih jauh pemikiran-pemikiran Cak Nur. Apalagi belakangan setelah semakin intens bergelut di HMI, barulah kuketahui, bahwa beliau adalah perumus ideologi organisasi mahasiswa Islam ini. Begitu mengagumkan juga, karena ideologi tersebut dirumuskannya ketika ia masih pemuda sepertiku.

Menurutku, beliau adalah sosok yang begitu rendah hati dan tulus. Ia tidak lantas menggurui, walaupun ilmu dan pemahamannya begitu mendalam. Ungkapan-ungkapannya juga tidak cenderung untuk melecehkan orang atau aliran yang tak sepaham dengannya. Beliau juga tidak mengeluarkan kata-kata pedas ketika mengkritisi sesuatu yang tidak disetujuinya, cenderung tidak tendensius dan tidak pula menghakimi, melainkan ia selalu berkata santun. Kiranya jarang sekali ditemui seorang intelektual yang seperti beliau. Ia bukan hanya dihormati oleh kawan, juga disegani oleh orang-orang yang berseberangan pendapat dengannya. Hal ini mungkin karena kharisma intelektualnya juga sejalan dengan akhlaknya yang luhur, baik ketika menulis, berkata, bahkan ketika bertindak.

Melalui tulisannya, Cak Nur tak jarang mengingatkan untuk tidak mengkultuskan seseorang. Semoga juga kekagumanku kepadanya tidak terjerumus kepada pengkultusan yang sering ia wanti-wanti untuk dihindari itu. Dan memang selayaknya kita menghargai Cak Nur karena nilai-nilai kemanusiaannya yang begitu tinggi. Cak Nur hanya manusia biasa, penghargaan kepadanya tak lebih karena ia telah memberikan kontribusi yang begitu besar kepada umat dan bangsa ini. Sumbangsih positif dari pemikirannya juga sudah sepatutnya untuk diapresiasi dengan baik. Terlepas dari itu, pemikirannya juga tak menutup kemungkinan untuk dikritisi. Dan aku yakin, begitu pulalah yang diinginkan oleh Cak Nur, bahwa generasi kini jangan hanya membeo kepada pemikiran yang telah ia lontarkan.

Cak Nur telah mengukir sejarahnya yang indah dan menawan di atas lontar kehidupan dengan tinta emas yang berkilauan. Generasi kini tentunya harus melakukan pencapaian-pencapaian yang lebih dari itu. Bukan hanya sekedar membeo, tapi melakukan apresiasi kreatif dan kritis terhadap khazanah intelektual yang telah dipersembahkannya. Sehingga dari apresiasi tersebut akan memunculkan inovasi terbaru yang lebih berarti untuk kehidupan umat dan bangsa ini di masa kini dan akan datang. Jika Cak Nur adalah pendaki yang telah mencapai puncaknya, maka kita tentunya tak ingin hanya menatap Cak Nur dari kejauhan sembari mengelu-elukan kebesarannya. Lebih tragis lagi jika Cak Nur kemudian diberhalakan, serta pemikirannya didewa-dewakan. Hingga kemudian generasi penerusnya tak lebih hanyalah menjadi generasi yang tenggelam dalam kejumudan.

0 comments:

 

blogger templates | Make Money Online