11 Desember, 2009

Ada Kehidupan Setelah Kematian...

Kita telah pahami, Islam memandang kematian sebagai suatu realita. Satu tahapan yang pasti akan dilewati setiap manusia. Ketika kematian sudah datang tak ada yang sanggup menolaknya. Islam juga mengajarkan bahwa kematian bukanlah hal yang harus ditakuti, karena itu hanya akan melahirkan kelemahan diri. Ajaran ini seolah-olah terbalik dengan logika teori Darwin tentang ”Seleksi Alam“, namun sebenarnya tidak demikian. Dengan memahami hakekat kematian, agama telah memberi perangkat untuk ”mempertahankan hidup“, yaitu dengan tidak takut mati. Bagaimana sebuah kematian justru merupakan perangkat pertahanan hidup ?

Semua ideologi yg ada di dunia selalu punya konsep tentang surga. Istilahnya bermacam-macam: nirwana, eden, masyarakat tanpa kelas, kehidupan idealis, dsb. Prinsipnya semua menggambarkan tujuan ideal perjalanan manusia. Dalam mencapai tujuan “surga” itu, para “nabi” pemikir ideologi tsb merumuskan jalan-2 ke arah masyarakat yg mereka idealkan. Ajaran atau ideologi itu kemudian disebar luaskan. Seiring berjalannya waktu, para pengikutnya menjadikan ajaran atau ideologi itu sbg hukum kemasyarakatan.

Sayang, ketika sudah sekian banyak bermunculan gambaran tentang “surga-surga”, kita tidak mendapat penjelasan yg lengkap tentang kematian. Ideologi yg hanya dilandasi materialisme memandang kematian sekedar peristiwa rusak dan berhentinya system kerja tubuh. Dia tidak mengenal kehidupan paska kematian. Jangan heran, kalo kemudian konsep mereka tentang “surga” hanya dalam konteks dunia secara materiil saja. Demikian pula ukuran-ukuran untuk mencapai kondisi masyarakat ideal itu hanya bersifat material saja. Sedangkan kematian hanya diletakan dalam kerangka kekalahan dan pengorbanan dengan logika “benefit and cost”.

Berbeda dengan ajaran agama. Agama menempatkan surga sebagai kehidupan setelah kematian. Oleh karena itu, bagi kalangan agamawan, surga hanya bisa didapat setelah melewati tahapan mati. Jadi kematian adalah merupakan ”jembatan” manusia dari kehidupan duniawi ke kehidupan surgawi.

Namun, realitanya justru terbalik ! Banyak agamawan terjebak gambaran surga dengan bentuk-bentuk materialnya yg stagnant bagaikan berhala. Jangan heran, kalo kemudian banyak agamawan yg mengajarkan jalan pencapaian surga justru sbg turunan dari berhala itu. Pembakuan-pembakuan jalan yg berujud standart-standart material, yaitu KUANTITAS (jumlah) ibadah ritual maupun sosial sbg ukuran kesalehan. Dan bukannya mengejar KUALITAS (mutu).

Lihatlah praktek zakat di masyarakat ! Begitu melimpah zakat yg terkumpul namun tidak memiliki sense of crisis sama sekali. Ketika malam takbiran kaum muslim berbondong-bondong membagikan zakat. Namun kaum miskin yg menerima zakat tdk menggunakannya utk mengentaskan diri dari kemiskinan. Sehingga selama ini zakat justru ditempatkan sbg ”pendukung budaya glamour“ yg malah mempertegas perbedaan kelas si kaya dan si miskin ! ini adalah contoh pemberhalaan jalan menuju surga.

Akibat jebakan berhala di atas, hilanglah konsep ”Rahmatan lil alamin“. Tandanya adalah tidak dirujukannya kembali segala bentuk peribadatan sebagai hakekat penyelamatan manusia. Umat dan para ulama pun lebih mementingkan pelaksanaan hukum material agama, ketimbang melaksanakan amanah penyelamatan manusia. Atau setidaknya menutup mata akan kebuntuan jalan keberagamaan dgn realita yg harus diselamatkan. Mereka mematerialkan dunia paska kematian utk ditawar-tawarkan pada manusia yg ingin selamat. Bahkan memaksakannya dgn kekerasan yg justru bertentangan dari prinsip penyelamatan manusia !

Pengetahuan apapun yg didapat dari ketekunan belajar di dunia adalah pengetahuan badaniah, sedang pengetahuan yang bangkit dari pandangan setelah kematian adalah pengetahuan religius ( ”Fihi Ma Fihi“ – Jalalludin Rumi )

Ajaran tasawuf menempatkan dunia setelah kematian sbg pembangkit pengetahuan religius. Hidup di dunia hanyalah sekedar ”mampir“, sedangkan hidup setelah mati adalah kehidupan yang sejati. Barangsiapa bisa membangkitkan pengetahuan dari idealitas tersebut, akan lahir dalam dirinya pengetahuan religius. Mereka-mereka itulah yg mampu menangkap pesan-pesan keagamaan sebagai inspirasi dalam menyelesaikan berbagai persoalan duniawi. Bukan sekedar memahami ajaran agama sebagai Perintah dan Larangan semata, namun menjadikannya sebagai inspirasi penyelamatan manusia. Karena begitulah sesungguhnya religiusitas memberi makna dalam kehidupan: sebatas pemberi inspirasi.

Bangkitlah, Saudaraku Muslim ! Bangsa kita sudah sekian lama collapse oleh berbagai permasalahan konflik elite dan sikap apatis masyarakat.

Ash-sholaatu khoirun minal an-naum ! Jadikan ajakan itu sebagai gairah keberagamaan kita ! Dialah semangat untuk menyelamatkan manusia dengan kearifan religiusitas Islam. Para elite politik santri harus segera menyelesaikan konfliknya dan berbenah diri. Bersamaan itu, mereka kaum awam juga harus segera meninggalkan sikap apatis.

0 comments:

 

blogger templates | Make Money Online